gaya belajar

Gaya Belajar (Learning Styles): Mitos atau Fakta?

Ketika belajar, apa yang seringkali dikeluhkan oleh anak Anda? Susah berkonsentrasi? Gampang lupa? Sulit paham?

Hmm, belajar memang bukanlah hal yang mudah bagi sebagian besar anak. Dan, mungkin termasuk bagi anak Anda. Banyak sekali hambatan yang membuat anak frustasi, mulai dari sulit paham, susah konsentrasi, gampang lupa, mengantuk, mental block, reading OCD, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, bagaimana Anda membantunya membuat proses belajar menjadi lebih mudah dan menyenangkan?

Baru-baru ini, muncul terobosan baru dalam belajar yang sangat populer di tengah-tengah masyarakat kita, yaitu Gaya Belajar alias Learning Styles. Terobosan ini didasarkan pada Teori Gaya Belajar/ Learning Styles Theory yang berkembang pesat dari tahun 1970an. Teori ini semakin dikuatkan dengan temuan Howard Gardner, pakar psikologi dari Harvard University tentang beraneka ragamnya kecerdasan manusia (multiple intelligence).

Ide sentral dari Teori Gaya Belajar yaitu bahwa masing-masing anak memiliki kecerdasan dan kelebihan yang berbeda-beda. Ada yang memiliki kecerdasan spatial/ ruang. Ada yang pandai dalam logika. Ada yang pandai dalam bahasa. Ada yang memiliki kecerdasan kinestetis. Dan, ada pula yang memiliki kecerdasan musical/ auditory.

Nah, dengan kecerdasan dan kelebihan yang berbeda-beda itu, cara anak belajar pun harus disesuaikan dengan kelebihan dan kecerdasannya. Anak yang memiliki kecerdasan spatial/ kecerdasan ruang idealnya belajar dengan instrumen-instrumen visual. Ini karena, anak yang memiliki kecerdasan spatial unggul dalam hal-hal yang bersifat visual/dapat dilihat.

Apa contoh instrumennya?

Contohnya gambar, powerpoint, mindmap, dan film.

Sementara itu, anak yang memiliki kecerdasan musical/ auditory lebih disarankan untuk menggunakan instrumen-instrumen audio. Ini karena, mereka lebih mudah memahami sesuatu lewat sarana audio/suara.

Instrumen belajar yang cocok untuk mereka antara lain podcast, ceramah, dan diskusi.

Learning Modalities

Sebenarnya, banyak sekali varian gaya belajar yang beredar di kalangan masyarakat. Tetapi, yang paling populer baik di Indonesia maupun di negara lain yaitu Learning Modalities yang digagas oleh Walter Burke Barbe.

Menurut model ini, gaya belajar dibagi menjadi tiga kategori yaitu Visual dan Auditory seperti yang penulis jelaskan di atas, dan satu kategori lagi yakni Kinesthetic.

Model ini menyarankan agar cara belajar anak disesuaikan dengan kecenderungan mereka. Apabila mereka cenderung mudah memahami hal-hal yang tersaji dalam bentuk visual, maka idealnya mereka belajar dengan instrumen visual seperti gambar, film, bahan bacaan, mindmap, dan slide/power point. Sementara itu, apabila anak cenderung mudah memahami hal-hal yang tersaji dalam bentuk audio, maka idealnya mereka belajar dengan instrumen suara seperti podcast, ceramah, dan diskusi sebagaimana disebutkan di atas. Apabila anak memiliki kecerdasan kinestetik (berkaitan dengan gerak), maka idealnya mereka belajar dengan cara berpraktik, menulis, membuat simulasi dengan menggunakan objek-objek nyata sebagai alat bantu belajar.

Nah, sampai di sini, mungkin Anda tertarik menerapkan gaya belajar/learning style untuk membantu proses belajar anak Anda. Untuk melakukannya, Anda terlebih dulu harus tahu tipe kecerdasan anak Anda. Apakah dia memiliki kecerdasan spatial, musical, linguistic, personal, kinesthetic, atau lainnya? Baru, setelah Anda tahu kecerdasan anak Anda, Anda dapat menerapkan learning style yang sesuai denga kecerdasannya.

Namun demikian, sebelum menerapkannya, tidak ada salahnya untuk sejenak meninjau validitas model pembelajaran tersebut.

gaya belajar

Mengapa?

Karena, menurut para pakar, teori gaya belajar tidak terverifikasi/terbukti.

Penasaran?

Untuk lebih jelasnya, yuk, kita kupas lebih dalam.

Kritik terhadap Teori Gaya Belajar/ Learning Styles Theory

Kendati popularitasnya di kalangan masyarakat (bahkan, sebuah survei menyimpulkan sebanyak 82% dari 242 guru di Belanda dan Inggris mempercayai teori gaya belajar), ternyata menurut para pakar neurosains teori tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Harold Pashler dan Doug Rohrer menjelaskan bahwa bukti-bukti yang menujukkan validitas teori tersebut lemah. Pada kenyataannya, tidak ada peningkatan hasil ketika seorang anak menerapkan learning sytle sebagai metode belajarnya. Hasil pembelajaran baik sebelum atau pun sesudah menerapkan gaya belajar yang sesuai dengan kecerdasan mereka tidaklah berubah.

Ini menujukkan bahwa gaya belajar/learning style tidak berpengaruh pada pembelajaran anak.

Howard Gardner sendiri, yang teori multiple intelligence-nya digunakan untuk mendukung teori gaya belajar bahkan menyanggah teori tersebut. Menurutnya, multiple intelligence tidaklah berimplikasi pada gaya belajar/ learning styles. Multiple intelligence tidaklah berkesimpulan bahwa cara belajar anak harus disesuaikan dengan kecerdasan atau kelebihan yang dimilikinya.

Dalam sebuah artikel yang berjudul 50 Great Myths of Popular Psychology, Scott Lilienfeld menjelaskan bahwa pendekatan tersebut (learning styles theory) alih-alih memperkuat aspek kekurangan sang anak justru memperkuat aspek sang anak yang secara alami sudah unggul. Menurutnya, sejatinya pembelajaran ditujukan untuk memperkuat aspek yang lemah, dan bukannya menghindari aspek tersebut dan hanya berfokus pada kelebihan/keunggulan sang anak. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Paul Howard-Jones dari The University of Bristol. Ia menyarankan agar dalam belajar, anak perlu keluar dari cara/metode yang menjadi zona nyamannya. Teori gaya belajar/ learning styles theory mendorong anak untuk menghindari aspek kelemahannnya dan hanya berfokus pada aspek kelebihannya.

Dalam sebuah buku yang berjudul Visible Learning and the Science of How We Learn, John Hattie dan Gregory Yates menjelaskan, “We are all visual learners, and we are all auditory learners, not just some of us. Laboratory studies reveal that we all learn when the inputs we experience are multimodal or conveyed through different media.”

Kita semua adalah pembelajar dengan medium visual, dan kita semua pembelajar dengan medium suara, tidak hanya beberapa di anatara kita. Studi laboratoris mengungkapkan bahwa kita semua belajar ketika input/informasi yang kita alami bersifat multimodal alias dipahami melalui berbagai medium yang berbeda-beda.

Di bagian lain dalam buku itu, mereka menjelaskan, “Claims such that ‘some students learn from words, but others from images’ are incorrect, as all students learn most effectively through linking images with words. These effects become especially strong when the words and images are made meaningful through accessing prior knowledge. Differences between students in learning are determined strongly by their prior knowledge, by the patterns they can recognise, and not by their learning style.”

Klaim bahwa ‘beberapa siswa belajar dari kata, yang lain dari gambar’ adalah keliru, karena semua siswa belajar paling efektif lewat menghubungkan gambar dengan kata. Efek-efek ini kuat ketika kata-kata dan gambar dibuat berarti dengan mengakses pengetahuan sebelumnya. Perbedaan antara siswa dalam belajar ditentukan secara kuat oleh pengetahuan terdahulunya, oleh pola-pola yang dapat mereka kenali, dan tidak dari gaya belajar mereka.

Intinya, proses pembelajaran senantiasa menggunakan berbagai sarana, bukan terbatas pada satu sarana yang sesuai dengan kecerdasan siswa. Siswa yang memiliki kecerdasan spatial tetap perlu menggunakan sarana pembelajaran lain selain gambar, slideshow, dan tulisan. Demikian juga siswa dengan kecerdasan musical perlu menggunakan instrumen belajar berupa gambar, praktik, simulasi, dan presentasi selain sarana-sarana yang bersifat audio. Siswa yang kecerdasannya tergolong kecerdasan kinestetis, yang unggul dalam bidang gerak juga perlu menggunakan instrumen visual dan audio ketika belajar.

Bayangkan anak Anda belajar matematika hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya. Mampukah dia menguasai materi matematika?

Bayangkan pula anak Anda belajar bahasa asing hanya dengan gambar, slideshow, atau tulisan. Mampukah ia menguasai bahasa itu?

Jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘Tidak’, bukan?

Jawaban itu mengindikasikan bahwa pembelajaran harus melibatkan semua medium, baik visual, audio, maupun kinestetik.

Anda setuju?

Nah, untuk itu, kesampingkan jauh-jauh terobosan yang menyarankan agar anak Anda belajar HANYA dengan sarana yang sesuai dengan kecerdasannya. Masih banyak metode belajar yang jaaaaaauh lebih efektif dari gaya belajar alias learning styles.

 

Sumber:

Blogs.edweek.org

Thinkneuroscience.wordpress.com

Debunker.club

Changemag.org

Wired.com

 

Baca juga:

Apa Itu Mental Block dan Bagaimana Mengatasinya agar Anak Lebih Optimis?

Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?

Bagaimana Cara Belajar Efektif? Ini Dia Rahasianya!

Strategi Pembelajaran yang aWajib Diketahui Siswa dan Guru

Cara Mudah Mengingat Materi Pelajaran (Cocok untuk Anak SMA)

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>