Benner-1.png

 

“Main gameboard bikin pusing, dulu gembrot, kok, sekarang langsing. Rahasianya apa, Mon?” Hehehe, masih ingatkah Anda iklan produk pelangsing itu? Apa yang Anda rasakan saat teringat iklan itu? Sedih? Kecewa? Berharap? Anda berharap tubuh Anda bisa seindah yang ditunjukkan oleh iklan itu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Anda memiliki masalah. Menurut Anda, tubuh Anda kurang ideal. Bukan karena terlalu gemuk, atau agak pendek. Tetapi, Anda ingin kulit Anda tampak lebih putih. Selain itu, Anda juga ingin paras Anda secantik paras para artis.

Memang, memiliki tubuh yang indah seringkali menguntungkan kita. Terkadang, hanya bermodal kecantikan, kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan. Saat mobil Anda mogok di jalan, misalnya. Orang-orang akan dengan suka rela menolong Anda, apalagi saat mereka tahu bahwa yang mengendarai adalah perempuan cantik.

Hehehe, saya yakin, tujuan Anda ingin tampil cantik tidaklah seperti itu. Yang seperti itu hanya ada di sinetron.

Bagaimana pun juga, di luar sana, banyak sekali orang yang, apa pun tujuannya, rela terbaring di meja operasi hanya untuk mengubah penampilan fisik, mulai dari operasi wajah, hidung, kulit, hingga tinggi badan.

Lantas, bagaimana dengan Anda? Mengapa Anda ingin memiliki kulit putih dan paras yang cantik? Apakah dengan kecantikan, orang lain lebih menghargai diri Anda? Atau, Anda kurang percaya diri dengan kulit yang tidak putih dan tidak cantik?

Apa yang selama ini Anda lakukan untuk memenuhi keinginan itu? Berapa uang yang Anda habiskan untuk menyulap penampilan Anda? Berhasilkah usaha itu? Sadarkah Anda bahwa keingingan itu telah mengusik kehidupan Anda?

Jika jawabannya “iya”, pernahkah Anda berpikir bahwa lebih baik mensyukuri tubuh Anda?

Mensyukuri tubuh bukan berarti tidak merawatnya sama sekali. Jika itu yang terjadi, niscaya tidak ada bedanya menysukuri tubuh dengan tidak menghargai tubuh. Mensyukuri tubuh berarti menerima tubuh apa adanya dengan tetap menghargainya. Menghargai tubuh berarti menjaga dan merawatnya sedemikian rupa sehingga terbebas dari penyakit dan tidak mengganggu pemandangan.

Jika saat ini Anda sedang sibuk berusaha untuk merubah penampilan fisik Anda, apa pun alasannya (kecuali alasan kesehatan), tidak ada salahnya Anda simak artikel ini hingga selesai, sebelum Anda jauh melangkah dan menghamburkan banyak uang.

Untuk itu, simak terus artikel ini hingga selesai. Sekarang, mari kita mulai dengan mitos kecantikan.

Mitos Kecantikan

Sebelum jauh mengambil tindakan untuk merubah penampilan fisik Anda, saya ingin bertanya kepada Anda, apa, sih, sebenarnya kecantikan itu? Apakah cantik itu berarti memiliki kulit yang putih, rambut yang lurus panjang? Atau, kecantikan berarti berkulit hitam dan berhidung mancung?

Jika Anda orang Jawa, mungkin Anda akan mendefinisikan kecantikan seperti berikut: “Untune miji timun; Mripate damar kanginan” dan sebagainya. Artinya, cantik berarti memiliki gigi yang rapi kecil-kecil, dan mata yang bercaya.

Definisi kecantikan senantiasa berbeda dari satu tempat ke tampat lainnya dan dari zaman ke zaman. Bagi suku Kayan yang berdiam di perbatasan Burma dan Thailand, perempuan yang cantik adalah perempuan yang mengenakan kalung seperti tampak di bawah ini.

Semakin banyak kalung yang melingkar di leher, semakin tinggi tumpukan kalung itu, maka semakin cantiklah seorang perempuan.

Sementara itu, bagi suku Maori yang berdomisili di Selandia Baru, perempuan yang cantik adalah mereka yang memiliki tato di area bibir dan dagu mereka. Dengan demikian, perempuan yang tidak bertato dianggap kurang cantik.

Dan, tidak usah jauh-jauh ke negeri seberang. Di Indonesia, tepatnya di Kalimantan, terdapat suku Dayak, di mana kaum perempuannya memakai anting yang besar dan berat sedemikian sehingga telinganya melar, menjadi bertambah panjang. Konon katanya, semakin panjang telinganya, maka semakin cantik pula orangnya.

Nah, jika definisi kecantikan berbeda dari satu tempat dan satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, lantas, apakah sebenarnya kecantikan itu?

Kecantikan merupakan sebuah mitos, kata Naomi Wolf, seorang feminis dan sekaligus penulis buku The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women pada tahun 1990.

Sebagai sebuah mitos, kecantikan bukanlah hakikat yang keberadaannya ada secara alamiah. Sebaliknya, ia ada sebagai produk dari hubungan kekuasaan.

Hampir senada dengan pernyataan Wolf, seratus tahun lebih sebelum buku Wolf terbit, Friedrich Engels, seorang pemikir dari Jerman, dalam bukunya yang berjudul The Origin of Family, Private Property, and State telah menjelaskan bahwa di dalam strukutur masyarakat yang ada sekarang, di mana kepemilikan pribadi (modal pribadi/ kekayaan) bercokol, maka patriarkisme tumbuh sebagai salah satu konsekuensinya. (Pernyataan tersebut didasarkan pada teori tentang sejarah perkembangan manusia yang diusung oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog berkebangsaan Amerika Serikat.)

Penjelasannya, kepemilikan pribadi (kekayaan pribadi), yang merupakan konsekunesi dari corak hidup bercocok tanam, ribuan tahun yang lalu, menimbulkan pembagian kerja (division of labor), yang pada corak kehidupan sebelumnya belumlah ada.

Pada corak kehidupan sebelumnya, yakni di mana masyarakat hidup dalam fase berburu dan mengumpulkan makanan (hunt and gathering), semua orang, baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam kegiatan mencari penghidupan. Semua terlibat dalam aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan.

Dalam corak kehidupan seperti ini, masyarakat hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Sementara itu, perkawinan terjadi antar-klan, di mana perempuan dari klan satu menikah dengan laki-laki dari klan lainnya. Misalnya, perempuan dari klan A menikah dengan laki-laki dari klan B, di mana lelaki itu meninggalkan klannya dan hidup bersama klan istrinya. Adapun bentuk perkawinan adalah poliandri dan poligami, di mana satu perempuan kawin dengan banyak laki-laki, demikian juga sebaliknya.

Bentuk perkawinan yang seperti itu melahirkan budaya matrilineal, di mana garis keturunan disandarkan pada ibu, mengingat bapak biologis dari seorang anak tidak dapat ditentukan.

Karena corak kehidupan yang menuntut kaum perempuan terlibat aktif dalam mencari penghidupan, serta corak perkawinan yang matrilineal, kaum perempuan pun menduduki posisi yang setara dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan dihormati karena dianggap sebagai penerus klan.

Nah, setelah corak berburu dan mengumpulkan makanan tidak memungkinkan lagi, corak kehidupan pun berubah. Kini, masyarakat harus hidup menetap dengan bercocok tanam. Dengan bercocok tanam, mereka mampu menghasilkan surplus atau kelebihan panen yang dapat mereka timbun untuk persediaan hingga musim panen berikutnya.

Namun demikian, karena surplus ini, masyarakat memerlukan para penjaga hasil panen yang berkelimpahan itu. Akhirnya, terjadilah pembagian kerja (division of labour) di mana kaum laki-laki ditugaskan untuk bercocok tanam, sedangkan kaum perempuan ditugaskan untuk menjaga hasil panen yang melimpah dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.

Dengan corak kehidupan yang seperti ini, lama-kelamaan, masyarakat tidak lagi hidup secara komunal (bersama), melainkan mulai membentuk keluarga, di mana satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Mengapa demikian? Karena budaya matrilineal, di mana garis keturunan disandarkan pada kaum perempuan (ibu) kontradiktif terhadap corak kehidupan yang ada.

Anak-anak dari klan satu tidak dapat mewarisi kekayaan yang dimiliki oleh klan sang ayah. Misalnya, anak-anak dari klan A (merupakan hasil perkawinan antara perempuan klan A dengan laki-laki dari klan B, C, D, dan seterusnya) tidak dapat mewarisi kekayaan klan sang ayah karena tidak bisa diketahui dengan pasti siapa bapak biologis mereka. Untuk itulah, agar sang anak dapat mewarisi (mengurus dan menikmati) kekayaan sang ayah, corak perkawinan perlu dirubah sedemikian sehingga komunitas mengetahui siapa bapak biologis dari seorang anak. Oleh karena itulah, bentuk perkawinan berganti menjadi perkawinan monogami (satu pria berpasangan dengan satu wanita). Dengan demikian, seorang ayah, yang memiliki ladang dan peternakan dapat mewariskan dan menyerahkan tanggung jawab mengurus ladang, ternak, beserta semua peralatan bercocok tanamnya kepada sang anak (laki-laki).

Dengan corak perkawinan monogami, lama-kelamaan, kekayaan klan berubah menjadi kekayaan perorangan (keluarga yang terdiri dari satu ayah, satu ibu, dan anak). Dalam corak kehidupan seperti ini, sang suami memegang kendali atas kekayaan keluarga. Dan, inilah yang memosisikan kaum perempuan sebagai manusia kelas dua. Peran perempuan dipersempit hanya sebagai agen pereproduksi keturunan.

Saat perempuan dipandang hanya sebagai agen pereproduksi keturunan, maka semenjak itulah ia dipandang hanya sebagai objek seksualitas.

Dan, ketika perempuan hanya dipandang sebagai objek seksualitas, maka mulai timbullah konsep tentang kecantikan. Sejak saat itu, perempuan yang ideal adalah perempuan yang cantik, yang dapat menghasilkan banyak anak, dapat menjaga kecantikan, dan dapat menjaga “kehormatan”. Dalam pandangan patriarkis yang seperti itu, cantik berarti menarik secara seksual.

Apa pun definisi kecantikan, yang pasti, perempuan yang cantik adalah perempuan yang menarik secara seksual.

Nah, sejak saat itu hingga sekarang, perempuan masihlah dipandang sebelah mata. Mereka hanya dipandang sebagai objek seksualitas.

Jika tidak percaya, coba tanyakan kepada diri Anda sendiri, seandainya Anda mempunyai anak perempuan, apa yang paling Anda khawatirkan dari anak perempuan Anda. Saya berani bertaruh, kehawatiran utama Anda adalah anak perempuan Anda terjerumus dalam pergaulan bebas (free sex).

Nah, demikianlah, secara tidak sadar, pikiran kita masih dikontrol oleh kebudayaan patriarkis, yang memandang perempuan hanya sebagai objek seksual. Berbeda halnya ketika anak kita laki-laki, maka yang kita khawatirkan, anak laki-laki kita terjerumus pada tindakan-tindakan kriminal seperti terlibat tawuran, atau terjerumus pada narkotika.

Perempuan yang “Ideal”

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, berawal dari kebudayaan yang memandang perempuan hanya sebagai objek seksualitas (kebudayaan patriarkis), timbul mitos tentang “perempuan yang ideal”.

Dalam mitos itu, digambarkan bahwa perempuan yang ideal adalah mereka yang mampu memiliki anak, mampu menjaga “kehormatan”, mengurus suami dan anak, mengurus kehidupan rumah tangga, dan mampu berhias diri untuk menyenangkan suami.

Sejak saat itu, kaum perempuan tidak memiliki kehidupannya sendiri. Kehidupannya didedikasikan sepenuhnya untuk sang suami. Dan, karena itulah, mereka senantiasa disibukkan dengan mengurus penampilan. Selain itu, kaum perempuan pun berlebihan dalam memaknai hubungan percintaan mereka dengan kaum pria.

Perlu diperhatikan di sini, konsep “perempuan yang ideal” bukan hanya meliputi pengontrolan perempuan untuk terus menerus mempercantik fisiknya. Di satu sisi, ada kebudayaan kapitalisme yang membombardir perempuan dengan konsep “perempuan yang ideal” seperti bertubuh langsing, tinggi, rambut lurus, berkulit putih, dan sebagainya.

Tetapi, di sisi yang lain pun, terdapat juga kebudayaan yang memandang bahwa perempuan yang suka berdandan di depan umum bukanlah perempuan yang ideal. Bagi budaya seperti ini, perempuan yang ideal adalah mereka yang mampu menjaga “kehormatan” dari godaan kaum adam.

Baik yang mendefinisikan perempuan yang ideal sebagai perempuan yang menjaga kecantikan fisik atau pun perempuan yang mampu menjaga “kehormatan”-nya, keduanya sama-sama terbelenggu dalam kungkungan mitos “perempuan ideal” ala patriarkisme, yang pada ujungnya tetap saja mengendalikan perempuan untuk hanya dipandang sebagai objek seksual.

Kedua pandangan itu, pada ujungnya membuat perempuan sibuk untuk menjaga fisik mereka, baik dalam arti mempercantik fisik mereka atau pun sibuk menutupi bagian tubuh mereka dengan berbagai cara supaya tidak menarik kaum lelaki.

Dan, karena disibukkan dengan urusan fisik, produktivitas mereka pun menurun. Kesempatan untuk mengembangkan diri terrenggut hanya untuk mengurus fisik. Selain itu, timbul kecemburuan, rasa iri, kecemasan dan ketakutan (akan disepelekan lantaran masalah fisik) di dalam diri mereka.

Lantas, bagaimana dengan perempuan yang cantik (menurut komunitas atau budaya masing-masing)? Apakah mereka terbebas dari kungkungan budaya patriarkisme? Jawabannya, tentu saja tidak, selama mereka terus disibukkan untuk mengurus fisiknya saja. Mereka tidak akan pernah puas dengan kecantikan yang sudah mereka miliki. Sebaliknya, timbul ketakutan di dalam diri mereka manakala kecantikan mereka memudar karena usia.

Oya, perlu ditekankan di sini bahwa patriarkisme bukan berarti, musuh kaum perempuan adalah kaum laki-laki. Kaum laki-laki dan kaum perempuan hanyalah para pelaku pasif sejarah pada zaman itu (zaman primitif). Secara tidak sadar, corak kehidupan mereka (cara hidup mereka, yakni bercocok tanam) melahirkan partiarkisme. Dan, budaya itu (patriarkisme) terus bertahan secara turun temurun hingga sekarang.

Sekarang, sudah banyak kaum laki-laki dan juga kaum perempuan yang menyadari dampak negatif patriarkisme bagi kaum perempuan. Mereka pun sedikit demi sedikit mulai membuang kebudayaan itu dari kehidupan mereka. Terutama sekali, Kaum perempuannya, mulai membebaskan diri mereka dari penjara patriarkisme.

Dengan cara apakah mereka membebaskan diri? Dengan sedikit demi sedikit membebaskan diri mereka dari mitos kecantikan dan mitos perempuan yang ideal. Ini dapat dilakukan dengan mencintai tubuh dan menghargai intelejensi mereka.

Nah, sekarang, setelah mengetahui bahwa kecantikan hanyalah mitos yang dibuat sedemikian sehingga untuk menghambat produktivitas kaum perempuan, masihkah Anda berkeinginan untuk tampil cantik? Masihkah Anda ingin menghabiskan uang untuk merubah penampilan Anda?

Jika Anda sadar bahwa keinginan itu sangat mengusik hidup Anda, tetapi Anda tidak tahu bagaimana cara menghentikan keinginan itu, Anda dapat mencoba cara-cara berikut ini untuk menyetop keinginan Anda. Semoga cara ini membantu Anda terbebas dari kungkungan keinginan yang menghancurkan hidup Anda.

Cintai dan hargai tubuh Anda

Bagaimana orang lain menghargai diri Anda jika Anda sendiri melecehkannya? Anda terus-menerus menyesali tubuh Anda. Anda menganggapnya tubuh yang tidak ideal. Dan, karena anggapan itu pun, Anda menjadi tidak percaya diri, penuh dengan keirian dan kecemburuan terhadap orang lain.

Hal itu, pada akhirnya membuat hati Anda tidak damai.

nah, daripada akhirnya seperti, lebih baik syukuri pemeberian Tuhan itu. cintai dan hargai tubuh Anda. rawat ia supaya terhindar dari segala macam penyakit dan bahaya.

Menghargai intelejensi

Saat Anda menilai kualitas diri Anda berdasarkan hanya standar fisik, maka orang lain pun akan menghargai Anda hanya berdasarkan standar itu. Mengapa demikian? Karena secara tidak sadar, Anda mencari komunitas yang hanya menghargai Anda berdasarkan standar fisik.

Padahal, yang terjadi saat kualitas Anda dinilai hanya berdasar standar fisik adalah Anda hanya akan menjadi objek seksual bagi mereka. Mereka tidak akan menghargai intelejensi Anda.

Mungkin saat ini, Anda dapat memoles fisik Anda sedemikian sehingga tampak menarik. Tetapi, begitu ada yang lebih menarik (secara fisik) dari Anda, maka mereka pun akan meninggalkan Anda.

Nah, daripada cemas dan takut ditinggalkan lantaran kalah cantik, lebih baik tonjolkan segi intelejensi Anda. Hargai intelejensi Anda.

Orang-orang tidak akan meninggalkan Anda lantaran Anda kalah cerdas dari yang lain. Mereka akan dengan senang berbagi pengetahuan dan berdiksusi dengan Anda.

Selain itu, dengan menghargai intelejensi, Anda pun tersadar bahwa kualitas diri Anda teramat angat berharga dibandingkan hanya dengan penampilan fisik.

Dengan kesadaran ini, akan timbul rasa enggan dalam diri Anda untuk menyibukkan diri dengan masalah penampilan.

Kembangkan bakat

Menghargai intelejensi dapat dilakukan dengan mengembangkan bakat. Saat Anda sibuk mengembangkan bakat, urusan mempercantik diri tidak lagi penting.

Saat Anda mengusai bakat tertentu, tidak hanya kecantikan fisik yang dapat Anda andalkan. Anda dapat mengandalkan bakat Anda. Dengan demikian, tidak ada yang meremehkan diri Anda dan menganggap Anda sebagai objek seksualitas semata.

Nikmati hobi

Seringkali, dalam sebuah keluarga, sang istri tidak dapat mengekspresikan kegemaran mereka. Mereka cenderung tidak bebas karena tuntutan mengurus rumah tangga, menjaga “kehormatan”, mengurus suami, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan sang suami, yang cenderung lebih bebas mengekspresikan kegemaran mereka. Meskipun telah menjadi seorang bapak, mereka masih bisa menyalurkan hobi seperti bermain game, menonton sepakbola, atau memancing. Tidak ada beban untuk menjaga “kehormatan” bagi sang bapak. Tidak ada pula beban untuk mengurus sang istri.

Kenyataan seperti di atas seringkali membuat sang istri menjadi sangat tergantung pada suaminya. Hal ini bisa membuat mereka memaknai hubungan percitaan dengan kaum pria (suami) secara berlebihan.

Mengapa? Karena setiap hari mereka disibukkan mengurus suami. Pada akhirnya, mereka lupa bahwa mereka memiliki kehidupan mereka sendiri; Mereka lupa bahwa mereka hidup bukan hanya untuk suami mereka.

Nah, saat mereka lupa dengan kehidupannya sendiri dan memandang bahwa kehidupannya sepenuhnya hanya untuk suaminya, maka mereka pun memaknai hubungan cinta secara berlebihan. Saat cinta dipandang secara berlebihan, maka timbullah kecemburuan yang membabi buta, kesedihan, kecemasan, dan lain sebagainya.

Akhirnya, mereka pun sibuk melakukan hal apa pun untuk menyenangkan sang suami. Jika hal ini tidak membuat mereka lupa dengan kehidupan mereka sendiri, sih, tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah jika hal ini lantas membuat mereka lupa akan kehidupan mereka sendiri.

Nah, jika hal itu sudah mengganggu, ada baiknya renungkan kembali siapa diri Anda. Renungkan kembali makna cinta. Barangkali Anda tersadar bahwa Anda terlalu berlebihan dalam memandang cinta hingga hal itu justru mengganggu kehidupan Anda.

Selain merenungkan kembali makna cinta, tidak ada salahnya meluangkan waktu, minimal seminggu sekali untuk menyalurkan hobi Anda.

Dengan menyalurkan hobi, Anda akan merasakan kembali kehidupan Anda sendiri dan Anda pun lebih menghargainya.

Kecantikan hanyalah mitos yang diembuskan untuk melemahkan produktivitas manusia. Dengan mitos itu, orang, terutama perempuan, berlomba-lomba untuk mempercantik dirinya. Saat mereka sibuk mempercantik diri, maka mereka pun lupa untuk memikirkan hal yang jauh lebih penting. Mereka lupa bahwa mereka memiliki nilai yang jauh lebih berharga ketimbang hanya penampilan fisik. Mereka bahkan lupa jika mereka memiliki kehidupan sendiri yang jauh lebih berharga untuk ditukar hanya dengan pujian atas kecantikan mereka.

Setujukah Anda? Yuk, berikan komentar.

Benner-1.png

 

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>