cara mendidik anak

Cara Mendidik Anak agar Mandiri

Apakah anak Anda terkenal manja? Jika minta sesuatu harus dituruti. Tetapi, jika disuruh, susahnya minta ampun!

Anda, sebagai sang mama khawatir dengan sikapnya yang manja itu. Dia sudah bukan anak kecil lagi. Kemarin baru saja masuk SMA. Tapi, tingkah lakunya maaaaaasih kayak anak kecil.

Anda takut, dengan tingkah laku seperti itu, anak Anda tidak akan menjadi orang yang mandiri, kelak saat ia sudah dewasa.

Memang, anak yang manja dan bergantung pada orangtua berpotensi menjadi orang yang tidak mandiri. Lebih dari itu, anak yang terbiasa bergantung pada orangtua akan menjadi orang yang kurang bertanggung jawab, penakut, dan kurang percaya diri.

Akan tetapi, pertanyaannya, mengapa anak menjadi manja? Mengapa anak selalu bergantung pada orangtua?

Jawabannya ada pada bagaimana orangtua mendidik anak (parenting style). Cara mendidik anak berpengaruh besar pada kepribadian sang anak. Apabila anak dididik dengan manja, maka anak menjadi kurang mandiri. Apabila anak dididik dengan ketat, maka sang anak bisa menjadi pemberontak.

Namun demikian, apakah itu artinya anak yang manja sepenuhnya merupakan kesalahan orangtua dalam mendidik anak? Jawabannya, tentu saja tidak! Orangtua tidak sepenuhnya bersalah apabila sang anak manja dan tidak mandiri, kendati sikap manja itu merupakan hasil didikan orangtuanya.

Mengapa demikian? Karena, cara orangtua mendidik anak bukanlah 100% inisiatif orangtua itu sendiri. Cara orangtua mendidik anak niscaya bergantung pada bagaimana lingkunngan mengajarkan orangtua mendidik anak.

Jadi, di sini, kesalahan ada pada lingkungan atau kebudayaan. Budaya yang otoriter membuat orangtua mendidik anak secara otoriter. Budaya yang demokratis membuat orangtua mendidik anak secara demokratis.

Pakar psikologi perkembangan Diana Baumrind membagi cara mendidik anak ke dalam tiga kategori. Setelah mengetahui ketiga kategori itu, Anda akan tahu kategori yang mana yang merupakan cara mendidik anak yang tepat, yang sedemikian sehingga menjadikan anak mandiri, penuh tanggung jawab, percaya diri, kreatif, dan berani.

Sekarang, apa saja tiga kategori itu dan termasuk kategori yang mana cara Anda mendidik anak Anda? Nah, untuk mengetahuinya, yuk, Mama, simak penjelasan berikut ini.

1. Otoriter

Kategori yang pertama yaitu otoriter. Berikut ini beberapa karakteristik pendidikan yang otoriter.

a. Aturan

Orangtua yang mendidik anaknya secara otoriter menetapkan banyak aturan. Perilaku anak diatur menurut aturan. Aturan merupakan elemen yang paaaaaaling penting dalam pendidikan otoriter.

Pertanyaannya, apa pentingnya aturan? Aturan merupakan sarana yang tepat untuk mendidik dan melindungi anak. Dengan aturan, anak tahu yang baik dan yang buruk. Dengan aturan, anak terhindar dari perilaku yang menyimpang. Selain itu, aturan juga membuat anak disiplin.

b. Hukuman

Selain aturan, orangtua yang mendidik anaknya dengan authoritarian style (cara mendidik anak dengan otoriter) juga memberikan hukuman kepada si anak apabila mereka melanggar aturan.

c. Tidak komunikatif

Orangtua yang mendidik anaknya secara otoriter kurang komunikatif. Mereka tidak memberikan penjelasan mengapa sebuah aturan harus dipatuhi oleh sang anak. Demikian juga dengan hukum yang mereka tetapkan, mereka tidak menjelaskan secara detail mengapa hukuman tersebut layak diterima sang anak apabila ia melanggar aturan.

Mereka beranggapan bahwa perintah orangtua harus dipatuhi oleh sang anak, apa pun perintah itu.

d. Paksaan

Sebagaimana disebutan sebelumnya, orangtua yang mendidik anaknya dengan otoriter senantiasa menetapkan aturan. Anak wajib mematuhi aturan itu. Apabila ia melanggar, maka konsekuanseinya yaitu hukuman.

Nah, mereka tidak memberikan penjelasan detail mengapa anak harus mematuhi aturan itu. Sebaliknya, mereka memaksakan aturan itu kepada sang anak.

Demikian juga di kala sang anak dihadapkan pada pilihan. Sebagai contoh, saat anak lulus SMP dan hendak melanjutkan pendidikan di SMA. Anak tidak diberi kesempatan untuk memilih sekolah favoritnya. Orangtua yang memilihkan sekolah untuk mereka.

Selain itu, orangtua juga memaksakan keinginan pada sang anak. Apabila sang anak tidak menyukai dunia kedokteran, sementara orangtua mengidamkan anaknya menjadi dokter, maka orangtua yang otoriter niscaya memaksa anak untuk masuk jurusan IPA supaya kelak dapat menjadi dokter.

Anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang jurusan IPA. Ia juga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan keinginannya sendiri.

Lantas, apa akibatnya? Akibatnya, saat sang anak membantah keinginan orangtua, orangtua menganggap sang anak tidak menurut, memberontak, dan bahkan durhaka terhadap orangtua.

Sekarang, apa dampak pendidikan otoriter terhadap karakter anak?

Nah, untuk mengetahui dampaknya, yuk, Mama, kita simak uraian berikut.

a. Nalar kurang berkembang

Anak yang dididik secara otoriter nalarnya kurang berkembang. Daya kritisnya tidak tumbuh. Mengapa? Karena, nalarnya tidak pernah diasah. Alih-alih, orangtua justru mengubur nalar anak.

Lewat pendidikan yang dogmatis, di mana anak wajib mematuhi aturan orangtua tanpa penjelasan mengapa aturan tersebut harus dipatuhi, nalar anak tidak terasah. Anak mengikuti aturan orangtua secara buta. Ia tidak pernah mengetahui, memikirkan, dan mempertanyakan alasan logis mengapa aturan itu harus dipatuhinya, serta mengapa jika ia melanggar aturan tersebut, ia harus dihukum.

b. Kurang kreatif

Dampak yang kedua yaitu anak kurang kreatif. Kreativitas anak tidak berkembang.

Alasannya, anak tidak terbiasa berpikir, berpendapat, mencari solusi atas masalahnya sendiri, dan tidak terbiasa membuat keputusan yang berkaitan dengan urusannya.

Semua urusan diurus oleh orangtua. Orangtua mengambil alih tanggung jawab atas semua masalah yang dihadapi oleh sang anak.

c. Kurang bertanggung jawab

Sekali-kali, idealnya, anak diberi kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri.

Dengan kebebasan, anak belajar bertanggung jawab atas tindakan dan keputusannya itu. Manakala keputusannya ternyata tidak tepat, anak tidak menyalahkan orangtua. Ia juga tidak menuntut orangtua untuk bertantnggung jawab. Sebaliknya, ia sadar bahwa satu-satunya orang yang wajib bertanggung jawab dan menganggung konsekuensi dari keputusannya adalah dirinya sendiri karena ia sendiri yang membuat keputusan.

Dengan begitu, anak belajar bertanggung jawab.

cara mendidik anak

Akan tetapi, orangtua yang mendidik anaknya secara otoriter tidak memberikan kebebasan kepada anaknya untuk bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri. Anak tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan. Sebaliknya, semua keputusan hidup ditentukan oleh orangtua.

Anak wajib mengikuti keputusan tersebut, suka maupun tidak suka. Walhasil, ketika ternayata keputusan itu keliru, sang anak menyalahkan orangtua. Bukan hanya itu, sang anak enggan bertanggung jawab atas kesalahan itu karena mereka sadar bahwa yang bersalah adalah orangtua mereka, bukan mereka.

d. Kurang mandiri

Karena tidak pernah diberi kesempatan untuk berbicara, mengungkapkan pendapat, mengungkapkan keinginan, menanyakan alasan mengapa ia harus mematuhi aturan tertentu, serta tidak diberi kesempatan untuk membuat keputusan, anak pun kurang mandiri.

Otaknya tidak terbiasa digunakan untuk berpikir. Akibatnya, ia menggantungkan semua urusan kepada orangtua. Ketika ia memiliki masalah, ia tidak dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. Sebaliknya, ia meminta orangtuanya untuk menyelesaikan masalah itu.

e. Kurang percaya diri

Anak yang dididik secara otoriter berpotensi memiliki masalah kepercayaaan diri. Ia tidak percaya diri untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan hidupnya. Mengapa? Karena, ia tidak terbiasa membuat keputusan. Ia tidak memiliki pengalaman membuat keputusan. Oleh karena itu, ia takut kalau-kalau ia salah mengambil keputusan. Daya kreatif dan inisiatifnya mati.

f. Dogmatis

Dampak berikutnya dari pendidikan yang otoriter yaitu anak menjadi dogmatis. Karena dididik dengan dogmatis, di mana anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapat, menolak, mencari alternatif atas aturan yang ditetapkan untuknya, maka anak pun terbiasa untuk bertindak secara dogmatis. Sebagaimana orangtua mendidiknya, anak terbiasa untuk tidak mempertanyakan aturan yang ditetapkan kepadanya.

Sikap dogmatis itu bahkan bukan hanya berlaku bagi dirinya. Lebih jauh, ia menetapkan aturan untuk orang lain tanpa memberikan penjelasan yang memadai kepada orang tersebut mengapa ia harus mematuhi aturan itu.

Selain itu, sang anak juga akan tumbuh dengan tabiat pemaksa. Ia akan mudah menghakimi orang lain sebagai orang yang bersalah manakala perilaku orang tersebut tidak sesuai dengan apa yang diyakininya.

g. Kurang komunikatif

Komunikasi merupakan elemen yang haram bagi orangtua yang mendidik anaknya dengan otoriter. Menurut mereka, kedudukan orangtua sangatlah tinggi dibanding kedudukan sang anak. Oleh karena itu, tidak layak seorang anak berdiskusi, menolak, dan menyampaikan pendapat kepada orangtua.

Wajib hukumnya bagi sang anak untuk mematuhi perintah orangtua. Oleh karena itulah, anak yang dididik secara otoriter tidak terbiasa berkomunikasi dengan baik. Ia tidak memiliki skill mengekspresikan pendapat. Ia juga tidak memiliki kemampuan untuk menolak perintah/ ajakan orang lain. Selain itu, ia juga tidak mampu menjelaskan kepada orang lain mengapa orang lain perlu mengikuti ajakannya.

2. Demokratis

Jika tadi kita bedah cara mendidik anak secara otoriter, sekarang mari kita bongkar kategori kedua, yakni cara mendidik anak dengan demokratis.

Setidaknya, ada 5 ciri utama pendidikan yang demokratis. Apa saja kelima ciri itu? Ini dia ulasan lengkapnya.

a. Aturan

Pendidikan yang demokratis menekankan aturan. Aturan digunakan dengan alasan anak belum sepenuhnya mampu memutuskan mana yang baik dan yang buruk untuknya. Ia masih perlu tuntunan dan bimbingan orangtua.

Aturan berfungsi untuk menuntun dan membimbing anak.

Kendati begitu, berbeda dengan orangtua yang menerapkan pendidikan otoriter, orangtua yang demokratis memberikan penjelasan logis mengapa mereka menerapkan aturan tersebut untuk sang anak.

b. Hukuman

Selain aturan, orangtua yang demokratis juga menetapkan hukuman apabila sang anak melanggar aturannya. Akan tetapi, berbeda dengan orangtua otoriter, orangtua yang demokratis menetapkan hukuman yang sepadan.

Apa yang mereka tekankan bukanlah anak jera lantaran hukuman itu, melainkan anak jera lantaran mengetahui konsekuensi real dari tindakan yang dilakukannya.

Sebagai contoh, orangtua menetapkan aturan yang melarang sang anak merokok. Apabila anak melanggar aturan itu, ia dihukum membersihkan seluruh area rumah. Apa yang ditekankan bukanlah anak jera lantaran hukuman itu, melainkan anak sadar bahwa merokok tidak baik untuknya lantaran merusak kesehatan. Di sini, hukuman hanya merupakan upaya mengingatkan anak akan konsekuensi dari perbuatannya.

c. Komunikasi

Bagi orangtua yang demokratis, komunikasi dengan anak sangatlah penting. Dengan komunikasi, orangtua menjelaskan kepada anak aturan dan hukuman yang ditetapkannya.

Selain itu, dengan komunikasi, orangtua mengajak anak untuk berdiskusi, berpendapat, dan menyampaikan inisiatif mengenai masalah yang berkaitan dengan keluarga dan masalah yang berkaitan dengan sang anak.

Komunikasi juga digunakan agar orangtua memahami keinginan, perasaan, dan keberatan sang anak.

d. Kebebasan

Orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk membuat keputusan. Sebagai contoh, orangtua memberi kebebasan kepada anak untuk memilih jurusan di sekolah.

Namun demikian, di samping kebebasan untuk memilih, orangtua juga memberikan aturan yang ketat. Aturannya yaitu, apa pun keputusan sang anak harus didasarkan pada nalar yang logis, tidak hanya berdasarkan keinginan sesaat semata.

Dengan komunikasi, anak mendiskusikan pilihannya dengan orangtua. Anak mendiskusikan dampak positif, dampak negatif, konsekuensi, keuntungan dari apa yang dipilihnya. Dengan begitu, anak siap saat ia harus menanggung konsekuensi dari keputusannya.

e. Kepercayaan

Orangtua memberikan kepercayaan kepada anak untuk membuat keputusan. Lebih dari itu, orangtua juga memberikan kepercayaan kepada anak untuk mengatasi masalahnya sendiri, tanpa campur tangan dan bantuan orangtua.

Nah, setelah mengetahui beberapa ciri pendidikan demokratsi, lantas, apa dampak dari pendidikan ini?

a. Demokratis

Anak yang dididik dengan demokratis akan menjadi anak yang demokratis. Ia akan terbiasa untuk megungkapkan pendapat dan terbiasa memberi kesempatan kepada orang lain untuk menyampaikan pendapat.

Ia akan tumbuh dengan tabiat yang tidak suka memaksakan kehendak kepada orang lain. Ia memiliki pikiran yang terbuka, yang siap mendengarkan pendapat dan aspirasi orang lain.

b. Kreatif

Selain demokratis, anak yang dididik secara demokratis juga akan tumbuh menjadi orang yang kreatif. Bagaimana tidak? Setiap menjumpai masalah, ia selalu mendiskusikan masalah itu dengan orangtuanya. Ia ikut mencari solusi atas masalah yang ia hadapi. Ia juga terbiasa membuat keputusan sendiri.

Kreativitasnya tumbuh lantaran otaknya terbiasa berpikir.

c. Percaya diri

Cara mendidik anak dengan demokratis juga membuat anak percaya diri. Mengapa? Karena, orangtua menganggap keberadaan sang anak. Kemampuan sang anak diakui. Orangtua memberi kepercayaan kepada anak untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Dengan diskusi, anak mengkomunikasikan urusannya dengan orangtua. Anak menjelaskan secara logis pilihan-pilihan hidupnya kepada orangtua.

Nah, inilah yang membuat si anak percaya diri. Ia percaya diri lantaran orangtua tidak meremehkan kemampuannya.

d. Mandiri

Cara mendidik anak dengan demokratis juga membuat anak mandiri. Anak terbiasa untuk berpikir, mencari solusi atas permasalahannya sendiri, terbiasa membuat keputusan, dan terbiasa untuk berpikir kritis mengenai aturan yang ditetapkan untuknya. Hal inilah yang membuat mereka tumbuh menjadi orang yang mandiri.

e. Tanggung jawab?

Bagaimana dengan tanggung jawab? Apakah pendidikan demokratis membuat anak penuh tanggung jawab?

Karena terbiasa untuk membuat keputusan, anak yang dididik secara demokratis juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Rasa tanggung jawab ini juga tumbuh lantaran anak terbiasa memikirkan konsekuensi atas setiap perilakunya.

Cara mendidik anak dengan demokratis mendorong orangtua untuk menjelaskan alasan mengapa perilaku tertentu harus dipatuhi sang anak, sementara perilaku lain harus dihindarinya. Ini artinya, orangtua memberikan penjelasan mengenai konsekuensi dari perilaku-perilaku itu.

Pengetahuan mengenai konsekuensi inilah yang membuat anak sadar bahwa ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

f. Kritis

Selain mandiri, percaya diri, dan demokratis, cara mendidik anak dengan demokratis juga membuat anak kritis. Kekritisan ini tumbuh lantaran anak terbiasa untuk menggunakan otaknya untuk berpikir. Ia terbiasa untuk memikirkan konsekuensi dari perbuatan dan keputusannya. Selain itu, nalar kritis tumbuh lantaran anak terbiasa untuk berdiskusi dengan orangtua, terbiasa melontarkan pendapat dan ketidaksetujuan.

g. Cakap berkomunikasi

Dampak selanjutnya dari pendidikan demokratis yaitu anak cakap berkomunikasi.

Sudah tidak perlu ditanyakan lagi, demokrasi merupakan budaya di mana setiap orang diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Nah, budaya itu tentu membuat sang anak cakap berkomunikasi. Ia mampu mengkomunikasikan aspirasinya kepada orang lain. Ini artinya, ia tidak memaksakan aspirasinya kepada orang lain.

Dengan budaya demokratis, ia terbiasa untuk menjelaskan kepada orang lain mengapa ia memiliki aspirasi tertentu yang berbeda dari aspirasi orang lain.

Selain cakap mengkomunikasikan aspirasi kepada orang lain, anak yang dididik dengan demokratis juga memiliki pikiran yang terbuka. Ia dengan senang hati mendengarkan pendapat dan keberatan orang lain. Ia dengan senang hati mendengarkan penjelasan orang lain.

3. Perimisif

Kategori yang ketiga yaitu pendidikan yang permisif.

Berikut ini beberapa ciri pendidikan yang permisif.

a. Minim aturan

Orangtua yang mendidik anak dengan permisif enggan menerapkan aturan kepada sang anak. Mengapa? Mereka takut kalau-kalau anak memberontak lantaran perilakunya dibatasi oleh aturan.

Selain itu, menurut mereka, aturan justru membuat anak tidak kreatif dan kritis. Dengan aturan, anak menjadi makhluk yang patuh bak robot. Selain itu, aturan juga menjauhkan anak dari pengetahuan tentang akibat dari perbuatannya.

b. Minim hukuman

Karena tidak ada aturan, maka tidak ada hukuman yang dapat diterapkan untuk sang anak. Apabila anak melakukan perilaku yang menyimpang, orangtua tidak memberikan hukuman. Alih-alih, orangtua memberikan hadiah untuk membujuk si anak agar tidak lagi melakukan tindakan menyimpang.

c. Komunikatif

Selain mengandalkan hadiah, orangtua yang permisif juga mengandalkan komunikasi dalam mendidik anaknya. Mereka mengkomunikasikan segala sesuatu kepada sang anak. Mereka menjelaskan konsekuensi dari perilaku-perilaku yang dilakukan sang anak.

Namun demikian, berbeda dengan orangtua yang demokratis, orangtua yang permisif cenderung bersikap longgar terhadap sang anak. Alih-alih menerapkan aturan agar sang anak disiplin, orangtua yang permisif justru membiarkan anak melakukan apa pun yang mereka mau, sekalipun perbuatan itu membawa dampak negatif bagi sang anak.

Apabila komunikasi sudah tidak mempan mengendalikan anak, maka orangtua yang permisif menggunakan hadiah untuk mengontrol mereka.

Sebagai contoh, anak terjerumus pergaulan yang menyimpang. Ia terjerumus pada rokok dan minuman keras. Nah, untuk menyadarkan sang anak, orangtua yang permisif mengajak sang anak untuk berdiskusi, membahas rokok dan konsekuensi negatifnya. Tetapi, jika diskusi tersebut tidak mampu membuat anak sadar, orangtua menggunakan iming-iming hadiah agar sang anak bersedia berhenti merokok. Hadiah digunakan untuk menghindari konflik dengan sang anak. Mereka enggan berdebat dengan anak lantaran takut sang anak berontak.

d. Hadiah

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hadiah digunakan untuk mengontrol anak manakala komunikasi tidak mempan melakukannya.

Hadiah merupakan elemen yang saaaaaaangat penting dalam pendidikan yang permisif. Fungsi hadiah sama dengan fungsi aturan. Jika orangtua yang demoktaris atau otoriter menetapkan aturan untuk mengontrol dan melindungi anak, orangtua yang permisif menggunakan hadiah untuk mengontrol dan melindungi anak mereka.

Demikian beberapa ciri pendidikan yang permisif. Sekarang, yuk, kita urai dampaknya pada anak.

a. Agresif

Anak yang dididik secara permisif berpotensi menjadi orang yang agresif.

Kok bisa?

Karena orangtua terlalu longgar terhadap perilaku anak! Orangtua tidak pernah menolak kemauan sang anak. Akibatnya, anak tidak terbiasa dengan penolakan.

Saat anak menolak melakukan perintah orangtua, alih-alih memberikan hukuman, orangtua justru memberikan hadiah untuk membujuk si anak. Manakala anak meminta sesuatu, orangtua selalu memberikannya.

Nah, karena terbiasa permintaannya dipenuhi, manakala orangtua tidak mampu memenuhi permintaan mereka, sang anak pun marah dan memaksa orangtua untuk memenuhi permintaan mereka. Lebih dari itu, mereka akan menyerang siapa saja yang menolak keinginannya.

b. Pemberontak aturan

Anak yang dididik secara permisif niscaya alergi terhadap aturan. Mengapa? Karena, anak tidak terbiasa hidup dengan aturan.

Nah, hal ini tentu akan menimbulkan masalah manakala anak hidup di masyarakat. Kelak, saat anak telah dewasa dan bekerja, ia harus menaati aturan yang berlaku di perusahaan tempat ia bekerja. Sekarang pun, ia harus menaati aturan yang ditetapkan oleh pihak sekolah.

Anak yang dididik secara permisif tentu akan menjumpai masalah dengan institusi sekolah atau pun institusi tempat ia bekerja kelak. Karena, ia terbiasa hidup semaunya. Ia tidak berkenan dibatasi aturan sekolah atau aturan kantor tempat ia bekerja.

c. Tidak disiplin

Lantas, bagaimana dengan kedispilinan? Hmmm, tentu, anak yang dididik dengan pendidikan yang permisif tumbuh menjadi orang yang kurang disiplin. Mengapa? Karena, ia terbiasa hidup tanpa aturan. Sebagai contoh, ia terbiasa bangun tidur semaunya. Tidak ada aturan yang mewajibkannya bangun pagi, misalnya. Karena bertindak semau-maunya, ia pun menjadi kurang disiplin.

e. Komunikasi?

Anak yang dididik secara permisif akan tumbuh menjadi orang yang kurang kemampuan komunikasinya. Satu-satunya bahasa yang ia tahu yaitu bahasa pemaksaan.

Kok begitu?

Karena, ia terbiasa memaksakan kehendak pada orangtuanya.

Manakala ia memiliki kemauan, orang lain harus setuju dengan kemauan tersebut. Demikian juga manakala ia menolak kemauan orang lain, orang lain harus setuju dengan penolakannya.

Ia tidak mampu mendengarkan penjelasan dan aspirasi orang lain. Sebaliknya, ia selalu memaksa orang lain untuk mendengarkan dan menuruti kemauannya.

f. Kemandirian?

Anak yang dididik secara permisif akan tumbuh kurang mandiri. Alasannya, ia tidak terbiasa bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.

Bagi orangtua yang mendidik anaknya secara permisif, tanggung jawab atas perilaku anak wajib diemban oleh orangtua. Orangtua tidak tega melihat anaknya menanggung akibat dari perbuatannya sendiri. Nah, inilah yang membuat anak tidak mandiri.

Selain itu, orangtua tidak menuntut anaknya untuk bersikap mandiri. Anak diberi kebebasan untuk berbuat semau mereka. Namun demikian, manakala perbuatan anak membuahkan konsekuensi negatif, orangtua turun tangan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi anak. Walhasil, anak tidak belajar untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

g. Tanggung jawab?

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, anak yang dididik secara permisif tidak terbiasa bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Alih-alih, mereka menggantungkan tanggung jawab pada orangtua. Oleh karena itulah, mereka tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Selain itu, orangtua memang tidak melatih anaknya untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Orangtua yang mendidik anaknya secara permisif adalah orangtua yang terlalu memanjakan anaknya. Mereka enggan menerapkan ketegasan dan kedisiplinan terhadap anak karena mereka berpikir bahwa pada waktunya nanti, sang anak akan dewasa dengan sendirinya.

Sikap itu, alih-alih membuat anak dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab justru membuat mereka kekanak-kanakan.

Mama, itulah beberapa dampak pendidikan permisif pada anak.

Anda termasuk kategori yang mana?

Nah, setelah menyimak uraian di atas, kira-kira, Anda termasuk orangtua yang mana?

Sebagaimana yang Anda tahu, anak Anda manja dan tidak mandiri. Ini artinya, ia terbiasa dididik secara? Hayoooo, secara apa, coba? Heheheh….

Kalau menurut uraian di atas, ada dua kategori pendidikan yang membuat anak tidak mandiri yaitu pendidikan otoriter dan pendidikan permisif. Ini artinya, bisa jadi, anak Anda terbiasa dididik secara otoriter. Bisa jadi juga, ia biasa dididik secara permisif.

Namun demikian, pendidikan yang otoriter tidak membuat anak manja. Dalam pendidikan otoriter, orangtua menerapkan aturan dan hukuman untuk mendisiplinkan anak. Orangtua tidak memanjakan anak dengan hadiah.

Jadi, kalau begitu, tidak mungkin anak Anda terbiasa dididik secara otoriter. Apa yang mungkin yaitu, Anda mendidiknya secara permisif. Hayoooooo, ngakuuuuuu!

Bagaimana cara mendidik anak agar mandiri?

Nah, setelah mengetahui bahwa ternyata Anda mendidik anak secara permisif, apa yang harus Anda lakukan? Bagaimana cara mendidik anak agar mandiri?

Sebagaimana penulis uraikan di atas, kategori yang paling efektif dalam mendidik anak adalah kategori yang kedua, yakni pendidikan yang demokratis. Untuk itu, Anda perlu mengubah pola pengasuhan Anda dari pola pengasuhan yang permisif menjadi pola pengasuhan yang demokratis.

Ini artinya, Anda mengubah budaya pengasuhan di rumah Anda.

Tentu bukan hal yang mudah merubah budaya pengasuhan Anda di rumah. Namun demikian, bukan berarti perubahan itu mustahil. Belum terlambat bagi Anda untuk mengubah pola pengasuhan anak di rumah.

Anda dapat perlahan-lahan menerapkan pendidikan demokratis. Caranya, terapkan aturan, hukuman, komunikasi, kebebasan, dan kepercayaan kepada anak.

Catat, ya, ATURAN, HUKUMAN, KOMUNIKASI, KEBEBASAN, dan KEPERCAYAAN kepada anak.

Dengan aturan, Anda melatih anak untuk disiplin. Selain itu, aturan juga berguna untuk melindungi anak Anda dari perbuatan yang menyimpang.

Ganti hadiah dengan aturan. Jika anak menolak mengikuti aturan Anda, jangan bujuk ia dengan hadiah. Sebaliknya, terapkan ketegasan.

Dengan hukuman, Anda mengingatkan anak Anda akan konsekuensi negatif dari perbuatannya.

Dengan komunikasi, Anda melatih dan mengembangkan nalar, kreativitas, inisiatif, dan kekritisan anak.

Dengan kebebasan, Anda melatih anak untuk membuat keputusan secara mandiri. Selain itu, kebebasan yang disertai pertimbangan yang logis akan melatih anak Anda untuk bertanggung jawab.

Terakhir, dengan kepercayaan, Anda menghargai kemampuan berpikir dan kemampuan bertindak anak Anda. Hal itu, pada gilirannya akan menjadikannya pribadi yang penuh percaya diri.

Ketegasan

Selain 5 elemen di atas, apa lagi yang harus Anda perhatikan? Yang harus Anda perhatikan yaitu KETEGASAN!

Kunci dari pendidikan yang demokratis ada pada ketegasan Anda sebagai orangtua. Anda harus tegas menghadapi anak Anda.

Ketegasan bukan berarti Anda orangtua yang otoriter dan diktator. Bahkan sebuah negara yang demokratis tetap perlu menerapkan aturan bagi rakyatnya. Demikian juga dengan Anda. Sedemokratis apa pun Anda, Anda tetap perlu menerapkan aturan dan ketegasan untuk anak Anda.

Terapkan ketegasan hingga anak Anda cukup dewasa untuk menilai mana yang baik dan yang buruk untuknya. Sejauh anak belum bisa bersikap dewasa, sejauh itu Anda masih perlu menerapkan ketegasan.

Bimbingan

Selain ketegasan, Anda juga perlu memberikan bimbingan kepada anak Anda.

Ciri pendidikan yang demokratis yaitu kebebasan dan kepercayaan kepada anak untuk membuat keputusan. Namun demikian, ini bukan berarti anak dibiarkan membuat keputusan dalam ketidaktahuan mereka.

Anda perlu membimbingnya sedemikian sehingga mereka tidak membuat keputusan yang keliru.

Lantas, bagaimana cara membimbing mereka membuat keputusan yang tepat? Anda dapat mengajak mereka mendiskusikan keputusannya dengan Anda. dalam diskusi itu, Anda dapat memberi mereka saran, kritik, dan pandangan. Selain itu, Anda juga dapat memberikan mereka batasan.

Mengapa Anda perlu menetapkan aturan, hukuman, ketegasan, dan bimbingan? Meskipun Anda percaya bahwa anak memiliki kemampuan berpikir yang baik, yang dengan demikian ia dapat memikirkan yang baik dan yang buruk baginya, tetapi kemampuan itu belumlah sempurna. Mereka masih membutuhkan arahan dan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan. Tugas Anda adalah mengembangkan potensi kritis dan nalar mereka. Pada gilirannya, berkembangnya kekritisan dan nalar anak akan menjadikannya pribadi yang mandiri.

Nah, Mama, demikianlah cara mendidik anak yang dapat penulis sampaikan kepada Anda. Setelah menyimak uraian di atas, bagaimana tanggapan Anda? Tertaikkah Anda untuk mencoba menerapkan pendidikan demokratis untuk mendidik anak Anda sedemikian sehingga menjadi anak yang mandiri dan penuh tanggung jawab?

Baca juga:

Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?

Apa Itu Mental Block dan Cara Mengatasinya agar Anak Lebih Optimis?

Tingkatkan Semangat Belajar Anak dengan Kiat Ampuh Berikut Ini

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>