Sebagai seorang ibu, tentu salah satu ujian terbesar yang Anda hadapi yaitu buah hati yang mulai beranjak remaja. Dalam fase ini, buah hati mulai menaruh perhatian terhadap banyak hal. Ia mulai mempertanyakan aturan-aturan yang diterapkan dalam keluarga. Ia mulai mempertanyakan penting-tidaknya, benar-salahnya, perlu-tidaknya sebuah aturan diterapkan. Dalam fase ini, dia, buah hati Anda, akan banyak merepotkan Anda dengan berbagai pertanyaan menyangkut dirinya, lingkungannya, dan kehidupan.
Nah, jika Anda tidak siap dengan laju perkembangan buah hati Anda, tentu Anda kewalahan mengimbangi perkembangan itu. Salah satu konsekuensinya yaitu bersiap-siaplah Anda menyaksikan buah hati kesayangan Anda menjadi pemberontak yang tidak mengindahkan kata-kata, nasihat, dan perhatian Anda.
Hehehe, serem, ya? Jangan khawatir, Bunda. Sekalipun anak Anda menjadi pemberontak yang membangkang, masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan. Kuncinya yaitu mengetahui SEBAB mengapa ia menjadi pembangkang. Selanjutnya, bertolak dari sebab itu, Anda paham kunci mengatasinya.
Nah, dalam artikel ini, penulis ingin mengulas sebab-sebab remaja membangkang terhadap aturan keluarga dan lingkungan. Artikel ini ditulis berdasarkan sudut pandang anak, mengingat sudut pandang ini diperlukan untuk memahami kemauan dan keinginan anak, yang mungkin saja bertentangan dengan kemauan orangtua.
Selain bertolak dari sudut pandang anak, artikel ini juga didasarkan pada kajian psikologi mengenai fase perkembangan anak di mana anak dapat mengalami periode-periode psikologis yang kritis.
Semoga artikel ini bermanfaat dalam membantu Anda memahami gejolak buah hati Anda dan membantu Anda menghadapi kesusah-diaturan-nya.
Sekarang, sebelum kita memulai ulasan mengenai kunci menghadapi buah hati yang mulai susah diatur, mari, Bunda, kita simak ulasan mengenai penyebab remaja membangkang dan susah diatur.
Seorang pakar psikologi perkembangan, Erik Erikson menjelaskan bahwa salah satu fase kehidupan manusia yaitu fase pembentukan identitas (identity formation).
Setidaknya, sekali dalam seumur hidup, manusia mengalami fase ini. Hal ini sangat alami, mengingat identitas tidaklah statis. Manusia tidak mendapatkan identitasnya “dari sononya”. Sebaliknya, identitas dibentuk lewat pendidikan, norma yang berlaku, kebudayaan, keyakinan, dan pandangan hidup. Siapa diri kita sekarang belum tentu menjadi siapa diri kita di masa depan. Manusia senantiasa berubah seiring waktu. Perubahan pola pikir, kebudayaan, atau pun kondisi kehidupan turut memengaruhi perubahan identitasnya.
Dan, fase ini (fase identity formation) tidaklah berlaku hanya pada remaja. Tidak menutup kemungkinan orang yang sudah dewasa kembali mengalami fase ini. Namun demikian, bagaimana remaja menghadapi fase ini turut memengaruhi bagaimana ia menghadapi fase itu pada masa dewasanya.
Dalam rangka mengembangkan temuan Erikson, James Marcia, seorang pakar psikologi perkembangan berkebangsaan Kanada merumuskan sebuah model pembentukan identitas. Dengan model ini, kita dapat menggolongkan pencapaian identitas seseorang ke dalam 4 kategori. Empat kategori ini didasarkan pada dua dimensi, yakni dimensi komitmen dan dimensi eksplorasi.
Nah, untuk mengetahui apa saja empat kategori itu, berikut ini penjelasannya.
Kategori pertama yaitu identity achieved. Kategori ini dicapai oleh orang yang tekun dalam bereksplorasi dan berpikir serta berkomitmen. Ia tekun mengeksplorasi dan memikirkan segala-galanya. Ia mempertanyakan keyakinan, norma, aturan, budaya, dan prinsip hidup yang diajarkan lingkungan kepadanya.
Dalam menentukan identitas dan pilihan hidupnya, ia tidak bergantung pada pilihan orangtua atau lingkungan. Ia senantiasa menggantungkan pilihannya pada pikirannya yang bebas. Identitas dan prinsip hidupnya senantiasa didasarkan pada apa yang sudah dipikirkan dan dipertimbangkannya secara mendalam.
Meskipun ia merupakan pemikir yang bebas (free thinker) yang cenderung berpikiran terbuka, orang yang termasuk dalam kategori ini tetap memiliki komitmen untuk memilih satu identitas hidup, satu prinsip dan keyakinan hidup. Keterbukaannya terhadap ide, prinsip, keyakinan, politik, dan ideologi yang berbeda tidak membuatnya enggan atau pun menangguhkan diri untuk berkomitmen.
Kategori yang kedua yaitu moratorium. Kategori ini dicapai oleh orang yang tekun bereksplorasi dan berpikir, tetapi tidak memiliki komitmen.
Sebagaimana orang yang termasuk dalam kategori identity achieved, orang yang mencapai kategori ini senantiasa memikirkan dan mengeksplorasi segalanya. Ia senantiasa mempertanyakan norma, aturan, budaya, prinsip, keyakinan, dan pandangan hidup yang diajarkan lingkungan terhadapnya. Sebagaimana orang dalam kategori pertama, ia merupakan seorang pemikir yang bebas dan terbuka.
Namun demikian, berbeda dengan orang dalam kategori pertama, sang moratorium, karena pertimbangannya yang mendalam, sulit memutuskan suatu keputusan, termasuk keputusan untuk memilih satu identitas hidup. Bahkan, dalam bentuk ekstremnya, ia memilih untuk tidak berkomitmen terhadap identitas apa pun.
Kategori yang ketiga yaitu identity foreclosured. Kategori ini dicapai oleh orang yang tidak banyak berpikir dan bereksplorasi, tetapi memiliki komitmen yang kuat.
Menyangkut identitas, orang yang mencapai kategori ini cenderung tidak banyak mempertanyakan dan mengkritisi aturan, norma, keyakinan, dan prinsip hidup yang diajarkan lingkungan kepadanya. Ia senantiasa mengikuti norma, keyakinan, dan prinisp yang diajarkan kepadanya, tanpa banyak pertanyaan.
Remaja yang penurut terhadap aturan orangtua dan lingkungan seringkali masuk dalam kategori ini.
Kategori yang terkahir yaitu identity diffused. Kategori ini dicapai oleh orang yang tidak banyak berpikir dan tidak memiliki komitmen yang kuat.
Orang yang mencapai kategori ini tidak banyak meluangkan waktu untuk memikirkan dan bertanya, baik kepada diri sendiri maupun kepada lingkungan mengenai prinsip hidup, keyakinan, norma, dan kebudayaan yang diajarkan kepadanya. Namun demikian, ia tidak mengikuti sepenuhnya apa yang diajarkan kepadanya. Ia senantiasa terbuka terhadap semua hal. Namun demikian, keterbukaannya tidak didasarkan pada pemikiran dan perenungan yang mendalam, melainkan pada emosinya.
Nah, setelah mengetahui 4 kategori pembentukan identitas di atas, kira-kira, remaja pemberontak masuk ke dalam kategori yang mana? Bisa jadi, remaja pemberontak berasal dari kategori yang pertama. Atau, bisa jadi juga ia berasal dari kategori kedua atau pun kategori keempat. Sementara itu, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, remaja dalam kategori ketiga cenderung menjadi remaja yang penurut.
Sekarang, untuk mengetahui alasan mengapa kategori pertama, kedua, dan keempat berpotensi menjadi remaja pemberontak, mari kupas lebih mendalam.
Mengapa kategori pertama, yakni identity achieved berpotensi menjadi pemberontak yang susah diatur? Sebagaimana dijelaskan di atas, orang yang mencapai kategori pertama senantiasa merenungkan dan mempertanyakan budaya, prinsip, dan norma yang diajarkan kepadanya. Kecenderungan merenung dan bertanya ini menjadikan mereka kritis terhadap norma yang berlaku dan tidak gampang menerima ajaran yang disampaikan kepadanya.
Ia cenderung independen dalam menentukan pandangan dan prinsip hidup. Apabila apa yang diajarkan oleh lingkungan (kepadanya) tidak sesuai dengan perenungan dan pemikirannya, maka ia tidak segan-segan untuk menentang apa yang diajarkan kepadanya itu.
Telebih lagi, orang dalam kategori ini memiliki komitmen yang kuat terhadap apa yang ia yakini. Ia senantiasa bersikeras mempertahakankan apa yang ia yakini, sekalipun keyakinan itu bertentangan dengan keyakinan yang diajarkan oleh lingkungan kepadanya.
Jadi, demikianlah mengapa remaja yang mencapai kategori ini berpotensi menjadi pemberontak.
Sekarang, bagaimana dengan buah hati Anda? Apakah ia termasuk dalam kategori ini?
Selain masuk ke dalam kategori pertama, remaja pemberontak bisa juga berasal dari kategori kedua, yakni kategori moratorium.
Alasan mengapa remaja moratorium berpotensi memberontak yakni, sebagaimana halnya remaja pada kategori pertama, remaja pada kategori ini senantiasa merenungkan dan mempertanyakan segala hal, termasuk ajaran-ajaran yang disampaikan kepadanya. Ia tidak gampang menurut apa yang dikatakan dan dinasihatkan oleh orangtua kepadanya. Apa yang diajarkan kepadanya senantiasa melewati filter perenungan.
Jika ajaran yang disampaikan kepadanya tidak sesuai dengan pemikiran dan keinginannya, maka ia pun akan menolak ajaran itu.
Meskipun suka menerung dan bertanya, remaja dalam kategori ini tidak memiliki komitmen terhadap satu pilihan hidup dan identitas. Pikirannya yang terlampau terbuka terhadap semua kemungkinan membuatnya enggan untuk memilih satu identitas. Ia senantiasa mempertimbangkan masing-masing ajaran yang disampaikan kepadanya dari berbagai sudut pandang.
Jika buah hati Anda termasuk ke dalam kategori ini, maka beruntunglah Anda sebagai orangtua. Sekalipun susah diatur, remaja dalam kategori ini cukup mengerti apa yang harus ia lakukan. Perenungannya yang mendalam menjadikannya tidak gampang terpengaruh oleh hal-hal yang negatif. Semua tindakannya senantiasa didasarkan pada pemikiran dan perenungannya.
Remaja yang termasuk ke dalam kategori identity diffusion juga berpotensi menjadi remaja pemberontak. Mengapa? Bukankah dia tidak suka merenungkan dan mempertanyakan ajaran yang disampaikan kepadanya? Bukankah seharusnya ia menjadi remaja yang penurut?
Remaja yang tidak memiliki inisiatif untuk bertanya tetap memiliki potensi untuk memberontak. Tetapi, berbeda dengan remaja moratorium ataupun remaja identity achievement, pemberontakan ini bukan didasarkan pada pemikiran yang mendalam, melainkan pada emosi belaka.
Jika ajaran yang disampaikan kepadanya tidak sesuai dengan keinginannya, maka ia pun akan menolak ajaran itu tanpa mempertimbangkan benar-salahnya, baik-tidaknya, dan perlu-tidaknya ajaran itu.
Nah, apa yang seringkali dikhawatirkan orangtua yaitu jika buah hatinya masuk ke dalam kategori ini. Karena menuruti keinginannya tanpa mempertimbangkan dampak keinginan itu bagi dirinya, remaja yang masuk ke dalam kategori ini mudah terpengaruh oleh gaya hidup yang justru merugikan dirinya.
Lantas, bagaimana dengan buah hati Anda yang mulai beranjak remaja?
Sampai di sini, kita belum dapat menyimpulkan bagaimana seseorang masuk ke dalam satu di antara 4 kategori di atas. Kita belum mengetahui mengapa ada remaja yang suka merenung dan berpikir, sementara yang lainnya tidak.
Nah, salah satu hal yang membuat remaja menjadi remaja yang kritis dan suka berpikir yaitu keinginan dan harapannya bertentangan dengan keinginan dan harapan orangtua dan lingkungan. Karena pertentangan itulah, remaja pun bertanya mengapa ia harus menuruti kemauan orangtua yang tidak sejalan dengan kemauannya. Dari situ, ia pun terdorong untuk merenungkan apa yang diajarkan orangtua kepadanya. Ia mempertimbangkan ajaran orangtuanya dari berbagai sudut pandang.
Jika setelah merenung, ia menyimpulkan bahwa ajaran orangtuanya tidak cocok untuknya, maka ia akan mencari ajaran dan identitas lain yang cocok dengan pemikiran dan keinginannya. Jika ia menemukan identitas yang cocok dengannya, maka kemungkingan besar, ia akan berkomitmen pada identitas itu. Identitas itu akan menjadi pilihan dan prinsip hidupnya. Nah, jika itu terjadi, maka dalam model Marcia, ia mencapai kategori/ level identity achieved.
Sebaliknya, selama ia belum menemukan identitas yang cocok dengan dirinya, maka ia tidak akan berkomitmen terhadap ajaran apa pun. Dalam model Marcia, ia mencapai level moratorium.
Itulah mengapa, remaja yang masuk ke dalam kategori identity foreclosured tidak memiliki inisiatif untuk merenungkan apa yang diajarkan kepadanya. ini dikarenakan, remaja yang masuk ke dalam kategori ini memiliki harapan dan pola pikir yang sama seperti pola pikir dan harapan orangtuanya. Tidak ada pertentangan antara dirinya dengan orangtuanya. Karena itulah, ia tidak perlu menanyakan segala hal yang diajarkan orangtuanya kepadanya.
Pertanyaannya, mengapa sementara remaja tidak terdorong untuk berpikir kritis sekalipun harapan dan keinginannya tidak sesuai dengan keinginan orangtuanya, di mana dalam model Marcia, remaja ini masuk ke dalam kategori identity diffussed? Apakah remaja seperti ini tidak terlalu pandai sehingga tidak memiliki inisiatif untuk mempertanyakan ajaran yang disampaikan kepadanya? Jawabannya tentu saja tidak!
Selain pertentangan harapan dan pola pikir, kekritisan seseorang juga dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan hidupnya. Orang yang tidak memiliki kebiasaan berpikir kritis maka tidak akan berpikir kritis manakala ia dihadapkan pada pertentangan. Pemberontakannya hanyalah ekspresi penolakannya terhadap harapan, ajaran, dan aturan yang tidak sesuai dengan keingiannya, bukan pemikiran mendalamnya.
Oleh karena itulah, penting sekali bagi sebuah keluarga untuk menumbuhkan budaya berpikir kritis. Budaya ini dapat tumbuh jika orangtua demokratis.
Setelah mengetahui penyebab remaja memberontak seperti yang dijelaskan di atas, lantas apa yang dapat Anda lakukan manakala buah hati Anda menjadi pemberontak?
Nah, berikut ini beberapa cara yang dapat Anda terapkan untuk menghadapi pemberontakan buah hati Anda. Cara ini didasarkan pada penyebab di atas dan didasarkan pada sudut pandang anak.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya yang berjudul God Delusion, sejatinya tidak ada apa yang disebut “anak Muslim”, “anak Kristen”, “anak Hindu”, dan sebagainya. Yang ada adalah “anak orangtua Muslim”, “anak orangtua Kristen”, atau “anak orangtua Hindu”.
Dengan ini, Dawkins hendak mengatakan bahwa orangtua hendaknya memberi kebebasan kepada anaknya untuk memilih keyakinannya sendiri sesuai dengan perenungannya.
Nah, dalam artikel ini, kebebasan itu bukan hanya berarti kebebasan memilih keyakinan. Lebih jauh, kebebasan ini juga berarti kebebasan dalam memilih cita-citanya (pekerjaan) yang sesuai dengan minatnya dan kebebasan untuk memilih prinsip dan pegangan hidup. Oya, juga kebebasakan untuk memilih pasangan hidup. Hehehe.
Saat Anda memberikan kebebasan kepada anak Anda untuk memilih jalan hidupnya sendiri, maka Anda pun tidak perlu berkonfrontasi dengannya. Ia tidak perlu menentang perintah dan nasihat Anda karena tidak ada yang perlu dipertentangkan dengannya.
Tidak perlu khawatir jika buah hati memilih jalan hidup yang justru membuatnya sensara. Tidak perlu khawatir anak Anda terjebak pada identity diffusion. Selama Anda membekalinya dengan bimbingan, maka Anda dapat menuntunnya memilih jalan hidup yang membawa dampak positif kepadanya.
Kuncinya adalah, memberikan bimbingan kepada anak untuk senantiasa berpikir kritis dan penuh perenungan sebelum ia memilih suatu keputusan. Ajarkan kepada anak Anda untuk senantiasa mempertimbangkan suatu keputusan dari berbagai sudut pandang. Selain itu, ajarkan pula kepada anak Anda untuk berkomitmen terhadap pilihan hidupnya.
Dengan komitmen, maka ia tidak mudah terombang ambing dalam menjalani hidup.
Adapun, apabila Anda menginginkan anak remaja Anda menjadi penurut tanpa Anda memberikan kebebasan untuk memilih harapannya sendiri, kemungkinan besar anak Anda akan masuk ke dalam kategori identity foreclosured. Ini artinya, ia tidak memiliki pertimbangan dan perenungan yang mendalam mengenai pilihan hidupnya (yang Anda pilihkan kepadanya). Ia tidak memiliki kemauan untuk merenungkan ajaran yang Anda ajarkan kepadanya. Mengapa? Karena ia berpikir, jikalau setelah ia merenung, ia simpulkan bahwa ajaran yang Anda ajarkan kepadanya tidak sesuai dengan perenungannya, perenungan itu hanya akan sia-sia. Yup, sia-sia, karena bagaimana pun juga ia tidak dapat menolak ajaran yang Anda ajarkan kepadanya. Bagaimana pun juga, ia tetap harus mengikuti ajaran itu karena Anda tidak memberikan kebebasan kepadanya.
Dan, tahukah Anda apa yang kemungkinan terjadi pada remaja identity foreclosured pada masa dewasanya? Kemungkinan besar, ia akan mengalami penyesalan. Mengapa? Boleh jadi, sekarang, ia menurut pada kemauan dan harapan Anda. Tetapi, ketika ia telah dewasa baru ia menyadari bahwa pilihan hidupnya tidak sesuai dengan harapannya.
Salah satu hal yang paling menyakitkan sang anak yaitu manakala orangtua tidak percaya kepadanya. Apa pun yang dilakukan sang anak senantiasa diawasi oleh orangtua hingga sang anak merasa bahwa dirinya adalah anak nakal yang perlu pengawasan ekstra supaya tidak kambuh kenakalannya.
Ketidakpercayaan ini dikarenakan orangtua menganggap sang anak masih belum dapat berpikir dewasa. Karena anggapan itu, orangtua mengira sang anak belum mampu memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk. Padahal, anak remaja tidak nyaman dengan perlakuan seperti itu.
Oleh karena itu, saat anak Anda sudah beranjak remaja, anggaplah ia sebagai orang yang sudah dewasa. Rubah cara Anda berkomunikasi dengannya.
Jika Anda suka menonton sinema di TV, maka Anda akan tahu bagaimana psikologis anak remaja. Salah satu psikologis anak remaja yaitu mereka suka dianggap sebagai orang yang telah dewasa. Mereka suka melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa seperti bertanggung jawab, mengobrolkan hal-hal yang penting seperti ekonomi keluarga, pendidikannya, politik, keyakinan, dan sebagainya. Ia tidak lagi suka diperintah dan diatur, terlebih jika orangtua tidak memberikan alasan mengapa ia memerintahkan anaknya melakukan suatu tindakan tertentu.
Sebagaimana disebutkan pada poin pertama dan kedua, berkomunikasi dengan anak sangatlah penting. Komunikasi selain dapat digunakan sebagai sarana untuk mengetahui kemauan sang anak juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengajarkan kepada anak cara berkomunikasi secara dewasa.
Cara orang dewasa berkomunikasi tentu saja berbeda dengan cara anak berkomunikasi. Dalam komunikasi, anak kecil seringkali memaksakan kehendaknya tanpa dapat menjelaskan mengapa ia memiliki kehendak itu.
Saat seorang anak kecil menginginkan sebuah balon, maka ia akan merengek meminta orangtuanya untuk membelikannya satu atau dua. Ia belum bisa mengungkapkan alasan mengapa ia harus mempunyai balon dan mengapa orangtuanya harus membelikannya. Yang ia tahu hanyalah merengek manakala keinginannya tidak dipenuhi oleh orangtuanya.
Nah, remaja yang tidak tahu cara berkomunikasi secara dewasa senantiasa seperti anak kecil yang memaksakan keinginannya tanpa dapat mengungkapkan alasan mengapa ia memiliki keinginan itu. Inilah juga yang seringkali membuatnya berontak terhadap perintah dan nasihat orangtua.
Sebenarnya, ia tidak ingin memberontak. Ia hanya ingin agar orangtuanya memahami keinginannya dan memberikan kebebasan untuk mencapai keinginan itu. Tetapi, ia tidak tahu cara menyampaikan keinginan itu kepada orangtuanya. Ia tidak tahu cara menyampaikan pendapatnya kepada orangtua. Yang ia tahu hanyalah menolak keinginan orangtua atau pun memaksa orangtua untuk mengikuti kemauannya.
Nah, remaja yang tidak tahu cara berkomunikasi secara dewasa ini kemungkinan besar akan masuk ke dalam kategori identity diffused, di mana, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, remaja dalam kategori ini adalah remaja yang tidak memiliki komitmen yang kuat terhadap satu identitas, juga tidak memiliki inisiatif untuk merenungkan dan mengeskplorasi apa yang diajarkan kepadanya. Dan, karena tidak memiliki inisitif untuk merenung, maka tindakannya tidak didasarkan pada pertimbangan yang matang, melainkan semata-mata pada emosi dan kehendaknya.
Nah, itulah mengapa, tradisi komunikasi secara dewasa sangat penting dikembangkan dalam lingkungan keluarga Anda.
Setelah membaca ulasan ini dari awal hingga akhir, kira-kira dapat disimpulkan bahwa salah satu alasan anak remaja suka memberontak yaitu harapan dan keinginannya tidak sesuai dengan harapan dan keinginan orangtua.
Namun demikian, tentu faktor yang menyebabkan remaja memberontak tidak terbatas hanya pada apa yang telah disampaikan di atas. Ulasan ini hanya berusaha untuk memberikan satu pandangan kepada Anda mengenai satu di antara faktor itu.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Anda.
Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.
Session expired
Please log in again. The login page will open in a new window. After logging in you can close it and return to this page.