Bayangkanlah, seorang stylist di salon kecantikan memuji rambut Anda. “Rambutnya bagus banget, Jeng. Duuuuh, iri dech, eike.”
Mendengar pujian itu, kira-kira, apa reaksi Anda? Hmm, penulis jamin, Anda akan tersenyum dan gembira.
Sekarang, bayangkan atasan mengritik kinerja Anda di kantor. Katanya, Anda kurang teliti dalam mengerjakan tugas. Selain itu, Anda juga sering datang terlambat.
Mendengar kritik itu, kira-kira, bagaimana reaksi Anda? Sedih? Marah? Merasa bersalah? Hmm, apa pun itu, yang pasti, Anda merasa terganggu dengan kritik itu. Hayoooo, ngakuuuuu!
Nah, dari dua ilustrasi di atas, kita tahu bahwa kita cenderung gembira manakala orang lain memuji kita. Dan, sebaliknya, suasana hati kita berubah menjadi tidak nyaman ketika mendapatkan kritik dari orang lain atau orang lain menilai kita buruk.
Hal di atas mengindikasikan bahwa suasana hati kita bergantung pada orang lain. Kita gembira manakala orang lain memuji kita. Sebaliknya, kita marah, sedih, atau khawatir manakala orang lain mengritik kita.
Dengan kecenderungan ini, kita pun lantas terus mengharapkan pujian dari orang lain. Selain itu, kita juga berusaha sebisa mungkin untuk menghindari kritik dari orang lain.
Jika sudah begini, apa pun yang kita lakukan bukan untuk diri kita sendiri, melainkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Kita berbusana sesuai dengan busana yang disukai orang lain; Kita melakukan hal-hal yang disukai orang lain dan meninggalkan hal-hal yang tidak mereka sukai. Intinya, kita menggantungkan kebahagiaan kita pada penerimaan orang lain.
Sekarang, pertanyaannya, apakah kecenderungan di atas membawa dampak positif bagi diri Anda? Perlukah Anda menuruti semua keinginan orang lain agar keberadaan Anda diakui dan diterima? Dan, yang terakhir, bisakah Anda bahagia tanpa pengakuan dan penerimaan orang lain?
Nah, dalam artikel ini, kita akan jawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Semoga, artikel ini bermanfaat bagi Anda.
Sekarang, yuk, kita lanjut simak artikel ini selengkapnya.
Kebahagiaan Anda dan Pengakuan Orang Lain
Setelah menyimak bab pembukaan di atas, mengapa kita bahagia manakala mendapatkan pujian? Mengapa pula kita terganggu manakala orang lain mengritik kita?
Jawaban yang mungkin yaitu kita mengira bahwa penilaian orang lain tentang diri kita memengaruhi sikapnya pada diri kita. Saat orang lain berkata bahwa busana yang kita kenakan tidak cocok, kita pun mengira bahwa dengan begitu, orang tersebut akan memperlakukan kita secara berbeda. Kita mengira, ia akan menjauhi diri kita lantaran cara berbusana kita, yang tidak sesuai dengan seleranya.
Sudut pandang suka-tidak suka
Dalam hal di atas, kita memandang kritik dan pujian orang lain sebagai indikasi kesukaan/ketidaksukaannya kepada diri kita. Kita gembira mendapatkan pujian dari orang lain lantaran kita mengira orang lain menyukai kita. Sebaliknya, kita kesal saat mendapat kritik dari orang lain lantaran kita mengira orang lain tidak menyukai kita.
Takut
Selain sudut pandang suka-tidak suka, kita terpengaruh oleh pujian dan kritik orang lain lantaran rasa takut. Yup! Kita takut kalau-kalau orang lain menolak diri kita lantaran ia menilai kita tidak sesuai dengan harapannya.
Tetapi, mengapa kita takut terhadap penolakan orang lain? Jawabannya, tentu saja, karena kita hidup berdampingan dengan orang lain. Kita merupakan makhluk sosial yang keberadaannya tidak terpisah dari orang lain. Kita tidak mungkin mengisolasi diri dari lingkungan. Ini disebabkan, kita tidak dapat memenuhi semua yang kita butuhkan secara mandiri. Kita perlu bantuan orang lain.
Haruskah menjadi orang lain?
Jika kita membutuhkan orang lain, lantas perlukah kita membuat orang lain sedemikian sehingga menerima diri kita DENGAN MEMENUHI SEMUA KEINGINANNYA? Jawabannya: tidak!
Kita masih bisa bahagia sekalipun tidak menjadi apa yang orang lain harapkan tentang diri kita. Kita butuh bantuan orang lain, tetapi bukan berarti kita wajib memenuhi semua keinginannya agar ia bersedia menerima diri kita. Orang lain masih bisa menerima kita sekalipun kita tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Sebagai contoh, seorang teman mengkomplain cara makan Anda. Ceritanya, Anda gemar makan menggunakan tangan. Sementara itu, teman Anda suka makan dengan peralatan makan lengkap seperti sendok dan garpu. Nah, tanpa Anda mengikuti tradisi teman Anda, penulis yakin, ia masih bisa menerima diri Anda. Perbedaan cara makan tersebut tidak lantas mendorongnya untuk menjauhi Anda.
Mengapa penulis yakin dia tidak akan menjauhi Anda? Karena, Anda pun tidak mempermasalahkan cara makannya, yang berbeda dengan tradisi Anda. Benar, bukan?
Namun demikian, berbeda halnya jika pujian atau kritikan yang dilontarkan kepada Anda menyangkut sikap Anda, bukan menyangkut selera dan tradisi Anda. Dapatkah Anda tidak memedulikan kritik itu?
Nah, untuk menjawab itu, mari kita bagi tindakan kita ke dalam dua kategori. Kategori yang pertama yaitu selera; Kategori yang kedua yaitu keharusan.
Selera
Setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda. Ada yang suka masakan pedas, ada yang suka masakan manis. Ada yang gemar melukis, ada pula yang gemar mendaki.
Selera satu orang tidak melukai selera orang lain. Kegemaran Anda mendengarkan musik dangdut tidak memengaruhi kehidupan orang lain. Demikian juga sebaliknya, kegemaran orang lain tidak memengaruhi kehidupan Anda.
Nah, itulah mengapa, Anda bebas memilih selera Anda. Anda bebas memilih jenis masakan, hobi, warna cat rumah Anda sesuai dengan selera Anda. Pilihan Anda itu tidak akan memengaruhi kehidupan orang lain, tidak akan merugikan orang lain.
Terhadap kritikan orang lain mengenai selera Anda, Anda berhak untuk menolak kritik itu. Anda tidak berkewajiban untuk mengikuti harapannya tentang diri Anda.
Sebagai contoh, Anda gemar musik dangdut. Kegemaran Anda itu berbeda dengan kegemaran teman Anda. Ia lebih suka musik pop.
Mendapati Anda lebih suka dangdut, teman Anda pun mengritik Anda. Ia menilai bahwa selera Anda kampungan.
Nah, terhadap kritikan teman Anda, Anda tidak perlu menanggapinya. Anda tidak perlu meng-iya-kan ajakannya untuk menyukai musik pop. Kegemaran Anda mendengarkan musik dangdut tidak akan membuat hidupnya menderita. Demikian sebaliknya, kegemarannya mendengarkan musik poptidak akan membuat hidup Anda merana.
Justru, yang bakal terjadi jika Anda meng-iya-kan ajakannya yaitu Anda akan kehilangan identitas Anda. Anda akan berhenti menjadi diri Anda sendiri demi memenuhi keinginan teman Anda. Dan, sikap ini tentu tidak akan membuat Anda bahagia.
Jadi, kesimpulannya, untuk memperoleh kebahagiaan, Anda tidak harus menjadi apa yang orang lain HARAPKAN tentang Anda, Anda tidak perlu mengharapkan PENGAKUAN orang lain, jika harapan dan pengakuan itu berkaitan dengan selera.
Singkatnya, untuk bahagia, Anda tidak perlu mengikuti selera orang lain dan membuang selera Anda sendiri. Anda tidak perlu memusingkan penilaian orang lain tentang selera Anda. Selama Anda enjoy dengan selera Anda, nikmatilah. Di situlah letak kebahagiaan Anda.
Jangan takut orang lain mengritik selera Anda. Tidak perlu pula Anda gembira orang lain memuji selera Anda.
Coba telusuri perasaan Anda ketika menerima pujian atau kritikan orang lain mengenai selera Anda. Telusuri apakah Anda gembira saat orang lain memuji selera Anda dan apakah Anda kesal saat orang lain mengritik selera Anda.
Jika Anda jumpai timbul rasa gembira atau rasa kesal dalam diri Anda, coba kendalikan perasaan itu.
Mengapa Anda harus mengendalikan perasaan itu? Karena, jika Anda tidak mampu mengontrolnya, jika Anda terlena dengan perasan-perasaan itu, Anda pun, secara tidak sadar, akan terdorong untuk mengejar pengakuan orang lain demi membuat diri Anda gembira. Secara tidak sadar, Anda akan menjadi apa yang orang lain inginkan tentang diri Anda demi membuat diri Anda gembira. Selain itu, Anda pun akan terus memenuhi keinginan orang lain demi menghindari rasa kesal dalam diri Anda.
Intinya, jangan biarkan penilaian orang lain terhadap diri Anda menjadi penentu kebahagiaan Anda.
Keharusan
Selain selera, ada pula tindakan yang merupakan keharusan. Jika tidak lakukan, maka hidup/posisi kita akan ternacam.
Selera makan Anda adalah nasi goreng, misalnya. Sementara itu, selera makan teman Anda adalah bakso. Tetapi, sekalipun selera makan Anda berbeda dengan selera makan teman Anda, Anda berdua memiliki keharusan yang sama, yakni harus MAKAN, minimal tiga kali sehari.
Di sini, makan tidak termasuk dalam kategori selera, melainkan keharusan. Demikian halnya dengan tiba di kantor tepat waktu, teliti dalam bekerja, disiplin, bertanggung jawab, dan sebagainya. Kesemua sikap tersebut merupakan keharusan, yang tanpanya, posisi Anda akan terancam.
Tiba di kantor tepat waktu merupakan keharusan; teliti dalam bekerja merupakan keharusan, demikian pula bertanggung jawab dan berdisiplin. Jika Anda tidak tiba di kantor tepat waktu, atau Anda tidak teliti dalam bekerja, maka sangat mungkin manajemen perusahaan menegur Anda.
Oleh karena itu, saat orang lain mengritik Anda berkaitan dengan tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori keharusan, maka mau tidak mau, suka tidak suka, Anda harus menerima atau mempertimbangkan kritik itu. Mengapa? Karena kebahagiaan/posisi Anda ditentukan oleh keharusan itu. Posisi Anda di kantor aman apabila Anda mematuhi aturan yang ada. Kehidupan Anda akan berjalan lancar jika Anda bertanggung jawab terhadap hidup Anda.
Jadi, kebahagiaan Anda turut serta ditentukan oleh kritik atau pujian orang lain mengenai tindakan Anda (yang termasuk keharusan). Agar hidup Anda bahagia, Anda tidak bisa mengesampingkan kritik atau pujian itu. Agar hidup Anda bahagia, Anda perlu mendengarkan pujian dan kritikan itu. Mengapa? Karena kritik dan pujian itu merupakan parameter yang menunjukkan sejauh mana progres Anda. Kritik menunjukkan bahwa Anda harus berhenti sejenak untuk berbenah. Sementara itu, pujian menunjukkan bahwa Anda telah mencapai progres, yang dengan demikian, Anda dapat melanjutkan langkah Anda menuju goal lain.
Yang perlu diperhatikan, Anda tidak perlu menyikapi pujian atau kritikan itu dengan sentimentil. Tidak perlu Anda menyikapi pujian dengan kegembiraan yang mendalam. Demikian sebaliknya, tidak perlu Anda menyikapi kritikan dengan rasa kesal, cemas, dan khawatir. Perasaan gembira atau kekesalan yang timbul akibat pujian atau pun kritikan terhadap Anda menunjukkan bahwa Anda melihat pujian dan kritikan itu melalui sudut pandang suka-tidak suka.
Dengan sudut pandang itu, Anda menilai pujian orang lain terhadap tindakan Anda sebagai bukti kesukaannya kepada Anda. Sebaliknya, dengan sudut pandang yang sama, Anda menilai bahwa kritikan orang lain terhadap tindakan Anda merupakan bukti ketidaksukaannya kepada Anda.
Saat Anda menanggapi kritik dan pujian dari sudut pandang suka-tidak suka, Anda akan terjerumus pada sikap menggantungkan kebahagiaan Anda pada orang lain. Anda akan haus pujian dan alergi terhadap kritik.
Jika sudah begitu, Anda akan kecewa saat orang lain tidak memuji Anda padahal Anda sudah bersusah payah menjadi apa yang ia harapkan tentang Anda.
Sebagai contoh, atasan Anda senang jika setiap hari, Anda tiba di kantor tepat waktu. Nah, demi mendapat pujian darinya, Anda pun lantas berniat untuk pergi ke kantor lebih awal. Anda berjuang keras sedemikian sehingga dapat tiba di kantor tepat waktu, setiap hari.
Namun demikian, mengetahui ada perubahan positif dalam diri Anda, atasan Anda bergeming. Ia tidak kunjung memuji diri Anda. Dan, karena hal itu, Anda pun kecewa.
Kesimpulan
Dari menyimak uraian di atas, berikut ini kesimpulan yang dapat kita tarik.
1. Saat kita memandang pujian dan kritikan orang lain sebagai indikasi suka atau tidak sukanya seseorang kepada kita, maka kita akan rentan terjerumus pada sikap menggantungkan kebahagiaan kita pada orang lain.
Kita akan menganggap pujian dan kritikan sebagai hal yang paling penting. Kita akan menganggap pujian sebagai tujuan akhir.
Dengan anggapan seperti itu, semua yang kita lakukan ditujukan semata-mata untuk mendapatkan pujian orang lain. Akibatnya, saat orang lain tidak memuji kita, maka kita pun kecewa dan kesal. Kebahagiaan kita ditentukan oleh orang lain. Saat orang lain memuji kita, kita bahagia. Saat orang lain mengritik kita, kita pun kesal.
2. Kita bisa mencapai kebahagiaan meskipun orang lain tidak menerima dan mengakui kita. Sekalipun kita membutuhkan orang lain, bukan berarti mereka berhak mendiktekan keinginan mereka kepada kita. Mereka tidak berhak membenci kita jika selera kita berbeda dengan selera mereka.