“Selamatnya manusia bergantung pada dapat tidaknya ia memelihara lidahnya.” –anonim
Tidak bisa disangkal, manusia merupakan makhluk sosial, yang keberadaannya membutuhkan yang lain. Bagaimana tidak? Manusia tidak bisa mencukupi semua kebutuhan hidupnya secara mandiri.
Itulah mengapa, kita, sebagai manusia, butuh untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
Salah satu faktor penting dalam interaksi sesama manusia yaitu komunikasi. Kita berinterkasi dengan orang lain melalui perantara komunikasi. Nah, salah satu sarana komunikasi yang kita gunakan hingga sekarang yaitu bahasa.
Dengan menggunakan bahasa (contohnya, bahasa Indonesia), kita berinterkasi dengan orang lain, mulai dari mengobrol, meminta bantuan, memerintah, memberi saran, nasihat, memberi peringatan, dan lain sebagainya.
Karena bahasa merupakan sarana, maka penggunaannya merupakan bentuk kecakapan, sebagaimana halnya saat kita menggunakan sarana lainnya seperti kendaraan, komputer, gadget, dan sebagainya.
Tingkat kecakapan mengemudikan kendaraan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lain. Demikian juga dengan tingkat kecakapan berkomunikasi; Setiap orang memiliki tingkat kecakapan berkomunikasi yang berbeda-beda. Ada yang lihai berkomunikasi; ada pula yang komuniasinya berantakan.
Nah, karena komunikasi merupakan salah satu bentuk kecakapan, maka itu artinya, untuk berkomunikasi, kita memerlukan strategi-strategi tertentu sedemikian rupa sehingga kita cakap dan mahir.
Selain itu, tanpa kita sadari, ada cara-cara berkomunikasi yang justru membuat hubungan kita dengan orang lain hancur. Kita patut waspada dengan cara-cara berkomunikasi seperti ini.
Nah, dalam artikel ini, penulis akan mengajak Anda untuk mengetahui 4 kebiasaan buruk dalam berkomunikasi yang dapat menghancurkan hubungan Anda dengan orang lain.
Semoga, artikel ini bermanfaat bagi Anda.
Sekarang, apa sajakah keempat kebiasaan itu? Yuk, langsung saja kita simak uraian lengkapnya berikut ini.
1. Kalimat perintah/instruksi
Apa yang Anda rasakan ketika orang lain selalu mendiktekan kehendaknya pada Anda? Sekalipun maksud orang tersebut baik, penulis yakin, Anda tidak akan menyambut baik nasihatnya, bukan?
Sebagai contoh, Anda seorang perokok berat. Setiap hari, Anda menghabiskan dua bungkus rokok.
Nah, karena kecanduan itu, teman Anda pun lantas menasihati Anda untuk berhenti merokok. Katanya, “Kamu itu harus berhenti merokok demi kesehatanmu sendiri. Jangan habiskan uang cuma buat merokok. Coba kalau kamu bisa berhenti merokok, pasti bisa menabung, deh.”
Mendengar nasihatnya, bagaimana kira-kira reaksi Anda? Apakah Anda nyaman mendengarnya? Apakah Anda tergerak untuk berhenti merokok? Jawabannya, “tidak”, bukan? Anda justru jengah dengan nasihat yang terkesan menceramahi seperti itu.
Nah, jika Anda tidak nyaman dengan kalimat-kalimat seperti itu, maka demikian juga dengan orang lain. mereka tidak akan berkenan mendengarkan nasihat Anda manakala nasihat Anda memuat kalimat-kalimat yang bernada perintah/instruksi.
Untuk itu, alangkah baiknya jika Anda hindari penggunaan kalimat perintah/instruksi ketika memberikan saran atau nasihat kepada orang lain.
Anda juga perlu menghindari menggunakan kalimat perintah saat Anda memerintah, memberi instruksi, atau meminta bantuan orang lain. Mengapa? Karena, tidak ada orang yang senang diperintah oleh orang lain.
2. Generalisasi
Beberapa tahun terakhir ini, di negara kita, terkenal tren hujat-menghujat, tuduh-menuduh, dan hakim-menghakimi.
Nah, budaya hakim-menghakimi ini muncul, salah satunya, lantaran kita terbiasa meng-generalisasi perkara. Kita terbiasa tergesa-gesa menyimpulkan sebelum mengkaji lebih dalam.
Sebagai contoh, andaikanlah di kantor Anda ada anak baru. Singkat cerita, Anak baru itu sudah bekerja di kantor Anda selama lima bulan. Sebagai senior, tentu Anda telah mengajarinya banyak hal.
Pada suatu hari, si anak baru itu berbuat suatu kesalahan. Ia lalai menerapkan apa yang sudah Anda ajarkan kepadanya. Dan, karena hal itu, Anda pun lantas memperingatkannya, “Kamu ini kalau dikasih tau tidak pernah dengar!”
Tahukah Anda bagaimana reaksi anak baru itu? Tentu, ia tidak berkenan dengan ucapan Anda. Mengapa? Karena, Anda meng-generalisasi kesalahannya. Anda tergesa-gesa menyimpulkan bahwa dia “tidak pernah” mendengar apa yang Anda sampaikan kepadanya. Padahal, dalam kenyataannya, Anda tahu persis bahwa dia “pernah” dan bahkan “sering” mendengarkan apa yang Anda sampaikan kepadanya.
Dengan generalisasi itu, tentu Anda telah salah ucap. Anda telah menuduh/menfitnah si anak baru dengan tuduhan yang tidak terbukti. Degan begitu, Anda telah berbuat kesalahan terhadapnya.
Untuk itu, agar terjalin komunikasi yang efektif antara Anda dengan orang lain, Anda perlu membuang kebiasaan meng-generalisasi kesalahan orang lain. hindari kata “selalu”, “tidak pernah”, “kamu itu…”, dan “kamu adalah”.
“Kamu selaaaalu datang terlambat.”
“Kamu tidak pernah penepati janji.”
“Kamu itu suka ngeyel kalau dibingain.”
“Kamu adalah pemalas!”
3. Berfokus pada personal, bukan isu
Kebiasaan yang ketiga yaitu berfokus pada orang, bukan isu.
Pernahkah orang lain berkata kepada Anda seperti berikut: “Saya tidak membenci Anda. Saya hanya membenci tindakan Anda.”?
Nah, apa yang disampaikan oleh orang tersebut kepada Anda mengandung kebenaran. Di mana letak kebenarannya? Alangkah baiknya, saat kita menghadapi perilaku buruk orang lain, kita tidak lantas membenci orang itu, melainkan mengkritik tindakan yang dilakukannya. Alangkah baiknya jika kita menghindari kalimat ini: “Anda memang pembawa masalah” saat orang lain berbuat salah kepada Anda. Sebaliknya, Anda dapat berkata, “Maaf, perbuatan Anda itu salah.”
Demikian juga saat Anda menasihati atau memberi saran kepada orang lain. Misalnya, bawahan Anda melakukan kesalahan manakala mengerjakan tugas. Anda, sebagai seniornya, memeriksa hasil kerjanya.
Dalam pemeriksaan itu, Anda menjumpai satu kesalahan. Nah, untuk memperingatkannya, katakan kepadanya, “Wah, ini keliru. Cara menghitungnya bukan seperti ini.” Dan, hindari mengatakan, “Kamu ini ceroboh banget. Kamu salah menghitung.”
4. Meremehkan perasaan orang lain
Kebiasaan terakhir yaitu meremehkan perasaan orang lain.
Apa yang sempat menjadi tren pergaulan di jaman sekarang ini? Yup! Benar! Ungkapan, “Terus, gue harus bilang ‘wow’ gitu?!”
Sejujurnya, tren ini membawa dampak yang negatif bagi interaksi antarsesama kita. ungkapan di atas merupakan salah satu bentuk tindakan meremehkan perasaan orang lain.
Adalah lumrah saat seorang teman bergembira karena suatu hal, ia mengabarkan kegembiraanya itu kepada orang-orang terdekatnya. Ini merupakan bukti bahwa ia tidak melupakan teman-temannya manakala ia sedang bahagia.
Tetapi, ungkapan di atas (terus, gue harus bilang wow gitu?)mengacaukan semuanya. Dengan tren ungkapan tersebut, Anda pun terbiasa untuk meremehkan kebahagiaan orang lain. Anda akan berkata, “Terus, gue harus bilang ‘wow’ gitu?!” ketika teman Anda mengabarkan kegembiraannya kepada Anda.
Mendengar jawaban Anda, tentu, kebahagiaan teman Anda akan lenyap seketika. Ia akan berpikir bahwa dirinya tidaklah penting bagi Anda.
Dengan melenyapnya perasaan positif teman Anda, maka muncullah perasaan negatif dalam dirinya. Perasaan negatif itu bisa mewujud dalanm kata-kata kasar, sebagai balasan atas ucapan kasar Anda.
Bandingkan dua bentuk percakapan berikut ini.
Percakapan A:
Teman Anda: “Eh, aku direkomendasikan jadi manajer.”
Anda: “Terus, gue harus bilang ‘wow’ gitu?!”
Teman Anda: “Elu iri, ya? Ga segitu juga, kali!”
Percakapan B:
Teman Anda: “Eh, aku direkomendasikan jadi manajer.”
Anda: “Wah, selamat, ya. Aku turut senang mendengarnya.”
Teman Anda: “Thanks, ya.” (Sambil tersenyum).
Dari dua bentuk percakapan di atas, mana yang lebih menyenangkan? Percakapan B, bukan? Ini dikarenakan, dalam percakapan B, Anda menghargai perasaan bahagia teman Anda.
Penghargaan itu akan menimbulkan energi positif yang dapat menjaga interaksi antara Anda dengannya.
Pada gilirannya, saat interaksi antara Anda dengan teman Anda terjaga dengan baik, maka semua urusan Anda pun berjalan lancar. Teman Anda tidak akan mempersulit urusan Anda. Justru sebaliknya, ia akan dengan senang hati membantu Anda.
Oya, yang perlu diingat, tindakan meremehkan perasaan orang lain tidak hanya berwujud ungkapan kasar seperti di atas (Terus, gue harus bilang ‘wow’ gitu?). Seringkali, secara tidak sadar, dengan nada yang halus dan tersamarkan, kita meremehkan perasaan orang lain.
Sebagai contoh, teman Anda sedang dilanda masalah. karena itu, ia datang kepada anda dengan niat untuk menceritakan masalahnya kepada Anda.
“Pacarku ga setia.”
Mendengar curhatannya, Anda pun lantas menjawab, “Ga usah didramatisir. Putusin aja.”
Dalam ucapan Anda di atas, kira-kira kata apa yang meremehkan perasaan teman Anda? Yup! Kata “didramatisir”. Sekalipun halus, kata itu menunjukkan bahwa Anda menganggap remeh masalah teman Anda, bahwa rasa sakit hatinya itu tidak penting. Mesikpun hanya satu kata, kata itu “mak jleb” bagi teman Anda yang sedang patah hati.
Demikian empat hal yang menghancurkan komunikasi Anda dengan orang lain, yang dapat penulis sampaikan kepada Anda. Untuk menjaga interaksi antara Anda dengan orang lain, Anda perlu melenyapkan 4 kebiasaan buruk di atas.
Akhir kata, semoga ulasan di atas bermanfaat untuk Anda.
artikel bagus, isinya komplit