Berikut ini sebuah ilustrasi yang menggambarkan suasana perdebatan pendukung para calon lurah di kelurahan Sukakaya.

Pendukung A: “B tidak pantas maju dalam pemilihan lurah. B tidak pantas jadi lurah.”

Pendukung B: “Kenapa?”

Pendukung A: “Bagaimana dia mengurus kampung kita? Mengurus diri sendiri saja dia tidak becus!”

Pendukung B: “Alaaaaah, kaya si A becus saja jadi lurah. Mana bisa dia mengurus kampung kita? Cuma lulusan dalam negeri. Bandingkan dengan si B yang lulusan luar negeri.”

Pernahkah Anda mendengar perdebatan seperti di atas? Atau, barangkali, Anda sendiri pernah mengalami perdebatan seperti itu, dalam pemilihan presiden tempo hari, misalnya?

Menyimak perdebatan antara pendukung A dan pendukung B di atas, apa yang dapat Anda simpulkan?

Mungkin, Anda akan mengiyakan argumen keduanya. Tetapi, sebelum mendukung keduanya, ada beberapa hal yang perlu Anda pertimbangkan dalam argumen mereka.

Apa saja itu?

Dalam perdebatan di atas, pendukung si A menolak B menjadi lurah. Alasannya, si B tidak bisa mengurus diri sendiri. Menurut pendukung si A, bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengurus diri sendiri bisa mengurus desa.

Adakah yang salah dengan argumen itu?

Yup! Orang yang tidak bisa mengurus diri sendiri bukan berarti ia juga tidak bisa mengurus desa. Kemampuan mengurus diri sendiri tidaklah berbanding lurus dengan kemampuan mengurus desa. Banyak pemimpin yang sukses memimpin negaranya meskipun kehidupan pribadinya kacau. Kegagaglan dalam satu hal tidaklah berarti kegagalan pada hal lain. Ada pemimpin yang meskipun gagal dalam pernikahan, tetapi sukses memimpin negara. Contohnya, Nelson Mandela, Hugo Chaves, dan masih banyak lagi.

Banyak tokoh yang sukses dalam karir, tetapi gagal dalam kehidupan pribadi. Contohnya artis. Banyak sekali artis yang sukses dalam dunia entertainment, tetapi gagal dalam kehidupan pribadi. Meskipun sukses, tetapi mereka terjerumus narkoba, misalnya.

Lalu, bagaimana dengan argumen pendukung si B? Adakah yang salah dengan argumen itu?

Yup! Lembaga pendidikan tidak berbanding lurus dengan kesuksesan memimpin. Ada orang yang jebolan luar negeri, tetapi tidak cakap memimpin desanya. Ada orang yang hanya lulusan dalam negeri tetapi mahir memimpin. Sukses tidaknya seseorang dalam memimpin tidak ditentukan oleh di mana ia bersekolah.

Nah, dalam filsafat, kesalahan-kesalahan berpikir seperti di atas lazim disebut logical fallacy alias sesat pikir. Sesat pikir dalam argumen kedua pendukung di atas disebut Ad Hominem.

Ad Hominem adalah cara berpikir di mana seseorang mendasarkan argumennya pada kepribadian orang lain, bukan pada alasan yang rasional.

Selain Ad Hominem, masih banyak lagi bentuk sesat pikir lainnya yang sering dijadikan sebagai landasan berpikir masyarakat.

Sesat pikir ada di mana-mana. Anda dapat menjumpai sesat pikir di dalam buku yang Anda baca, artikel, dalam kelas, ceramah, koran, diskusi, dan debat. Untuk itu, Anda harus berhati-hati. Anda tidak dapat menelan mentah-mentah argumen yang dilontarkan penulis buku, dosen, atau pun penceramah. Anda harus menelusuri apakah argumennya mengandung fallacy/ kesesatan berpikir atau tidak.

Itu artinya, Anda harus paham berbagai bentuk sesat pikir.

Lantas, apa saja bentuk sesat pikir yang harus Anda hindari dalam berpikir kritis?

Berikut ini penulis sampaikan 5 bentuk sesat pikir yang sering dijadikan sebagai landasan dalam berargumen. Dengan mengenali 5 fallacy ini, Anda dapat menghindarinya agar Anda dapat berpikir kritis.

5 Fallacy yang Harus Anda Hindari dalam Berpikir Kritis

Sebagaimana penulis jelaskan di atas, bentuk sesat pikir beraneka macam. Tetapi, tidak semuanya lazim digunakan dalam berargumen. Berikut ini penulis sampaikan 5 bentuk sesat pikir yang lazim digunakan oleh masyarakat dalam berargumen. Untuk berpikir kritis, Anda harus menghindari kelimanya.

1. Ad Hominem

Sesat pikir yang pertama yaitu Ad Hominem. Sebagaimana dijelaskan di atas, Ad Hominem adalah cara berargumen/berpikir di mana seseorang mendasarkan argumennya pada kepribadian orang lain, bukan pada alasan yang rasional. Dalam kata lain, Ad Hominem berarti menyerang kepribadian orang lain ketika berargumen.

Contohnya dapat Anda temukan dalam ilustrasi tentang debat para pendukung calon lurah di atas.

2. Faulty analogy

Bentuk yang kedua yaitu faulty analogy alias ketidakcocokan analogi.

Apa itu analogi?

Pernahkah Anda mendengar ungkapan, “Hidup itu bagaikan roda. Terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah”?

Dalam ungkapan itu, hidup dianalogikan dengan roda. Analogi sama artinya dengan kiasan.

Terkadang, seseorang menggunakan analogi dengan tepat. Tetapi, tak jarang pula kita temui pemakaian analogi yang tidak tepat. Ketidak-tepatan analogi cukup berbahaya. Ia dapat menyesatkan Anda, menuntun Anda pada argumen yang keliru.

Lantas, apa contoh ketidaktepatan analogi?

Sering kita dengar nasihat seperti ini: “Manusia itu tidak usah cemas memikirkan rezeki. Jangan pernah takut kelaparan. Tuhan tidak pernah absen memberikan rezeki kepada setiap umat. Bayangkan, cicak yang hanya bisa merayap di dinding saja tidak pernah kelaparan. Selalu saja ada mangsa yang dapat ia makan, apalagi manusia yang punya akal dan bisa berpikir?”

Nasihat di atas kedengaran bagus. Tetapi, ada kesalahan argumen di dalamnya.

Apa itu?

Menganalogikan manusia dengan cicak tidaklah tepat!

Mengapa?

Manusia terikat oleh kehidupan sosial, sedangkan cicak tidak. Apa yang dibutuhkan cicak hanyalah mangsa untuk dimakan. Ia tidak butuh pendidikan, tidak memiliki rasa malu, tidak butuh sandang, pangan, dan papan. Selain itu, ia juga tidak butuh harga diri yang harus dipertahankan.

Hidup cicak tidak akan menderita hanya karena ia tidak memiliki pakaian, rumah, atau pendidikan. Maka dari itu, tidak heran jika cicak tidak pernah menderita dan mengeluhkan rezeki.

Sebaliknya, manusia memiliki rasa malu, memiliki harga diri, butuh pendidikan, sandang, pangan, dan papan. Manusia tidak dapat hidup sesederhana cicak. Ia tidak dapat memakan makanan yang ala kadarnya. Ia tidak sembarangan menyantap makanan, tidak seperti cicak yang asal menyantap serangga di hadapannya. Bagi manusia, makanan perlu dimasak. Manusia juga tidak bisa menyantap makanan basi.

berpikir kritis

Memang, manusia masih bisa bertahan hidup dengan hanya memakan makanan seadanya, apa pun yang ada dihadapannya. Tetapi, dalam masyarakat manusia, hidup seperti itu adalah hidup yang terbelakang. Untuk diterima dalam kehidupan sosial, agar harga dirinya tidak terluka, manusia harus bersekolah, berbusana, dan memiliki rumah. Semua itu tidak dapat diperoleh hanya dengan mengambil secara cuma-cuma apa yang ada di alam, sebagaimana cicak mengambil cuma-cuma serangga di depannya dan menyantapnya.

Menyamakan manusia dengan cicak sama saja menyuruh manusia kembali pada kehidupan primitif.

Lhoh, tetapi, memang benar, kan, kita tidak perlu takut kelaparan? Memang benar, kan, Tuhan memberikan rezeki pada setiap manusia. Jadi, tak usah cemas dan mengeluh?” mungkin demikian sanggah Anda.

Adalah manusiawi jika kita merasa takut kelaparan. Manusiawi pula jika kita mengeluh susahnya mencari rezeki. Kenyataannya, masih banyak orang yang tidak memiliki rezeki yang mencukupi untuk makan, pendidikan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Masih banyak orang yang menganggur, yang karenanya butuh pekerjaan yang layak. Keluhan dapat menjadi dorongan bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan mereka yang rezekinya tidak mencukupi kebutuhan.

3. Circular reasoning

Bentuk sesat pikir yang ketiga yaitu circular reasoning. Circular reasoning adalah cara berargumen di mana seseorang membuktikan kesimpulannya dengan mengambil faktor dalam argumen itu sendiri, bukan dari luar.

Ilustrasi berikut memberikan contoh bagaimana circular reasoning digunakan.

A: “Tuhan itu ada. Kita harus taat pada-Nya.”

B: “Apa buktinya?”

A: “Dalam kitab suci, dijelaskan bahwa Tuhan itu ada.”

B: “Haruskah saya percaya kitab suci? Apa alasannya?”

A: “Karena kitab suci ciptaan Tuhan!”

Di mana letak kesesatan pikirnya?

Dalam ilustrasi itu, si A menyimpukan bahwa Tuhan itu ada. Tetapi, alasan/bukti yang dikemukakannya keliru. Ia membuktikan eksistensi Tuhan dengan ayat kitab suci yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada, di mana kitab suci itu diyakininya berasal dari Tuhan.

Argumen seperti itu tidak akan membuat seorang ateis percaya adanya Tuhan. Bagaimana ia percaya jika ia saja tidak percaya kitab suci berasal dari Tuhan. Lebih jauh, bagaimana ia percaya kitab suci jika ia tidak percaya Tuhan?

Terhadap argumen seperti itu, sebuah artikel dalam website web.cn.edu memberikan komentar berikut ini: “Surely God deserves a more intelligible argument than the circular reasoning….” Tentu saja, Tuhan berhak mendapatkan argumen yang lebih cerdas ketimbang sekadar circular reasoning. Maksudnya, apa yang layak bagi Tuhan yaitu kita menjelaskan eksistensi-Nya dengan argumen yang cerdas, bukan hanya dengan circular reasoning yang tidak logis.

4. Tautology

Sesat pikir yang keempat, tautology. Apa itu tautology?

Pernahkah Anda mendengar orang berkata seperti ini: “Handphone adalah telepon genggam.”?, atau, Self-healing adalah pengobatan mandiri.”?

Sering, bukan? Kedua pernyataan itu merupakan contoh tautologi.

Tautologi adalah menjelaskan definisi sesuatu dengan dirinya sendiri. pada kenyataannya, tautology tidak menjelaskan apa-apa. Apakah dengan menyatakan bahwa handphone adalah telepon genggam lantas Anda paham seperti apa handphone itu? Tidak, bukan? sama halnya, apakah dengan menyatakan bahwa self-healing adalah pengobatan mandiri lantas Anda paham seperti apa bentuk self-healing? Tidak juga.

Dalam komunikasi, seringkali kita jumpai argumen yang mengandung tautology. Contohnya, sebuah artikel menjelaskan beberapa cara meningkatkan motivasi. Salah satu di antara cara tersebut yaitu “bersemangatlah dalam bekerja”. Cara itu tentu saja tidak manjur. Mengapa? Kehilangan motivasi sama artinya kehilangan semangat. Termotivasi sama artinya dengan tersemangati. Masuk akalkah menasihati orang yang kehilangan semangat untuk bersemangat?

Menasihati orang yang kehilangan semangat dengan menyuruhnya untuk bersemangat sama artinya menyatakan: bersemangatlah karena semangat meningkatkan semangat. Membingungkan dan tidak berarti apa-apa!

5. False dilemma

Sesat pikir yang kelima yaitu false dilemma. Contohnya, ketika pemilu presiden kemarin, orang yang mengkritik kandidat A dianggap sebagai pendukung kandidat B. Sebaliknya, orang yang mengkritik kandidat B dianggap sebagai pendukung kandidat A. Padahal, belum tentu orang yang mengkritik kandidat A adalah pendukung kandidat B. Siapa tahu dia tidak mendukung keduanya. Atau, bisa juga, ia mendukung A, tetapi tetap mengkritik kesalahan-kesalahan si A.

False dilemma terjadi di mana-mana. Kita sering mendengar orang menuduh orang lain kaum freemason ketika perilaku orang tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ia junjung tinggi.

Kesalahan/sesat pikir memang sering terjadi. Sesat pikir ada di mana-mana; dalam buku yang Anda baca, artikel, koran, ceramah, dan di dalam kelas. Untuk itu, Anda wajib waspada. Dalami argumen yang dilontarkan kepada Anda. Bertanyalah dengan kritis. Tanyakan rasionalisasi/alasan yang mendasari kesimpulan sang penulis atau penceramah.

 

 

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>