Salah satu penyebab mengapa seseorang tidak berhasil mewujudkan golnya adalah tiadanya motivasi untuk mencapai gol itu.
Itulah mengapa banyak pakar pengembangan diri mencari terobosan bagaimana cara membangkitkan motivasi dalam menggapai sebuah gol.
Dan salah satu terobosan yang paling popular adalah passion. Passion dipandang sebagai tenaga pendorong yang paling powerful. Alasannya adalah, passion datang dari rasa suka. Jika kita suka pada sesuatu, maka kita pasti termotivasi untuk mendapatkan sesuatu itu, demikian logikanya.
Contoh, kita suka pada seseorang. Maka, niscaya kita akan termotivasi untuk mendapatkan cinta orang tersebut. Tak peduli bapaknya galak, tak peduli orangtuanya tak merestui, tak peduli orang yang kita suka selalu menolak kita, kita tidak akan patah semangat untuk mendapatkannya. Betul?
Passion tak beda jauh dari rasa suka pada seseorang. Jika kita melakukan pekerjaan dengan passion, maka prosesnya menjadi terasa menyenangkan seperti saat mengejar-ngejar orang yang kita sukai. Passion membuat kita ikhlas mengerjakan pekerjaan kita.
Dengan kelebihan seperti itu, para pakar pengembangan diri berlomba-lomba menyarankan kita untuk “mengikuti passion” agar bisa lebih bersemangat dan termotivasi dalam mencapai gol, baik gol dalam kehidupan pribadi maupun gol dalam dunia pekerjaan.
Passion sering dibandingkan dengan “Carrot & Stick”. Bahkan sering dikatakan bahwa passion lebih powerful dibanding “Carrot & Stick”.
Carrot & Stick adalah analogi untuk “Reward & Punishment”. Membangkitkan motivasi dengan pendekatan “Carrot & Stick” berarti memberikan penghargaan atau pun hukuman pada orang yang ingin diberi motivasi.
Dalam lingkungan kerja, Carrot/Reward bisa berupa kenaikan jabatan, kenaikan gaji, pujian atasan, dsb. Sebaliknya, Stick/Punishment bisa berupa pemotongan gaji, Surat Peringatan, pemecatan, dst.
Lalu mengapa passion lebih powerful dibanding Carrot & Stick?
Karena passion dianggap datang dari rasa suka yang berarti datang dari dalam diri kita (motivasi internal), sedangkan Carrot & Stick dianggap datang dari pemberian dan ancaman orang lain yang berarti datang dari luar diri kita (motivasi eksternal).
Dengan passion, kita bekerja dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu, sebaliknya dengan Carrot & Stick, kita bekerja dengan mengharap imbalan. Jika tidak ada imbalan atau hukuman yang didapat, maka kita tidak termotivasi untuk bekerja.
Itulah mengapa passion dianggap lebih powerful dibanding “Carrot & Stick”.
Namun demikian, ada sementara pakar pengembangan diri yang mengatakan bahwa mengikuti passion bisa berakibat fatal. Alasan yang diberikan beraneka ragam, mulai dari mengikuti passion tidak sesuai dengan realitas hidup, atau mengikuti passion berarti ego-centric alias mementingkan diri sendiri, atau kita tidak selalu kompeten dalam passion kita.
Dalam artikel ini kami akan memaparkan alasan-alasan mengapa mengikuti passion terkadang bukan pilihan yang bijak dan bagaimana cara yang lebih efektif dari passion untuk membangkitkan motivasi dalam diri kita atau orang lain.
Di dunia nyata, kebutuhan ekonomi jauh lebih penting dibanding kebutuhan akan kesenangan. Maka, kita perlu menyelaraskan apa yang kita senangi dengan apa yang menghasilkan income untuk kita; Kita perlu menjadikan passion kita sebagai sumber penghasilan.
Dan alangkah bahagianya mereka yang bisa mendapatkan penghasilan dari passion mereka. Namun tidak semua orang mendapatkan keberuntungan seperti itu. Mengapa?
Kita mendapatkan penghasilan dengan menjual hasil kerja kita ke PASAR. Jika hasil kerja kita tidak sesuai dengan kebutuhan/kemauan pasar, maka hasil kerja kita tidak laku di pasaran. Jika tidak laku di pasaran, maka tidak ada income yang bisa kita dapatkan.
So, kita harus menjual hasil kerja yang sesuai dengan selera dan kebutuhan pasar agar bisa memperoleh income untuk penghidupan kita. Celakanya, tidak setiap passion yang kita miliki dibutuhkan oleh pasar.
Jika kita bersikeras untuk menjalani passion itu, ada harga yang harus dibayar, yakni kita tidak punya pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita.
Kasus seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan. Banyak yang punya passion di dunia musik. Namun dunia musik tidaklah tunggal melainkan jamak. Banyak genre dalam dunia musik mulai dari dangdut sampai rock dan tidak semua genre itu kita sukai atau kita passion.
Jika genre musik yang kita sukai/passion tidak sesuai dengan selera pasar, maka kita tidak bisa mendapatkan income dari menekuni genre tersebut.
Inilah mengapa mengikuti passion tidak selalu menjadi pilihan yang bijak. Jika passion kita sesuai selera pasar sih, bagus karena kita bisa mendapatkan income dari passion kita.
Namun jika passion kita tidak sesuai selera pasar, maka memilih menekuni passion akan membuat perekonomian kita sukar. Apa artinya kita punya motivasi besar untuk bekerja namun pekerjaan yang kita lakukan tidak menghasilkan?
Kompetensi bisa dilatih dan ditingkatkan. Itu betul. Namun pertanyaannya adalah:
Banyak orang yang mengejar passion dengan mengorbankan pekerjaan yang memberikan income besar. Banyak orang yang rela melepas pekerjaan yang memberinya kemapanan dan memulai dari nol lagi untuk melatih kompetensi di bidang yang ia passion.
Masalahnya adalah, waktu terus bergulir, umur terus menua. Sepadankah waktu dan uang yang kita korbankan dengan hasilnya?
Contohnya adalah orang yang melepaskan prioritas lainnya dan mengonsentrasikan waktu dan uang untuk mengejar passion mendapatkan gelar akademis di umur yang sudah tua renta.
Mengapa ini tidak efektif?
Karena setelah mendapatkan gelar akademis yang diinginkan, lantas apa yang terjadi? Apakah serta merta dia bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat di perguruan tinggi? Jika tidak ada instansi yang bisa menerima pekerja dengan umur tua renta, maka kemungkinan besar ilmu yang didapatkan tidak bisa diaplikasikan. Akhirnya, gelar tinggal gelar.
Ini bukan berarti mengecilkan mereka yang ingin terus belajar di usia renta. Hanya saja, belajar tidak harus di perguruan tinggi. Belajar tidak harus dengan mengorbankan prioritas hidup lainnya, apalagi ketika umur sudah tua renta.
Dalam sebuah studi, seorang peneliti dari BI Norwegian Business School Ide Katrine Birkeland menemukan bahwa seseorang yang bekerja mengikuti passion cenderung memiliki sikap yang tidak kooperatif dalam organisasi perusahaan.
“Jika pekerjaan Anda adalah segalanya untuk Anda, sangat mudah untuk menjadi buta dan hanya berfokus pada apa yang Anda perlu lakukan untuk mencapai gol Anda dan kehilangan perspektif pada hal lainnya yang terjadi di organisasi Anda,” demikian kata Birkeland.
Mengapa ini bisa terjadi?
Karena, sesuai dengan hasil studi Birkeland, orang-orang yang meninggikan passion mereka, orang-orang yang beranggapan bahwa mereka tak sanggup hidup tanpa passion mereka cenderung menilai orang lain yang bekerja tidak sesuai dengan passion sebagai para pecundang dan meremehkan mereka.
Bagaimana seseorang yang meremehkan orang lain bisa bekerja sama dengan orang-orang yang diremehkan? Itulah mengapa orang-orang yang meninggikan passion cenderung tidak bisa bekerja sama dalam organisasi.
Bahkan dalam studi tersebut ditemukan bahwa mereka yang meninggikan passion sering meninggalkan meeting dengan kolega akibat kesombongan mereka, seolah satu-satunya yang penting di dunia ini hanyalah dia melakukan passionnya. Singkatnya, passion membuat seseorang menjadi self-centered atau hanya memikirkan diri sendiri.
Di atas telah dijelaskan bahwa passion merupakan motivasi internal yang artinya datang dari dalam diri kita tanpa ada pengaruh faktor luar.
Namun dalam banyak kasus, passion datang dari faktor luar seperti ikut-ikutan orang lain, harapan orangtua, atau iming-iming media.
Contohnya adalah seseorang yang mengaku passion di dunia musik. Bisa jadi passion itu muncul bukan karena ia memang suka bermain musik melainkan karena iming-iming media yang memperlihatkan seolah menjadi musisi itu hebat, keren, dan dielu-elukan banyak orang.
Dalam contoh ini, passion menjadi musisi bukan dilandasi oleh faktor internal melainkan oleh keinginan untuk disukai banyak orang.
Contoh lain, seseorang yang mengaku passion di bidang kedokteran. Bisa jadi passion itu muncul bukan karena dia suka dengan aktivitas di bidang kedokteran seperti memeriksa pasien, meracik obat, bergulat dengan penyakit pasien, dst melainkan karena dia melihat dokter memiliki peran yang besar bagi kehidupan banyak orang.
Nah, karena passion bisa muncul dari motif-motif eksternal seperti ingin menjadi tenar atau ingin memberikan kontribusi, maka artinya mengikuti passion tidak selalu keputusan yang bijak, terutama jika motifnya tidak sesuai dengan visi hidup kita atau tidak membuat diri kita maju.
Menjadi tenar dan disukai banyak orang mungkin bagus dan datang dari salah satu kebutuhan dasar yakni kebutuhan akan signifikasi. Namun bukanlah keputusan yang bijak jika kita memprioritaskan hal yang hanya memenuhi kebutuhan dasar ini di atas hal lain.
Jangan sampai hanya karena kita passion di bidang musik di mana passion itu didasarkan pada motif ingin tenar, lantas kita melepaskan pekerjaan yang sudah memberikan kehidupan kepada kita.
Kedua, sekali pun passion yang kita miliki muncul dari internal kita, muncul dari dorongan bawah sadar kita, kita harus tetap merenungkan apakah passion itu selaras dengan visi hidup kita.
Jika ternyata passion itu tidak selaras dengan visi hidup kita atau tidak bisa membuat diri kita bertumbuh, maka mengikuti passion bukanlah pilihan yang tepat.
Itulah beberapa alasan mengapa mengikuti passion terkadang bukan pilihan yang bijak, meskipun mengikuti passion bisa membuat kita lebih termotivasi dalam bekerja atau mencapai gol.
Lalu, bagaimana cara membangkitkan motivasi selain dengan mengikuti passion?
Dalam Best Life Project Edisi ke-2 yang berjudul “Obsesi”, dijelaskan dengan lengkap bahwa Obsesi bisa menjadi salah satu cara powerful untuk membangkitkan motivasi dalam diri kita.
So, simak Best Life Project Edisi ke-2 dan silakan berikan pemikiran Anda tentang passion.
Agus Setiawan, seorang pembelajar yang sangat menyenangi dunia pengembangan diri khususnya dunia pikiran. Hasratnya untuk membantu banyak orang membawanya mendalami berbagai pengetahuan tentang pengembangan diri dan hipnoterapi. Ia menjadi hipnoterapis yang direkomendasikan oleh Adi W Gunawan Institute. Dalam prosesnya Pria kelahiran 1982 ini juga menemukan Sistem Bacakilat yang menggunakan pikiran sadar dan bawah sadar untuk meningkatkan keefektifan dalam membaca buku yang sudah dibawakan ke berbagai kota mulai tahun 2009. Dorongan untuk membantu lebih banyak orang lagi membuatnya mendirikan Aquarius Resources yang berperan untuk memberikan Re-Edukasi terbaik kepada setiap orang yang ingin menempuh kesuksesan dalam kehidupannya.
Session expired
Please log in again. The login page will open in a new window. After logging in you can close it and return to this page.