Dampak Negatif Skeptisisme
Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar istilah “dogmatisme”? Penulis berani bertaruh, Anda langsung teringat pada judgement, terorisme, fundamentalisme, kebenaran, dan pembenaran.
Yup! Sebuah ajaran dikatakan sebagai dogma manakala kita meyakini ajaran itu tanpa mempertanyakan terlebih dulu kebenarannya. Kita serta-merta meyakini ajaran tersebut sebagai ajaran yang benar secara universal dan absolut.
Nah, cara kita meyakini kebenaran suatu ajaran yang demikian (tanpa terlebih dulu mempertanyakan kebenarannya) membuat kita fanatik terhadap ajaran tersebut, membuat kita terlalu percaya diri bahwa kita telah meyakini ajaran yang benar.
Dan, fanatisme ini pada ujungnya membuat kita arogan. Mengapa? Fanatasime ini menjadikan kita orang yang judgemental alias suka menghakimi perilaku orang lain yang tidak sepaham dengan kita.
Yeah, kita semua hapal di luar kepala tentang kecenderungan dogmatis sebagaimana disebutkan di atas. Di mana-mana, kita menjumpai orang yang dogmatis, yang menganggap apa yang diyakininya sebagai kebenaran yang universal dan tidak bisa dibantah.
Banyak contoh yang dapat dipaparkan terkait dengan perilaku dogmatis ini. Sebagai contoh, orang yang mengritik sikap orang lain secara membabi buta dan menganggap sikap tersebut 100% salah.
Terhadap kritik seperti itu, kita sering mengingatkan, “Tidak usah banyak ngritik orang lain. Tidak usah merasa paling benar. Introspeksi diri saja” atau “Jangan suka menghakimi orang lain. Toh, belum tentu juga Anda benar.”
Yeah, sekali lagi, kita semua hapal di luar kepala tentang kecenderungan dogmatis sebagaimana disebutkan di muka. Dan, sangking seringnya menghadapi orang yang dogmatis, kita pun terbiasa menganggap semua penilaian/penghakiman/judgement sebagai dogma, sebagai bentuk fanatisme buta.
Bahkan, sangking gerahnya dengan dogmatisme, banyak kalangan yang mengkaji mengenai “kebenaran”, di mana rata-rata kajian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kebenaran itu bersifat relatif, bukan absolut dan universal.
Dengan kesimpulan itu, para pengkaji hendak mengatakan bahwa tidak ada yang berhak menilai/menghakimi perilaku/sikap/pandangan orang lain karena masing-masing pandangan memuat kebenarannya sendiri-sendiri.
Lebih jauh, ada juga yang menyimpulkan bahwa manusia, sampai kapan pun tidak akan dapat memperoleh kebenaran yang hakiki. Paling banter, manusia hanya mampu memperoleh kebenaran yang sesuai dengan konteks dan zamannya masing-masing. Apa yang benar hari ini belum tentu benar di masa depan. Apa yang salah di sini belum tentu salah di sana.
Melengkapi kajian di atas, Daniel Kahneman, dalam bukunya yang berjudul Thingking Fast and Slow menjelaskan bahwa seringkali cara manusia berpikir cenderung menjerumuskannya pada kekeliruan. Dalam buku itu, Kahneman menjelaskan beberapa cara berpikir yang keliru yang menjerumuskan manusia pada penilaian yang salah, yang antara lain yaitu intuisi, heuristik, cognitive consistency, cogitive ease, dan sebagainya.
Hadirnya karya Kahneman tersebut SEOLAH memberikan penegasan bahwa seringkali kita mengira kita telah berpikir secara objektif, padahal kita masih terjebak pada bias dan subjektivitas.
Nah, kesimpulan yang diperoleh pada kajian-kajian di atas menjadi penentang utama sikap dogmatis. Jika menurut kaum dogmatis kebenaran bersifat mutlak, maka menurut kajian-kajian itu, kebenaran bersifat relatif, tergantung pada ruang dan waktu. Dan, sebagai orang yang tidak suka dinilai, dihakimi, dikritik, dan ditegur, kita pun mengamini kesimpulan tersebut sebagai kesimpulan yang benar.
Dengan begitu, kita menganggap semua bentuk judgement/penghakiman, penilaian, pernyataan, teori, pandangan, dan ajaran apa pun sebagai bentuk dogma dan fanatisme. Dan, saat kita menganggap semua hal sebagai dogma, maka kita telah terjerumus pada skeptisisme.
Sekarang, pertanyaannya, jika dogmatisme membuat kita arogan, maka apa pengaruh skeptisisme pada perilaku kita?
Nah, dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada dampak negatif skeptisisme bagi kita.
Mengapa dampak negatifnya yang penulis angkat dan bukan dampak positifnya? Karena, kita semua telah hapal dampak positif skeptisisme, yang antara lain yaitu kita tidak mudah menghakimi perilaku orang lain, kita menjadi rendah hati, skeptisisme merangsang daya nalar dan daya kritis kita terhadap suatu ajaran/teori ilmiah, dan sebagainya.
Kita semua hapal dampak positif skeptisisme karena kita sangat mengagungkan sikap ini. Sikap ini (skeptisisme) tampak bijak dibanding sikap dogmatis atau pun sikap mempercayai adanya kebenaran yang universal dan absolut. Sikap skeptisisme tampak jauh lebih terpelajar dibanding sikap dogmatis dan sikap meyakini adanya kebenaran yang universal dan absolut disamping kebenaran yang relatif.
Nah, terlepas dari dampak-dampak positif skeptisisme, ternyata skeptisisme juga membawa dampak negatif bagi diri kita. Ini terutama dikarenakan kita salah mengartikan kepercayaan terhadap adanya kebenaran yang mutlak dan universal sebagai dogmatisme.
Sekarang, apa saja dampak negatif skeptisisme? Yuk, kita simak uraiannya berikut ini.
Disorientasi
Meyakini bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak dan universal membuat kita kehilangan pegangan dan arah. Bagaimana tidak? Kita tidak tahu mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Akibatnya, kita ragu untuk melangkah ke depan. Kita ragu untuk menetapkan jalan dan prinsip hidup. Kita juga ragu menetapkan tujuan hidup. Mengapa? Karena kita takut, jangan-jangan jalan dan prinsip hidup yang kita pilih merupakan jalan yang keliru, yang menjerumuskan kita pada kekeliruan-kekeliruan selanjutnya.
Lebih jauh, skeptisisme bahkan membuat kita terdisorientasi. Mengapa? Karena kita tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kita tidak dapat membedakan perilaku yang benar dari perilaku yang salah, di mana pada ujungnya hal itu membuat kita bertindak semau kita. Selain itu, skeptisisme membuat kita tidak bisa membedakan hal yang penting dari hal yang sepele.
Jika saat ini sedang tren gaya hidup tertentu, maka kita mengikuti tren itu, tanpa mengetahui apa tujuan, manfaat, segi positif dan negatif tren itu bagi kita. Yang kita tahu, kita melakukan apa yang orang lain lakukan; Tidak ada yang berhak menghakimi kita karena kita menganggap semua hal/tren/ajaran/teori/pandangan memiliki sisi positif dan negatifnya masing-masing.
Penulis banyak menjumpai pribadi-pribadi terdisorientasi ini pada kalangan muda. Di kalangan muda saat ini, sedang tren yang namanya “jomblo”. Bagi banyak anak muda, menjadi jomblo merupakan kondisi yang sangat mengenaskan, menyedihkan, dan memalukan. Dan, karena dianggap sebagai kondisi yang memalukan, menjadi jomblo merupakan masalah yang serius bagi mereka.
Mengapa menganggap jomblo sebagai masalah serius merupakan bentuk disorientasi? Karena, pada kenyataannya, menjadi jomblo tidaklah menyedihkan sebagaimana kelihatannya. Ada masalah yang jauh lebih serius dibanding masalah jomblo dan pacaran yaitu masalah kemiskinan, pendidikan, dan politik.
Berfokus pada masalah jomblo dan pacaran mengalihkan perhatian kaum muda dari masalah kemiskinan, pendidikan, dan politik. Mereka jauh lebih peduli terhadap masalah pacaran dibanding masalah kemiskinan dan politik. Mengapa? Karena, mereka menganggap sikap peduli terhadap politik dan kemiskinan merupakan sikap yang sok dan arogan. Yup, mereka menganggap orang yang peduli pada politik adalah orang yang sok peduli, sok intelek, sok pahlawan, dan sok-sok lainnya, di mana akar dari sikap sok itu, menurut mereka adalah sikap dogmatis dan sikap mempercayai adanya kebenaran yang universal dan absolut.
Di sini, karena tidak mau dianggap sebagai orang yang dogmatis dan sok kritis, kaum muda justru memusatkan perhatian pada diri mereka sendiri, bukan pada masalah-masalah serius di sekitar mereka. Orientasi mereka terdistorsi: apa yang sebenarnya sepele mereka anggap sebagai persoalan yang serius. Sebaliknya, apa yang sebenarnya serius mereka anggap sebagai soal yang sepele.
Anti terhadap kritik
Skeptisisme seharusnya meningkatkan daya kritis kita terhadap suatu ajaran, teori, pendapat, pandangan, tren, prinsip, dan ideologi yang berlaku di dalam masyarakat. Tetapi, bagi sebagian orang, skeptisisme justru membuat mereka anti terhadap kritik. Bagi sebagian orang, skeptisisme dapat dijadikan sebagai pembenaran atas perilaku mereka.
Sebagai contoh, seorang guru mengritik muridnya yang hanya memikirkan persoalan pacaran. “Jangan hanya memikirkan pacaran, anak-anak. Pacaran membawa banyak dampak negatif bagi kalian. Pikirkan pendidikan kalian,” begitu kritik sang guru. Nah, mendengar kritik itu, sang murid yang sudah terpengaruh skeptisisme dapat menjawab kritik tersebut dengan berkata, “Jangan suka menilai, Bu. Pendapat Anda hanya benar menurut Anda sendiri. Menurut kami, pacaran merupakan hal yang penting.”
Dalam contoh di atas, sang murid, yang sudah terpengaruh skeptisisme lupa untuk mengritik tren pacaran. Nah, di sini, skeptisisme, alih-alih berfungsi untuk mengritik tren itu, justru digunakan untuk mejustifikasi tren tersebut.
Di sini, skpetisisme justru digunakan untuk membenarkan perilaku yang sesuai dengan kepentingan dan ego orang yang bersangkutan.
Apatis
Sebagaiamana dijelaskan sebelumnya, skeptisisme membuat orang enggan memusatkan perhatian pada masalah-masalah krusial seperti masalah kemiskinan, politik, ekonomi, dan pendidikan, dan sebaliknya justru memusatkan perhatian pada masalah pribadi.
Itu artinya, skeptisisme membuat kita menjadi pribadi yang egois dan apatis. Bagi seorang skeptis, mencampuri urusan orang lain merupakan sikap yang tidak bijak. Bagi seorang skeptis, mencampuri urusan orang lain sama halnya dengan menghakimi perilaku orang lain, di mana judgement/penghakiman tersebut merupakan indikasi dogmatisme. Mencampuri urusan orang lain sama halnya menghakimi perilaku orang lain. Dan, menghakimi perilaku orang lain adalah salah satu sikap yang dogmatis. Jadi, mencampuri urusan orang lain mengindikasikan sikap dogmatis. Itu menurut orang yang skeptis.
Nah, karena menurut orang yang skeptis menghakimi/mengritik orang lain merupakan tindakan yang tidak bijak, maka mereka enggan menggritik dan mencampuri urusan orang lain, sekalipun urusan itu menyangkut penindasan, kesewenang-wenangan, dan pembodohan.
“Urus saja urusanmu sendiri dan jangan campuri urusan orang lain. Ga perlu sok peduli kemiskinan, politik, dan masalah sosial lainnya. ga usah sok paling benar,” begitu kira-kira komentar orang yang skeptis terhadap kritik orang lain pada masalah politik dan kemiskinan, misalnya.
Kita tidak perlu menyangkal bahwa terkadang suatu kebenaran bersifat reatif, tergantung pada konteks, ruang, waktu, dan siapa yang meyakininya. Apa yang benar sekarang belum tentu benar di hari kemudian. Apa yang salah menurut kita, belum tentu salah menurut orang lain.
Namun demikian, tidak sepenuhnya benar pula bahwa setiap kebenaran senantiasa bersifat relatif. Ada beberapa macam kebenaran yang tetap berlaku absolut dan universal. Menilai kebenaran ini, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi apa pun, kita harus tetap meyakini kebenaran ini sebagai kebenaran yang mutlak.
Semua memiliki porsinya masing-masing. Ada kalanya kita harus bersikap fanatik/yakin 100% pada suatu kebenaran. Ada kalanya juga, kita perlu bersikap skeptis terhadap kebenaran lainnya.