Papa suka pilih kasih! Kalo kakak minta sesuatu pasti dikasih. Kalau aku yang minta pasti ga boleh. Banyak alasan lah L

Pernahkah anak Anda berkata seperti di atas? Pernahkah anak Anda menuduh Anda pilih kasih?

Jika ya, bagaimana perasaan Anda?

Gondok dan sedih,” jawab Anda.

Menyedihkan, memang, ketika anak menuduh Anda pilih kasih dan tidak adil. Apalagi jika tuduhan itu berkebalikan dengan kenyataan. Nyatanya, Anda merasa Anda justru saaaaangat perhatian dan menyayanginya. Tetapi, entah mengapa, ia malah menuduh Anda pilih kasih dan tidak adil terhadapnya.

Jika seperti itu kejadiannya, apa yang harus Anda lakukan?

Sebelum menjawabnya, Anda harus mencari tahu mengapa anak Anda sampai pada kesimpulan seperti itu. Mengapa? Karena, bagaimana pun juga, setiap reaksi senantiasa diawali oleh aksi. Tidak akan ada reaksi jika tidak ada aksi. Tuduhan anak tidak lain adalah reaksi terhadap aksi/perlakuan Anda kepadanya.

Mungkin Anda berpikir begini: “Perlakuan yang bagaimana yang membuat anak saya menuduh saya pilih kasih? Orang saya justru lebih perhatian sama dia dibanding sama anak lain, kok?? Dasar anaknya saja yang susah diatur!”

Tetapi, tahukah Anda, seringkali niat baik orangtua justru berbuah pemberontakan pada sang anak? Hal itu terjadi, terutama karena niat baik itu dilakukan secara keliru.

Sebagai contoh, anak kedua Anda yang kebetulan perempuan minta ijin untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bela diri. Sebagai orangtua yang baik, Anda merasa kegiatan itu tidak cocok untuknya. Menurut Anda, lebih baik anak Anda, yang seorang perempuan, mengikuti ekstrakurikuler batik. Untuk itulah, Anda melarangnya mengikuti les bela diri.

Di saat yang bersamaan, anak pertama Anda yang kebetulan laki-laki minta ijin untuk ikut les yang sama. Anda pun mengijinkannya karena menurut Anda anak laki-laki pantas mengikuti kegiatan seperti itu.

Nah, tindakan Anda di atas bisa menimbulkan kecemburuan pada anak perempuan Anda. Mengapa? Karena, dia merasa Anda memperlakukannya tidak adil dan pilih kasih. Sebaik apa pun alasan Anda melarangnya, ia akan tetap merasa Anda tidak adil terhadapnya.

Contoh lainnya?

Anak Anda yang kedua gemaaaaaar sekali bermain gitar. Kapan pun dan di mana pun, ia selalu membawa gitar dan berdendang ria. Hal itu membuat Anda gerah karena Anda sangat tidak suka anak Anda menjadi musisi.

Di saat yang sama, anak pertama Anda gemaaaaaar sekali membaca buku. Kapan pun dan di mana pun, ia selaaaaalu membawa buku dan membacanya. Bahkan, saat makan bersama keluarga pun, ia tak luput dari bacaan. Ia selalu membaca di sela-sela makan bersama. Namun demikian, karena Anda juga gemar membaca, Anda tidak sedikit pun menegurnya. Anda justru mendukungnya dan mendorongnya untuk lebih gila membaca.

Nah, tentu saja, sikap Anda di atas bisa memicu kecemburuan. Anak kedua Anda niscaya menilai Anda pilih kasih. Mengapa? Karena, sikap Anda terhadap anak pertama Anda sangat kontras dengan sikap Anda terhadapnya. Anda sangat mendukung kegiatan anak pertama Anda. Sementara itu, terhadap kegiatannya, Anda saaaangat anti. Anak kedua Anda niscaya bertanya-tanya, “Mengapa Papa memperlakukanku seperti ini? Apa salahku? Apa salah menjadi musisi?” Dan, karena itu, ia menganggap Anda pilih kasih.

Melihat contoh-contoh di atas, Anda paham, bukan, bahwa terkadang niat baik Anda justru berbuah pemberontakan anak? Anak memberontak karena menganggap Anda pilih kasih. Dan, anak menganganggap Anda pilih kasih karena sikap/perlakuan Anda kepadanya mencerminkan hal itu, meskipun sebetulnya bukan niat Anda untuk pilih kasih; meskipun sebetulnya justru Anda bersikap seperti itu karena Anda perhatian kepadanya.

Lantas, selain contoh di atas, sikap/perlakuan yang bagaimana yang membuat anak Anda berpikir Anda pilih kasih?

Dalam artikel ini, akan dijelaskan 3 kategori sikap yang bisa membuat anak beranggapan orangtua pilih kasih.

Apa saja 3 kategori itu? Berikut ini uraiannya.

Sikap yang Muncul dari Harapan Orangtua

Ada sikap-sikap tertentu yang membuat orangtua (secara tidak sengaja) berlaku pilih kasih terhadap anaknya.

Sikap itu bisa muncul sebagai akibat dari harapan orangtua kepada anak.

Apa contohnya?

Contohnya, Anda ingin anak-anak Anda jago matematika.

Kebetulan, Anda memiliki 2 orang anak. Anak yang pertama sangat jago matematika. Sementara itu, anak kedua Anda sangat lemah dalam pelajaran matematika. Ia selalu mendapat nilai jelek dalam matapelajaran itu.

Mendapati nilai matematika anak kedua Anda jelek, Anda pun lantas membandingkannya dengan nilai matematika anak pertama Anda. Anda berkata seperti ini kepada anak kedua Anda: “Kamu kok ga secerdas kakak kamu, sih. Ayo, dong, nilai matematikanya dibagusin kaya punya Kakak kamu. Papa bangga kakak kamu bisa jago matematika. Kamu juga harus bisa buat Papa bangga.” Selain itu, Anda lantas lebih condong pada anak pertama Anda; Dalam hal apa pun, Anda jadi jauh lebih perhatian pada anak pertama Anda.

Dan, karena itu, anak kedua Anda pun merasa Anda pilih kasih.

Jika sudah begitu, apa yang harus Anda lakukan?

Anda perlu berpaling kepada anak kedua Anda; Anda perlu memberinya kesempatan untuk menjelaskan mengapa ia selalu megecewakan Anda; Anda perlu mendengarkan penjelasannya mengapa ia tidak pernah mendapat nilai yang bagus pada matematika.

Jangan-jangan, ia memang tidak berminat pada pelajaran itu! Jangan-jangan, ia lebih berminat pada pelajaran lain, bahasa, misalnya. Jangan-jangan, ia mendapat nilai matematika yang jelek bukan karena ia malas belajar, tetapi karena ia memang tidak suka matematika.

Nah, pernahkah Anda mempertimbangkan hal di atas? Pernahkah Anda berpikir anak kedua Anda tidak berminat pada matematika? Pernahkah Anda berpikir jangan-jangan anak kedua Anda selalu mengecewakan Anda karena harapannya tidak sesuai dengan harapan Anda?

Untuk itulah, sebagai orangtua yang baik, Anda perlu mengetahui mengapa anak Anda selalu mengecewakan Anda. Tanyakan kepada anak Anda mengapa ia tidak bisa memenuhi harapan Anda. Siapa tahu, harapannya tidak sama dengan harapan Anda; Siapa tahu, mimpi-mimpinya tidak sama dengan mimpi-mimpi Anda.

Dan, jika memang harapan dan impiannya berbeda dari harapan Anda, beri dia kebebasan untuk mencapai harapan itu. Hindari memaksanya untuk memenuhi harapan dan impian Anda. Jika Anda memaksanya memenuhi impian Anda, bukan tidak mungkin, di kemudian hari (saat sudah dewasa) dia menyesal.

Hindari menilai anak Anda sebagai anak yang susah diatur, nakal, dan suka iri hanya karena ia menganggap Anda pilih kasih. Bisa jadi, karena harapan Anda kepada anak-anak Anda, Anda benar-benar menjadi orangtua yang pilih kasih, di mana Anda lebih perhatian kepada anak yang sesuai harapan Anda dan berpaling dari anak yang tidak sesuai harapan Anda.

Sikap yang Muncul dari Bias Gender

Selain karena harapan orangtua kepada anak-anaknya, sikap pilih kasih juga bisa timbul dari bias gender.

Apa itu bias gender? Bias gender adalah sikap yang memihak salah satu jenis kelamin dan merugikan jenis kelamin lainnya.

Contoh, Anda memiliki dua orang anak. Anak pertama laki-laki, sedangkan anak kedua perempuan. Kebetulan, anak lelaki Anda suka bangun kesiangan. Selain itu, kamarnya juga berantakan. Ia juga sering pulang di atas jam 9 malam. Tetapi, Anda tak pernah menegurnya.

Sama dengan anak lelaki Anda, anak perempuan Anda jarang merapikan kamar. Ia juga sering bangun kesiangan. Tetapi, berbeda dari sikap Anda terhadap anak lelaki Anda, Anda selalu menegur anak perempuan Anda ketika ia bangun kesiangan atau kamarnya berantakan. Anda berkata begini kepadanya, “Malu-maluin! Anak peremupan jam segini belum bangun,” atau, “Anak perempuan tapi pemalas. Kamar berantakan kaya kapal pecah!

pilih kasih

Dalam contoh di atas, di mana letak bias gendernya? Letak bias gendernya ada pada anggapan Anda bahwa anak perempuan tidak boleh malas, tidak boleh bangun siang. Hal itu mengindikasikan HANYA ANAK PEREMPUAN YANG DILARANG MALAS, sementara anak laki-laki pantas dan wajar-wajar saja kalau malas.

Nah, jika begitu, wajar, bukan, jika anak perempuan Anda menuduh Anda pilih kasih? Mengapa? Karena, Anda menetapkan banyak aturan baginya, sementara bagi anak laki-laki Anda, Anda terapkan kebebasan.

Sikap Anda di atas tentu merugikan anak perempuan Anda. Ketika ia menolak untuk melakukan perintah Anda (membersihkan kamar, misalnya, karena ia berpikir Anda tidak adil terhadapnya), Anda pun dapat mengecapnya sebagai anak durhaka, anak yang susah diatur. Beda halnya dengan anak lelaki Anda. Karena Anda tidak menerapkan aturan kepadanya, maka dia tak perlu membantah aturan apa pun. Dan, karena itu, Anda tidak mengecapnya sebagai anak durhaka dan susah diatur; TAK ADA ATURAN, TAK ADA YANG PERLU DILANGGAR, TAK ADA CAP DURHAKA.

Untuk itulah, Anda perlu bersikap adil. Ganti perspektif Anda yang bias gender dengan perspektif yang lebih adil. Bukan hanya anak perempuan yang dilarang malas. Anak laki-laki juga dilarang malas. Ia juga tidak pantas bangun siang.

Hindari menegur anak perempuan Anda dengan, “Anak perempuan kok….” Mengapa? Karena, hal itu menunjukkan bahwa ia dilarang ini itu karena DIA PEREMPUAN. Padahal, alasan sebenarnya mengapa dia dilarang itu itu bukan karena dia perempuan, melainkan karena hal itu tidak baik baginya.

Sikap yang Muncul dari Labelisasi

Selain karena beda harapan dengan anak dan karena bias gender, orangtua pilih kasih karena labelisasi.

Apa contohnya?

Contohnya, anak pertama Anda sangat gemar fisika. Selain gemar, ia juga berbakat dalam matapelajaran itu. Ia selalu mendapat nilai 100 dalam pelajaran itu. Dan, saking jagonya, Anda melabelinya sebagai “Si Ahli Fisika”. Setiap kali ia melakukan eksperimen fisika, Anda mendukungnya.

Sama dengan anak pertama Anda, anak kedua Anda juga tertarik fisika, meskipun tidak terlalu menampakkan ketertarikannya. Ia lebih menonjol dalam pelajaran bahasa. Namun demikian, sekalipun ia tidak berbakat dalam fisika, ia juga tertarik pada pelajaran itu.

Nah, berbeda dari sikap Anda terhadap anak pertama, setiap kali anak kedua Anda melakukan eksperimen fisika, Anda lantas berkata kepadanya, “Emang kamu bisa fisika kaya kakak kamu? Ga usah ikut-ikutan. Kamu kan jagonya bahasa.”

Labelisasi seperti di atas bisa membuat anak Anda merasa Anda pilih kasih. Karena labelisasi, Anda membatasi ketertarikan/minat anak-anak Anda. Padahal, bisa jadi, anak-anak Anda tidak hanya memiliki satu ketertarikan. Bisa jadi, mereka tertarik pada banyak bidang, bahkan bidang yang mereka tidak berbakat di dalamnya.

Oleh karena itu, jika anak menuduh Anda pilih kasih, hindari langsung mencapnya anak yang suka iri terhadap saudaranya. Jangan-jangan, ia menuduh Anda pilih kasih karena memang sikap Anda mencerminkan hal itu. Contohnya, yach, seperti contoh di atas, Anda melarang anak yang berbakat bahasa (“Si Ahli Bahasa) untuk ikut-ikutan menekuni fisika, karena menurut Anda, fisika adalah ranah ekslusif “Si Ahli Fisika”.

Sejatinya, setiap anak berhak mengejar minatnya. Tak ada bidang pelajaran yang hanya boleh diminati oleh orang yang berbakat pada bidang itu. Anak yang berbakat pada pelajaran bahasa berhak menggeluti fisika jika memang ia tertarik pada pelajaran itu. Begitu pun sebaliknya, anak yang berbakat dalam fisika berhak menggeluti bidang bahasa jika memang ia tertarik pada bidang itu.

Jadi, Apa yang Harus Anda Lakukan saat Anak Menuduh Anda Pilih Kasih?

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan setidaknya ada 3 kategori sikap yang membuat Anda pilih kasih (sekali pun Anda tidak sengaja pilih kasih dan tidak menyadarinya). Pertama, sikap yang muncul lantaran impian anak tidak sesuai dengan impian orangtua. Hal itu membuat orangtua peduli hanya pada anaknya yang memiliki impian yang sama dengan impiannya. Kepada anak yang impiannya berbeda dengan impian orangtua, orangtua pun lantas menghakiminya sebagai anak yang selalu mengecewakan orangtua, anak yang selalu membantah keinginan orangtua. Dan, karena itu, anak menuduh orangtua pilih kasih.

Sikap yang kedua yaitu sikap yang muncul dari bias gender. Orangtua yang memiliki pandangan yang bias gender berpotensi menjadi orangtua yang pilih kasih. Karena bias gender, ia lebih berpihak pada satu jenis kelamin dan memojokkan jenis kelamin lainnya.

Contohnya seperti sebagaimana diuraikan di atas.

Ketiga, sikap pilih kasih juga bisa muncul dari labelisasi. Orangtua memberi label kepada setiap anak. Ada yang diberi label “Si Kutu Buku”, “Si Musisi”, “Si Sastrawan”, di mana label-label itu membatasi anak untuk saling bertukar dan berbagi ketertarikan. Orangtua melarang “Si Sastrawan” untuk berkecimpung di bidang musik, karena orangtua menganggap hal itu akan merebut lahan “Si musisi”.

Sikap seperti itu pada ujungnya membuat “Si Sastrawan” menuduh orangtua pilih kasih, karena hanya “Si Musisi” saja yang boleh bermain musik.

Nah, setelah mengetahui 3 kategori di atas, apa yang harus Anda lakukan jika anak Anda menuduh Anda pilih kasih? Anda perlu memeriksa kembali apakah sikap Anda bias gender? Apakah Anda lebih memihak kepada anak yang memiliki impian yang sama dengan Anda? Atau, apakah Anda gemar melabeli anak-anak Anda?

Dalam mendidik anak, hindari bias gender dan labelisasi. Selain itu, penting juga untuk memberi kebebasan kepada anak-anak Anda untuk mengejar mimpi-mimpi mereka. Hindari memaksa mereka mengikuti mimpi dan harapan Anda. Hindari pula membatasi ketertarikan anak-anak Anda hanya karena mereka tidak berbakat dalam bidang yang mereka minati.

Baca juga:

Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?

Apa Itu Mental Block dan Bagaimana Mengatasinya agar Anak Lebih Optimis?

Figur seperti Apa yang Patut Dijadikan Role Model bagi Anak Anda?

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>