Pernahkah Anda mengeluh atau memrotes orang yang selalu menyarankan Anda untuk senantiasa berpikir positif? Mungkin begini bunyi protes Anda, “Kena musibah, kok, disuruh bersyukur!” atau, “Orang dizalimi disuruh berbaik sangka?! Gimana, sih?”
Mengapa Anda protes? Karena Anda tidak percaya bahwa hanya bermodalkan pikiran positif saja lantas semua masalah akan beres.
Yup! Saya setuju dengan Anda. Kenyataannya, merubah keadaan yang sudah terlanjur buruk tidaklah semudah membalik telapak tangan, tidak semudah ucapan syukur, sabar, atau berbaik sangka.
Saat kita sakit, tentu saja bukan hanya ucapan syukur atau berbaik sangka kepada Tuhan saja yang akan menyembuhkan kita. Kesembuhan kita juga dipengaruhi oleh obat-obatan dari dokter atau tindakan medis seperti operasi.
Namun demikian, pikiran tetap memiliki andil yang sangat besar dalam kehidupan kita. Pikiran turut memengaruhi perasaan, kesan, dan sikap kita terhadap suatu peristiwa.
Saat Anda mengikuti sebuah diskusi di kampus, misalnya, di mana dalam diskusi itu, Anda ingin menyanggah argumen lawan diskusi Anda. Jika Anda berpikir bahwa sanggahan Anda merupakan sanggahan yang konyol, maka sesaat sebelum Anda mengangkat telunjuk untuk mengajukan sanggahan, niscaya akan muncul perasaan gugup di dalam diri Anda.
Detak jantung Anda akan meningkat dan keringat dingin akan keluar. Dan, jika Anda nekad mengangkat telunjuk dan mengungkapkan sanggahan Anda, suara Anda pun akan terbata-bata karena gugup.
Pikiran juga memengaruhi tindakan Anda dalam konteks berikut: Anda sedang sendirian di rumah; Hari sudah sangat larut. Tetapi, Anda masih mengerjakan tugas kuliah. Tiba-tiba, terdengar suara gedoran pintu di luar.
Jika Anda berpikir suara itu suara orang yang mau menyelinap di rumah Anda, Anda pun akan mempersiapkan diri untuk melawan penyelinap itu. Tetapi, jika Anda berpikir bahwa suara itu hanyalah suara kucing, Anda pun akan tenang-tenang saja.
Pikiran yang berbeda akan menghasilkan sikap, perasaan, emosi, dan tindakan yang juga berbeda.
Nah, artikel ini ditujukan untuk meluruskan kembali pemahaman mengenai peran pikiran dalam kehidupan kita. Tidak disangkal pikiran memiliki peran yang teramat besar dalam kehidupan kita. Tetapi, ini bukan berarti hanya pemikiran positif saja yang membantu kita menghadapi masalah hidup. Menurut para pakar, pikiran negatif juga memiliki andil dalam membantu menyelesaikan permasalahan hidup kita.
Penasaran? Yuk, simak penjelasan selengkapnya berikut ini.
Sebelum membahas peran pikiran bagi kehidupan kita, terlebih dulu penulis akan mengulas bagaimana diri kita terbentuk sedemikian rupa sehingga menjadi seperti sekarang.
Untuk memulainya, mari jawab pertanyaan berikut: Siapa atau apa yang paling berpengaruh bagi diri Anda? Apakah orang-orang di sekitar Anda? Atau, pengalaman-pengalaman yang Anda lalui?
Hmmm, jika kita telusuri, setidaknya ada 4 faktor yang membentuk siapa diri kita. Apa sajakah 4 faktor itu? Mereka yaitu pengalaman, perasaan, emosi, dan sistem kepercayaan.
Perjalanan hidup manusia senantiasa penuh dengan pengalaman. Pengalaman muncul karena peristiwa. Ketika tak satu pun peristiwa terjadi, maka tidak akan ada pengalaman yang dapat dirasakan oleh manusia.
Tetapi, pernahkah di dunia ini peristiwa berhenti terjadi? Jawabannya, tidak! Selama waktu terus berjalan, maka peristiwa akan terus terjadi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama waktu terus berjalan, maka manusia akan terus melalui pengalaman-pengalaman hidup.
Pengalaman hidup bukan hanya meliputi peristiwa yang dialami, melainkan juga peristiwa yang dilihat dan didengar.
Saat kita menonton acara kuliner di televisi, itu artinya kita memiliki pengalaman mengenai cara memasak masakan tertentu, seperti yang diajarkan acara itu kepada kita. Saat kita mendengar atau membaca sebuah cerita detektif, maka kita memiliki pengalaman mengusut suatu kejahatan sesuai dengan yang diajarkan oleh buku tersebut kepada kita.
Peristiwa yang terjadi, yang menimpa atau dirasakan oleh manusia membuatnya merasakan suatu perasaan tertentu, memiliki emosi tertentu, berpikir, dan memiliki kesan tertentu terhadap peristiwa itu.
Sebagai contoh, Anda duduk di bawah pohon mangga. Saat Anda berduduk santai, tiba-tiba sebutir mangga jatuh tepat di kepala Anda. Karena PERISTIWA itu, kepala Anda pun TERASA sakit. Dan, karena sakit, muncul PIKIRAN di dalam benak Anda bahwa duduk di bawah pohon mangga merupakan ide yang buruk karena sewaktu-waktu mangga bisa jatuh dan mengenai kepala Anda. Akhirnya, karena pemikiran itu, Anda pun mencari tempat lain, yang lebih aman untuk berteduh.
Nah, mencari tempat lain merupakan salah satu bentuk TINDAKAN yang dilakukan sebagai reaksi terhadap peristiwa yang Anda alami (mangga jatuh).
Dalam perkembangannya, pemikiran-pemikiran yang muncul sebagai reaksi dalam menghadapi suatu peristiwa menjelma menjadi sistem kepercayaan.
Di sini, posisi sistem kepercayaan adalah sebagai induk dari berbagai pemikiran dan persepsi.
Sistem kepercayaan merupakan kesimpulan-kesimpulan hidup yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang kita alami, juga peristiwa-peristiwa yang dialami oleh nenek moyang kita.
Dalam perjalanan hidupnya, nenek moyang kita mengalami berbagai peristiwa yang membuat mereka menyimpulkan peristiwa-peristiwa itu dengan berbagai kesimpulan. Selanjutnya, kesimpulan-kesimpulan itu diajarkan kepada generasi berikutnya secara turun-temurun, hingga akhirnya menjadi kebudayaan.
Pada gilirannya, kebudayaan ini menjadi prinsip dan pegangan hidup. Sebagai prinsip dan pegangan hidup, ia (kebudayaan) mengontrol pemikiran, persepsi, dan tindakan-tindakan kita. Semua persepsi, pemikiran, perasaan dan tindakan kita senantiasa berdasarkan pada kebudayaan itu.
Saat populasi manusia semakin banyak, maka kebudayaan-kebudayaan yang tercipta dari sistem kepercayaan menjelma menjadi kepercayaan (agama), ideologi, filsafat, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.
Jadi, sistem kepercayaan (yang mengontrol pemikiran, persepsi, perasaan, dan tindakan manusia) memiliki berbagai wujud yang berbeda-beda. Ia bisa berwujud agama; Ia juga bisa berwujud ideologi; Ia pun bisa berwujud filsafat, pendidikan, ajaran moral, atau pun ilmu pengetahuan.
Apa pun wujudnya, yang pasti, sistem kepercayaan memiliki kuasa terhadap diri kita. Ia mengontrol kehidupan kita. Ia membentuk siapa diri kita.
Lantas, apa wujud kontrol sistem kepercayaan terhadap diri kita? Ia (sistem kepercayaan) menentukan pemikiran, persepsi, perasaan, dan tindakan kita. Saat kita percaya (memiliki sistem kepercayaan) bahwa keadilan itu penting, maka tindaan kita akan sesuai dengan kepercayaan itu. Kita akan berbuat adil, sebagaimana sistem kepercayaan mengajarkan kepada kita. Apabila orang lain berbuat tidak adil terhadap diri kita, maka akan muncul perasaan marah dan kecewa di dalam diri kita.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa siapa diri kita dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang kita alami, juga sistem kepercayaan yang kita anut.
Sebagaimana yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya, siapa diri kita ditentukan dan dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang kita alami, juga sistem kepercayaan yang kita anut.
Namun demikian, terkadang, sistem kepercayaan tidak ikut andil; Hanya pikiran-pikiran alami kita saja yang memengaruhi tindakan kita dalam menyikapi suatu kejadian.
Nah, dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik pikiran alami maupun sistem kepercayaan terkadang menuntun kita pada tindakan yang keliru atau destruktif.
Saat kita berada di bawah kendali pikiran alami kita, tindakan destruktif terjadi manakala kita memaknai peristiwa secara salah; Persepsi kita mengenai persitiwa tertentu tidak akurat. Demikian juga saat kita berada di bawah kendali sistem kepercayaan. Tindakan destruktif terjadi manakala sistem kepercayaan itu menuntun kita memaknai peristiwa itu secara salah atau tidak akurat.
Sebagai contoh, Anda sedang sendirian di rumah; Hari sudah sangat larut. Tetapi, Anda masih mengerjakan tugas kuliah. Tiba-tiba, terdengar suara gedoran pintu di luar.
Jika Anda berpikir suara itu suara orang yang mau menyelinap di rumah Anda, Anda pun akan mempersiapkan diri untuk melawan penyelinap itu. Tetapi, jika Anda berpikir bahwa suara itu hanyalah suara kucing, Anda pun akan tenang-tenang saja.
Bagaimana jadinya jika ternyata kegaduhan itu memang terjadi lantaran ada orang yang hendak menyelinap ke dalam rumah Anda? Jika Anda berpikir positif atau berbaik sangka bahwa suara itu adalah suara seekor kucing, maka Anda tidak tahu bahwa Anda sedang berada dalam bahaya.
Pada contoh di atas, menilai bahwa suara itu adalah suara seekor kucing adalah penilaian/ persepsi yang tidak akurat, yang menuntun kita pada tindakan destruktif (membiarkan diri kita dicelakai orang).
Contoh lainnya, saat Anda di kampus, seorang staf menegur Anda karena menurutnya, Anda melakukan suatu kesalahan. Jika Anda berpikir bahwa kesalahan memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda (Anda menerima begitu saja bahwa Anda salah, yang berarti Anda berpikir positif terhadap staf yang menganggap Anda salah), maka tidak ada alasan bagi Anda untuk mengelak. Tidak ada pilihan bagi Anda selain menerima hukuman darinya jika memang ia menjatuhkan hukuman kepada Anda.
Tetapi, jika menurut Anda kesalahan itu bukan sepenuhnya kesalahan Anda (Anda berpikir bahwa staf itu telah menuduh Anda, yang berarti Anda memiliki pikiran negatif tentang staf tersebut), maka Anda dapat mencari alasan untuk mengelak dari hukuman yag dijatuhkan kepada Anda.
Dalam dua contoh di atas, memandang pemikiran/ persepsi menurut kacamata negatif dan positif tidaklah membantu. Sebagai gantinya, kita bisa memandang persepsi-persepsi tersebut dalam kacamata akurat dan tidak akurat.
Menurut Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky, mempertimbangkan suatu pemikiran dari segi keakuratan lebih penting ketimbang sekadar mempertimbangkannya dari segi positif atau negatif.
Terkadang, pemikiran/ persepsi yang kita kira negatif dan destruktif justru merupakan pemikiran yang akurat. Sebaliknya, pemikiran/ persepsi yang kita kira positif dan konstruktif justru tidak akurat menurut konteks kejadian yang kita alami. Padahal, seringkali dalam menyikapi suatu peristiwa, pemikiran yang akurat sangat diperlukan, entah pemikiran itu terkesan negatif atau pun terkesan positif.
Dalam kasus penderita depresi, pemikiran positif mengenai orang lain seringkali justru membuat si penderita semakin depresi. Contohnya, ia mengira bahwa orang lain adalah orang yang pandai, penuh semangat hidup, memiliki banyak teman, dan sebagainya. Bukankah pemikiran-pemikiran itu tampak positif? Tetapi, bagi si penderita depresi, pemikiran-pemikiran seperti ini bisa membawa dampak negatif ketika ia membandingkan diri sendiri (yang dipandangnya secara negatif) dengan orang lain (yang dipandangnya secara positif).
Jadi, ada kalanya, kita perlu berpikir “negatif” dan adakalanya juga kita perlu berpikir “positif”. Semua tergantung pada konteks kejadian yang kita alami.
Yang perlu kita perhatikan, saat menghadapi suatu masalah, periksa masalah itu secara teliti. Jangan terlalu gegabah untuk menilai peristiwa itu secara positif atau pun secara negatif. Bagaimana pun juga, paling aman adalah berpikir secara akurat.
Memang, untuk memperoleh kesimpulan yang akurat dalam menyikapi suatu masalah bukanlah perkara yang mudah. Tetapi, percayalah bahwa terkadang ini jauh lebih membantu ketimbang hanya sekadar menilainya secara positif atau negatif (Meskipun terkadang pemikiran positif membantu kita).
Setuju, kan? Yuk, jangan ragu untuk memberikan komentar.
Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.
Session expired
Please log in again. The login page will open in a new tab. After logging in you can close it and return to this page.