4 Cara Berpikir yang Sering Menyesatkan

Berikut ini sebuah ilustrasi:

Suatu hari, si A berjumpa dengan temannya, seorang pilot yang baru menyelesaikan perjalanan berkeliling dunia dengan balon udara. Gadis kecil yang bersama sang pilot adalah putrinya.

“Siapa namanya?” tanya si A kepada temannya, yang tidak pernah ia jumpai selama lima tahun. (Karena tidak berjumpa selama lima tahun, Si A baru tahu bahwa temannya itu ternyata sudah menikah dan punya anak).

“Sama kaya nama ibunya,” sang pilot menjawab.

“Halo, Susan,” sapa si A kepada gadis kecil itu.

Dalam ilustrasi di atas, tahukah Anda mengapa si A menyimpulkan bahwa nama sang gadis kecil adalah Susan?

Well, anggaplah sang pilot itu laki-laki. Apakah Anda paham bagaimana si A tahu bahwa nama si gadis kecil itu Susan?

Sekarang, anggaplah sang pilot itu perempuan. Kira-kira, apa yang terjadi? Saat Anda menganggap bahwa pilot itu perempuan, Anda paham, bukan, mengapa si A tahu nama gadis kecil itu?

Lantas, tentang apa, sih, ilustrasi di atas? Apa tujuan penulis menyajikan ilustrasi di atas? Tujuan penulis menyajikan ilustrasi di atas yaitu untuk menggambarkan betapa cara kita berpikir seringkali menyesatkan kita sedemikian sehingga kita tidak mampu memahami kenyataan atau pun membuat keputusan dengan tepat.

Dalam ilustrasi di atas, cara berpikir yang menyesatkan yaitu kita mengira bahwa pilot itu laki-laki (kita percaya pada stereotip bahwa kebanyakan pilot adalah laki-laki), di mana karena stereotip tersebut, kita gagal memahami ilustrasi di atas. Kita gagal memahami bagaimana si A tahu bahwa nama si gadis kecil adalah Susan, sekalipun tidak ada yang memberitahunya karena kita mengira bahwa sang pilot itu laki-laki.

Kegagalan memahami ilustrasi tersebut dapat diatasi dengan membuang stereotip bahwa sang pilot itu laki-laki. Dengan demikian, kita paham bahwa sang pilot pastilah seorang perempuan, yang juga merupakan ibu dari sang gadis kecil. Nah, dari situ, kita paham mengapa si A menyimpulkan bahwa nama sang gadis kecil adalah Susan. Mengapa si A tahu bahwa nama gadis kecil itu Susan? Karena, ia tahu nama ibunya (sang pilot), yang tidak lain adalah Susan, sama dengan nama anaknya.

Sebagaimana penulis sebutkan di atas, betapa cara kita berpikir seringkali menyesatkan sedemikian sehingga membuat kita gagal memahami kenyataan atau pun keliru dalam membuat keputusan. Dan, parahnya, bukan hanya stereotip saja yang merupakan cara berpikir yang menyesatkan. Selain stereotip, ada banyak cara berpikir yang keliru yang menyesatkan kita.

Seringkali, tanpa sadar, kita menggunakan cara-cara berpikir tersebut dalam memahami kenyataan, membuat keputusan, dan menyelesaikan masalah. Itulah mengapa, kita sering salah dalam mengambil keputusan juga sering keliru memahami fakta yang tersaji di hadapan kita.

Nah, dalam artikel ini, penulis ingin mengajak Anda untuk mengetahui beberapa cara berpikir yang menyesatkan. Semoga, hadirnya artikel ini memberikan manfaat kepada Anda.

1. Berpikir subjektif

Bagaimana kira-kira ketika Anda membenci seseorang? Apakah Anda memandangnya secara objektif? Atau, sebaliknya, Anda memandangnya secara subjektif? Seringkali, jawabannya adalah yang kedua. Anda memandangnya secara subjektif. Benar, bukan?

Ketika Anda membenci seseorang, maka apa pun yang ia lakukan, menurut Anda merupakan hal yang buruk. Jika ia berbuat baik kepada Anda, maka Anda akan menganggap ia hanya cari muka.

Lantas, bagaimana jika kenyataan mengindikasikan bahwa orang itu baik, tidak seperti penilaian Anda? Maka, Anda akan menyangkal kenyataan itu dan mencari-cari bukti yang mendukung dugaan/penilaian Anda. Anda akan mencari bukti yang mengindikasikan bahwa orang itu tidak baik/jahat.

Nah, penilaian Anda yang subjektif mengenai orang tersebut memengaruhi perilaku Anda terhadapnya. Sebenarnya, ia hendak berbuat baik kepada Anda, misalnya. Tetapi, karena Anda membencinya, Anda mencurigainya berniat jahat kepada Anda. Dan, karena kecurigaan itu, Anda bersikap kasar kepadanya dan menolak kebaikannya.

Nah, jika sudah demikian, siapa yang rugi? Tentu Anda sendiri, bukan?

2. Hasil vs faktor seleksi

Apa yang terlintas di dalam benak Anda ketika melihat iklan handbody lotion di TV, di mana dalam iklan itu, dikatakan bahwa merk handbody yang ditawarkan dapat menjadikan kulit lebih putih dan bercahaya? Apakah Anda percaya iklan itu? Apakah Anda percaya bahwa produk lotion itu mampu memutihkan kulit Anda?

Jika jawabannya ya, maka mengapa Anda percaya?

Anda percaya pada iklan itu karena Anda menyalah-artikan faktor seleksi sebagai hasil.

Kulit putih yang ditampilkan dalam iklan itu bukanlah hasil dari produk lotion yang ditawarkan; Kulit putih yang ditampilkan dalam iklan itu merupakan faktor seleksi. Maksudnya, secara sengaja, pihak advertising memilih model berkulit putih untuk memerankan iklan itu. Tetapi, Anda, sebagai pemirsa TV, tidak menyadari kenyataan itu. Yang Anda tahu, sang model memiliki kulit yang putih berkat lotion yang ditawarkannya.

Nah, dengan pemahaman yang seperti itu, Anda berharap, dengan memakai produk lotion itu, kulit Anda dapat menjadi lebih putih seperti kulit sang model.

Bagaimana jadinya jika Anda sering menyalah-artikan faktor seleksi sebagai hasil? Maka, tidak tertutup kemungkinan, Anda akan membuat keputusan-keputusan yang keliru seperti membeli produk lotion pemutih yang sangat mahal, padahal khasiatnya belum terbukti.

3. Termanipulasi

Bayangkan suatu hari, Anda pergi ke sebuah toko busana. Di sana, Anda berniat untuk membeli sebuah jaket. Kebetulan, toko itu sedang menawarkan diskon besar-besaran untuk produk kemejanya hingga 70%. Jika awalnya harga sebuah kemeja adalah 300 ribu rupiah, maka hari itu, harganya turun menjadi 90 ribu rupiah.

Mengetahui harganya turun drastis, Anda pun langsung membayar beberapa potong kemeja tanpa berpikir panjang. Padahal, awalnya, Anda tidak berniat membeli kemeja.

Mengapa Anda memutuskan untuk membeli kemeja? Karena, Anda berpikir, harga 90 ribu untuk kemeja yang kemarin dipatok seharga 300 ribu merupakan harga yang sangat murah. Anda tidak mau kehilangan kesempatan mendapatkan harga murah.

Tetapi, coba Anda pikir sejenak: bagaimana jika harga asli/awal kemeja tersebut adalah 90 ribu? Apakah Anda tertarik untuk membelinya? Tentu saja tidak tertarik, bukan?

Dalam contoh di atas, apa yang terjadi yaitu Anda membandingkan informasi awal tentang kemeja itu dengan informasi terakhir mengenainya. Informasi awal menyatakan bahwa harga awal kemeja itu adalah 300 ribu rupiah, sedangkan informasi terakhir menyatakan bahwa harga kemeja itu adalah 90 ribu. Ketiadaan informasi lain selain dua informasi itu membuat Anda berkesimpulan bahwa harga terakhir kemeja tersebut (90 ribu) sangat murah.

Nah, keputusan Anda untuk membeli kemeja tersebut dengan harga 90 ribu bisa jadi merupakan keputusan yang merugikan. Mengapa? Karena membandingkan harga awal dan harga akhir (setelah diskon), Anda pun terdorong untuk membelinya, padahal Anda tidak membutuhkan kemeja itu. Ingat, yang Anda butuhkan adalah jaket, bukan kemeja.

Jadi, dalam contoh di atas, Anda pikiran Anda termanipulasi oleh dua informasi di atas mengenai harga kemeja di toko itu. di sini, di mana letak kesalahan Anda dalam berpikir? Letak kesalahan berpikir Anda yaitu, Anda membandingkan dua informasi itu sedemikian sehingga menyimpang dari tujuan semula.

4. Terlalu percaya intuisi

Berikut ini sebuah soal. Anda dapat mencoba menjawabnya.

Jika 5 set mesin membutuhkan 5 menit untuk menghasilkan 5 buah gadget, maka berapa lama waktu yang dibutuhkan 100 mesin untuk menghasilkan 100 buah gadget?

Hehehe, Anda menjawab 100 menit? Jawaban yang tepat adalah 5 menit. Kok bisa? Yap, karena setiap mesin membutuhkan waktu 5 menit untuk menghasilkan 1 buah gadget. Nah, jika jumlah mesinnya 5 set, maka waktu yang dibutuhkan setiap mesin tetap 5 menit. Begitu juga jika jumlah mesinnya 100 set, waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan 100 buah gadget tetaplah 5 menit.

Dalam contoh soal di atas, kesalahan Anda dalam menjawabnya dikarenakan Anda menggunakan intuisi Anda, alih-alih berpikir dengan lebih teliti.

Lantas, mengapa intuisi Anda salah? Bukankah menurut orang-orang, intuisi selalu benar? Hmm, menurut Daniel Kahneman, seorang pakar psikologi yang berkonsentrasi pada pikiran, intuisi seringkali menipu kita, seberapa menariknya intuisi tersebut kelihatannya. Mengapa? Ini dikarenakan, intuisi didasarkan pada metode heuristik, selain pada pemikiran yang teliti. Metode heuristik inilah yang membuat intuisi dalam situasi tertentu tidak bisa diandalkan. Heuristik adalah metode berpikir dengan menggunakan spekulasi dangkal, tanpa pemikiran yang lebih mendalam dan teliti.

Sebagai contoh, andaikanlah Anda mengenal si A sebagai seorang berkacamata tebal, selalu mengancing ujung kerah bajunya hingga menutupi leher, dan selalu membawa buku ke mana-mana. Namun demikian, Anda tidak mengetahui karakter si A. Nah, dengan ciri-ciri si A sebagaimana baru saja disebutkan, Anda menyimpulkan bahwa si A adalah seorang kutu buku yang cupu, yang sering menjadi korban bully. Padahal, kenyataannya bisa saja sebaliknya. Bisa saja, si A adalah seorang kutu buku yang penuh percaya diri dan bahkan menjadi pelaku bully, bukannya korban bully.

Nah, menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan asumsi-asumsi dangkal seperti di atas itulah yang dinamakan metode heuristik. Dan, salah satu sumber intuisi berasal dari pola pikir heuristik.

Bagaimana jadinya jika metode heuristik dijadikan pedoman dalam membuat keputusan, memecahkan masalah, dan memahami suatu fakta?

demikian beberapa cara berpikir yang sering menyesatkan. Semoga, hadirnya artikel ini membantu Anda mengenali cara-cara berpikir tersebut sedemikian sehingga Anda dapat menghindari mengaplikasikannya dalam kehidupan Anda.

Rina Ulwia

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

Leave a Reply

Close Menu