Masih ingatkah Anda dengan iklan yang menampilkan dua anak, laki-laki dan perempuan, yang gontok-gontokan soal alami dan ilmiah? Si anak perempuan lebih menyukai sesuatu yang berbau alami, sedangkan anak laki-laki lebih suka sesuatu yang berbau ilmiah.
Menurut si anak perempuan, apa pun itu, pokoknya lebih unggul yang alami. Sebaliknya, menurut si anak laki-laki, apa pun itu, pokoknya lebih unggul yang ilmiah.
Tentu, Anda masih ingat, bukan?
Melihat iklan itu, terbersit uneg-uneg di benak penulis. Secara pribadi, penulis tidak setuju dengan iklan tersebut.
Mengapa?
Seolah, iklan itu mengatakan, anak perempuan itu memang pantasnya bergelut di bidang yang ringan-ringan saja. Tidak perlu banyak pemikiran. Tidak perlu membuat temuan-temuan besar. Contohnya, bergelut di ranah alami, yang mudah, tak perlu pemikiran dan analisis macam-macam.
Sebaliknya, anak laki-laki itu cocok bergelut di ranah yang berat, yang memerlukan banyak pemikiran, dan membuat temuan-temuan besar. Contohnya, bergelut di ranah ilmiah, yang di dalamnya, ia berpikir, membuat analisis, dan menciptakan temuan baru.
Kecerdasan dan Gender
Di Indonesia, perbedaan gender memang berpengaruh besar pada dunia pendidikan. Menurut banyak orang, anak perempuan lebih cocok masuk jurusan bahasa dibanding jurusan IPA, misalnya. Berbagai alasan dikemukakan, seperti jurusan IPA itu berat. Anak perempuan itu lebih pandai menghapal daripada berhitung, dan sebagainya. Sebaliknya, anak laki-laki lebih cocok masuk jurusan IPA dibanding bahasa. Alasannya, anak laki-laki lemah dalam menghapal kosakata, tetapi cakap dalam berhitung dan berpikir yang berat-berat. Singkatnya, anak laki-laki memang cocok bergelut di bidang sains.
Memang, banyak yang sudah tidak memakai pendekatan gender seperti itu dan membebaskan putra-putrinya untuk memilih jurusan sesuai dengan minat mereka. Tetapi, banyak juga yang masih memegang erat budaya seperti itu. Contoh nyatanya adalah iklan di atas.
Lantas, bagaimana dengan Anda? Apakah menurut Anda, anak perempuan tidak cocok masuk jurusan IPA?
“Iya,” jawab Anda, “Tetapi, anak saya ingin jadi ilmuwan wanita. Jelas saja saya tidak setuju.”
Mengapa Anda tidak setuju?
“Jadi ilmuwan itu berat. Mikir terus sampai botak. Nanti malah ga nikah-nikah.”
Apa Kata Pakar tentang Gender dan Kecerdasan?
Hmm, memang, beberapa puluh tahun yang silam, para pakar berkeyakinan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan yang berbeda. Menurut mereka, perempuan lebih unggul dalam kemampuan bahasa. Sementara itu, laki-laki lebih unggung dalam kemampuan problem solving, yang termasuk berhitung, menciptakan penemuan baru, dan membuat analisis.
Temuan itu didukung oleh kenyataan yang ada. Apa itu? Jumlah ilmuwan laki-laki yang jaaaaaauh lebih banyak dibanding jumlah ilmuwan wanita. Penulis berani bertaruh, ketika diminta menyebutkan daftar ilmuwan wanita, hanya ada satu nama di benak Anda: Marrie Curie. Sementara itu, ketika diminta menyebut daftar ilmuwan laki-laki, ada banyak nama di otak Anda: Albert Einstein, Charles Darwin, Thomas Alva Edison, Isaac Newton, dan maaaaasih banyak lagi.
Tetapi, tahukah Anda, ternyata, temuan terakhir menyebutkan, laki-laki dan perempuan memiliki kecerdasan yang sama! Temuan itu menyimpulkan bahwa baik laki-laki mau pun perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam sains dan bahasa.
Tidak percaya?
Berdasarkan data yang dikumpulkan lebih dari 3 juta partisipan dari tahun 1967 hingga 1987, para pakar menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan tes matematika. Perempuan sedikit lebih unggul dalam berhitung di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Sementara itu, laki-laki sedikit lebih unggul di pelajaran matematika saat di bangku SMA. Namun demikian, dari data di atas, diketahui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam memahami konsep matematika.
Hasil yang sama juga dijumpai dalam tes kemampuan verbal/bahasa. Pada tahun 1988, Janet Shibley Hyde, pakar psikologi dari Universitas Wisconsin melaporkan, data dari 165 studi mengungkap bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan verbal yang sama.
Nah, dari hasil di atas, Anda paham, bukan, perempuan dan laki-laki itu sama. Kemampuan mereka dalam sains dan bahasa sama. Jadi, Anda tidak perlu khawatir anak Anda jadi ilmuwan wanita. Percayalah, ia mampu memberikan yang terbaik.
“Aaah, saya tetap ga percaya! Buktinya, sedikit sekali ilmuwan wanita di dunia ini. Dari dulu sampai sekarang, yang menonjol ya laki-laki,” mungkin demikian sanggah Anda.
Baiklah, untuk menjelaskan hal itu, mari simak uraian berikut.
Mengapa Ilmuwan Laki-Laki lebih Banyak daripada Ilmuwan Wanita?
Mengapa ilmuwan laki-laki lebih banyak daripada ilmuwan wanita?
Jawabannya, karena budaya mengkondisikannya demikian! Dalam budaya patriarkis (budaya ini berlaku baik di dunia Timur termasuk Indonesia maupun di dunia Barat), peran kaum perempuan direduksi/dibatasi. Pada awalnya, perempuan dilarang bersekolah. Budaya menganggap, peran kaum perempuan sekadar di dapur, bereproduksi, dan mengasuh anak. Karena perannya yang terbatas itulah, budaya menganggap kaum perempuan tidak perlu bersekolah, tidak perlu menuntut ilmu. “Sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya juga di dapur,”demikian alasannya.
Nah, hingga sekarang, budaya itu masih mengakar kuat di Indonesia. Kita lihat contoh nyatanya, banyak iklan bertebaran di TV yang secara tidak langsung mengajarkan kepada masyarakat bahwa peran perempuan adalah ibu rumah tangga, sedangkan peran laki-laki adalah mencari nafkah. Iklan deterjen, misalnya, menampilkan perempuan sedang mencuci baju untuk suaminya. Selain memberi pesan agar penonton membeli produk deterjen, iklan itu mengandung pesan yang lain, yakni bahwa PEREMPUAN yang IDEAL adalah IBU RUMAH TANGGA.
Contoh lain, iklan bumbu masak. Dalam iklan itu, ditampilkan seorang ibu yang sedang menyajikan hasil masakannya untuk keluarga. Selain berpesan agar penonton membeli produk bumbu, iklan itu juga mengandung pesan bahwa PEREMPUAN yang IDEAL adalah IBU RUMAH TANGGA.
Apa konsekuensi dari menyatakan bahwa perempuan yang ideal adalah ibu rumah tangga?
Konsekuensinya, aktivitas yang ideal untuk perempuan adalah aktivitas yang berkaitan dengan tugas ibu rumah tangga, seperti bergelut di bidang masak-memasak, menjadi guru/pengajar (guru tugasnya mengasuh, seperti tugas seorang ibu), dan menjahit.
Nah, kepercayaan yang seperti itu membawa konsekuensi bahwa jurusan yang cocok untuk anak perempuan adalah jurusan masak-memasak, keguruan, desain busana, dan bahasa.
Bagaimana dengan jurusan sains?
Menurut kepercayaan di atas (kepercayaan bahwa perempuan yang ideal adalah ibu rumah tangga), aktivitas sains tidak cocok untuk anak perempuan. Anak perempuan tidak dididik untuk memecahkan soal matematika. Anak perempuan dididik bukan untuk membuat pesawat terbang. Anak perempuan dididik bukan untuk membuat penemuan dalam bidang teknologi.
Sebagai sebuah budaya, kepercayaan di atas mengakar kuat, mendarah daging di dalam masyarakat kita (Bahkan, bukan hanya masyarakat Indonesia saja yang memeluk budaya itu. Dulu, di dunia barat, budaya patriarkis seperti itu juga mengakar kuat). Akibatnya, sebagian besar masyarakat kita mengarahkan anak perempuan mereka untuk masuk di jurusan desain busana, masak-memasak, keguruan, dan bahasa. Masyarakat percaya, memang jurusan-jurusan itu yang cocok untuk anak perempuan. Sementara itu, jurusan sains dan teknik merupakan ranah anak laki-laki.
Jika sudah begitu, maka tak heranlah jika kebanyakan ilmuwan datang dari kaum laki-laki. Penyebabnya, jarang ada perempuan yang masuk dan bergelut di bidang sains.
Bagaimana mungkin kita jumpai banyak ilmuwan wanita jika kaum wanita saja tidak bergelut di bidang sains? Logikanya demikian.
Seandainya banyak perempuan yang bergelut di bidang sains, bisa dipastikan banyak sekali ilmuwan wanita yang menonjol yang kita jumpai.
Jadi, alasan mengapa ilmuwan itu kebanyakan laki-laki yaitu karena tidak banyak kaum perempuan yang bergelut di ranah sains. Bahkan, tidak banyak perempuan yang melanjutkan studi hingga S3.
Dan, mengapa tidak banyak perempuan yang bergelut di bidang sains dan melanjutkan S3? Jawabannya, bukan karena perempuan memiliki kecerdasan yang berbeda dengan kecerdasan kaum laki-laki, melainkan karena menurut budaya, perempuan itu idealnya jadi ibu rumah tangga, perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya di dapur juga.
Situs thesocietypages.org mengungkapkan data persentase laki-laki dan perempuan yang mengenyam pendidikan lanjutan dari tahun 1970 hingga 2020 (di Amerika Serikat). Dalam situs itu, terungkap, pada tahun 1970, jumlah mahasiswa S1 laki-laki lebih banyak dibanding jumlah mahasiswa perempuan. Demikian juga dengan jumlah mahasiswa S2. Yang paling mengejutkan adalah jumlahnya di jenjang S3. Perbedaan antara jumlah mahasiswa perempuan dan mahasiswa laki-laki yang masuk jenjang S3 sangat menonjol. Kaum laki-laki sangat mendominasi!
Baru pada tahun 2010, persentase perempuan yang mengenyam pendidikan lanjutan bertambah. Dalam situs itu, terungkap, pada tahun 2010, persentase perempuan dan laki-laki yang mengenyam pendidikan doktoral sama, yakni 50%.
Nah, dari kesimpulan di atas, Anda paham, bukan, sebenarnya, perempuan, termasuk anak Anda cakap dalam bidang sains, berhitung, problem solving, melakukan percobaan, dan riset, secakap anak laki-laki melakukannya. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir ia menjadi ilmuwan. Justru ketika Anda mengekang keinginannya untuk menjadi ilmuwan wanita, secara tidak sadar Anda telah mengubur minat dan bakatnya; Anda tidak membiarkan minat dan bakat itu berkembang pesat seperti seharusnya.