Lakukan 4 Trik Ini agar Perjalanan Mencapai Gol Terasa Ringan & Menyenangkan

Shares

Setiap orang pasti punya gol dalam hidupnya. Entah kesuksesan karir, bisnis, financial freedom, menjalani passion, atau apa pun itu.

Dan saya yakin, Anda yang sedang membaca artikel ini juga punya gol-gol dalam hidup Anda.

Membayangkan bagaimana rasanya saat gol kita tercapai tentu sangat menyenangkan. Serasa seperti pendaki yang berhasil mencapai puncak setelah bersusah payah mendaki.

Tapi begitu ingat prosesnya, ingat perjuangannya, OMG…!!! Ada saat di mana semangat kita membara, namun yang seringkali terjadi adalah saat-saat yang tak tertanggungkan yang membuat kita ingin menyerah.

Namun bagaimana pun juga, saya yakin bahwa gol yang besar, gol yang berharga bagi kita, pasti memang sulit dicapai dan butuh perjuangan besar untuk mencapainya. Justru karena susah dicapai itulah, kita sangat menginginkannya, kita menganggap gol itu berharga dan layak diperjuangkan.

Setuju?

Lalu, bagaimana agar kita bisa bersabar menjalani proses mencapai gol? Bagaimana agar kita bisa tahan menjalani prosesnya dari awal sampai akhir, hingga gol itu tercapai? Bagaimana agar proses mencapai gol terasa lebih ringan dan menyenangkan?

 

Trik Membuat Proses lebih Ringan & Menyenangkan

 

Thomas Sterner dalam bukunya yang berjudul “The Practicing Mind: Developing Focus & Discipline in Your Life” mengatakan bahwa terlalu fokus pada hasil merupakan penyebab ketidaksabaran kita dalam menjalani proses. Kita ingin gol kita segera tercapai, seolah kalau belum tercapai kita belum bahagia.

Oleh karena itu, dia menyarankan kita untuk jangan terlalu berfokus pada gol/pada hasil dan lebih baik berfokus pada prosesnya. Nikmati prosesnya dan jadikan gol hanya sebagai pedoman agar kita tidak menyimpang arah.

Tapi bagaimana agar bisa menikmati proses perjalanan mencapai gol/tujuan kita?

Berikut ini nasihat Thomas Sterner untuk kita:

  1. Membagi proses menjadi beberapa proses sederhana sehingga mudah dilakukan.
  2. Lakukan proses-proses sederhana itu selangkah demi selangkah.
  3. Lakukan dengan pelan-pelan karena tergesa-gesa hanya membuat kita stres.
  4. Lakukan Teknik “Do, Observe, Correct” alias “Lakukan, Observasi, Perbaiki.”

 

Nasihat ini tampak klise dan tidak menjawab persoalan. Namun pengalaman saya menunjukkan bahwa nasihat ini “works” alias bisa membantu saya menjalani proses lebih ringan.

 

Pelajaran dari Mendaki Gunung

 

Di tahun 2016, saya dan tim Aquarius Learning lainnya mendaki gunung Gede yang terletak di Jawa Barat.

Gunung Gede merupakan gunung api dengan ketinggian 2.958 m. Perjalanan sampai ke puncaknya membutuhkan waktu kurang lebih 10 jam. Itu untuk perjalanan normal. Bagi yang masih pemula tentu bisa lebih. Belum lagi medannya yang, kata para pendaki senior lumayan terjal. Dan di saat itu, saya baru pertama kali mendaki gunung setelah 8 tahun.

Bisa dibayangkan, bukan, bagaimana perjuangan yang harus saya hadapi untuk sampai ke puncak?

Baru 5 langkah menanjak rasanya napas sudah sesak dan mual. Hawanya ingin menyerah saja. Tapi karena waktu itu saya berpikir ini kesempatan langka yang belum tentu bisa ada lagi, sayang kalau disia-siakan. Makanya, saya paksakan diri untuk tetap lanjut.

Di perjalanan, dada masih juga sesak, napas terengah-engah, dan kaki mulai sakit. Kondisi ini menimbulkan keraguan dalam diri, apa lebih baik menyerah saja atau tetap lanjut.

Berbagai pertanyaan pun timbul dalam hati saya:

“Akankah saya bisa sampai puncak?”

“Atau, saya akan dievakuasi karena tak kuat dengan medannya?”

“Kalau pun kuat, sampai puncak jam berapa?”

“Bagaimana kalau sampai puncak malam dan saya bertemu binatang buas?”

(sekadar informasi, gunung Gede merupakan habitat macam kumbang alias Panthera Pardus Melas).

Pokoknya, muncul banyak pikiran negatif yang menciutkan nyali dan membuat saya semakin tidak sabar ingin segera mencapai hasilnya, yakni mencapai puncak.

Beruntung saya berjalan bersama 2 tim biro pendakian yang kami sewa. Dua orang itu tampaknya sudah cukup berpengalaman dalam mendaki gunung.

Singkat cerita, melihat saya berjalan pelan dan lesu, mereka kemudian bertanya bagaimana kondisi saya. Saya pun menjawab bahwa napas saya sesak dan mual. Rasanya ingin muntah.

Lalu mereka mengajari saya bagaimana cara mengatur napas agar lebih nyaman dan tidak mual. Kata mereka saat menarik napas, lebih baik menutup mulut dan saat mengembuskan napas, barulah mulut dibuka.

Mereka juga mengajari saya bagaimana mengatur langkah agar tidak mudah lelah. “Mending langkahnya kecil-kecil aja dan jalan pelan-pelan,” begitu kata mereka.

Sebelumnya, saya berjalan dengan langkah yang lebar. Rupanya, itulah yang membuat saya menjadi mudah lelah.

Saya pun melakukan apa yang mereka sarankan dan ternyata cukup membantu.

Namun, ketidaksabaran masih menguasai diri saya. Saya ingin cepat sampai tujuan karena hari sudah mulai gelap. Berkali-kali saya bertanya kepada mereka berapa jam lagi sampai tujuan. Dan mereka hanya menjawab, “Jalani saja, jangan pikirkan puncak terus. Itu yang bikin kamu ga bisa menikmati perjalanan.”

Dengan jawaban seperti itu, saya pun berusaha untuk mengalihkan perhatian saya dari puncak ke perjalanan.

Dengan mengatur napas, mengatur langkah kaki, dan berusaha menikmati perjalanan, akhirnya perjalanan terasa lebih ringan dan menyenangkan. Rasa lelah tentu tetap ada. Tapi rasanya tidak seberat dan semenyiksa sebelumnya.

 

Nah dari perjalanan itu, pelajaran berharga yang bisa saya ambil adalah:

  1. Saya harus berfokus pada proses dan tidak memikirkan “hasil” terus-menerus. Karena memikirkan “hasil” hanya membuat saya tidak sabar.
  2. Saya juga harus mengobservasi proses yang saya jalani, sudahkah saya bernapas dengan benar, sudahkah saya melangkah dengan cara yang nyaman? Intinya, sudahkah teknik mendaki saya tepat?
  3. Jika setelah observasi ternyata saya menemukan bahwa teknik saya salah, maka saya harus menggantinya dengan teknik yang tepat.

Seringkali yang membuat proses menjadi berat dan sulit adalah karena kita tidak tahu bagaimana teknik yang tepat untuk melakukannya. Begitu kita tahu teknik yang tepat dan menerapkan teknik tersebut, kesulitan pun lenyap dan proses menjadi terasa ringan.

 

Sekarang Giliran Anda…

 

Merenungkan apa yang terjadi selama perjalanan di gunung Gede mengingatkan saya pada nasihat Thomas Sterner. Pendakian di gunung itu memberikan pelajaran yang mirip dengan apa yang Thomas Sterner ajarkan, yakni:

  1. Stop memikirkan “hasil” dan fokus pada proses (tanamkan mindset Process-Oriented).
  2. Lakukan teknik “Do, Observe, Correct” alias “Jalani, Observasi & Koreksi/Perbaiki”.

 

Dan inilah trik yang ingin saya share kepada Anda yang membaca artikel ini. Di samping trik-trik di atas, jangan lupa juga untuk melakukan trik-trik ini:

 

  1. Membagi proses menjadi beberapa proses sederhana dan menjalaninya satu per satu.

Proses yang rumit tentu lebih sulit dilakukan daripada proses yang sederhana. Proses yang rumit juga mengintimidasi kita, membuat kita tidak percaya diri melakukannya.

 

  1. Jalani proses pelan-pelan, karena tergesa-gesa membuat kita stres dan tidak bisa menikmatinya.

Nah, jika 4 trik di atas berhasil untuk saya, saya yakin trik-trik itu pun “works” untuk Anda. So, sekarang giliran Anda untuk mencobanya.

Selamat mencoba, semoga berhasil.

About the Author Agus Setiawan

Agus Setiawan, seorang pembelajar yang sangat menyenangi dunia pengembangan diri khususnya dunia pikiran. Hasratnya untuk membantu banyak orang membawanya mendalami berbagai pengetahuan tentang pengembangan diri dan hipnoterapi. Ia menjadi hipnoterapis yang direkomendasikan oleh Adi W Gunawan Institute. Dalam prosesnya Pria kelahiran 1982 ini juga menemukan Sistem Bacakilat yang menggunakan pikiran sadar dan bawah sadar untuk meningkatkan keefektifan dalam membaca buku yang sudah dibawakan ke berbagai kota mulai tahun 2009. Dorongan untuk membantu lebih banyak orang lagi membuatnya mendirikan Aquarius Resources yang berperan untuk memberikan Re-Edukasi terbaik kepada setiap orang yang ingin menempuh kesuksesan dalam kehidupannya.

follow me on:
>