Sebagai seorang wirausahawan, Anda membawahi sejumlah karyawan yang bekerja di perusahaan Anda. Nah, apa kendala yang Anda hadapi terkait dengan organisasi perusahaan Anda?

Wah, tim saya kurang solid. Mereka sukar diajak bekerja sama. Inisiatif juga kurang,” begitu jawab Anda.

Apa kira-kira yang membuat mereka seperti itu?

Mereka suka ngeluh dan menyalahkan satu sama lain kalau ada masalah.”

Ooo, begitu?

Memang, budaya mengeluh dan saling menyalahkan merupakan budaya yang saaaangat destruktif. Budaya ini menghambat kreativitas dan inisiatif orang.

Saat mengeluh, orang jadi lebih berfokus pada hambatan. Dan, karena saking fokusnya pada hambatan, ia tidak bisa melihat peluang di depan matanya. Hal itu, pada gilirannya, membuatnya patah arang. Bagaimana ia bisa memecahkan masalah jika yang dilihat di depan matanya hanyalah hambatan? Begitu kira-kira penjelasannya.

Budaya Suka Mengeluh dan Penyebabnya

Akar dari kebudayaan suka mengeluh, menurut banyak orang yaitu ketidakmandirian emosional, di mana ketidakmandirian itu mendorong mereka menaruh tanggung jawab di pundak orang lain, bukan pada diri sendiri. Jadi, saat mereka melakukan kesalahan, mereka menuding orang lain sebagai pihak penanggung jawab, bukan menunjuk diri mereka sendiri.

Selain itu, ada juga yang mengatakan budaya itu berakar dari sifat kepengecutan.

Tetapi, benarkah demikian yang terjadi? Benarkah orang suka mengeluh dan menyalahkan pihak lain lantaran memiliki sifat pengecut?

Dalam sebuah artikel yang termuat di situs psychologytoday.com, Steven Stosny, pakar psikologi yang mengajar di Universitas Maryland, menjelaskan bahwa mengeluh, menyalahkan orang lain, dan memposisikan diri sebagai korban merupakan bentuk pertahanan diri. Seseorang mengeluh, menyalahkan pihak lain, dan mengasihani diri sendiri agar dapat diterima oleh lingkungan dan untuk menghindari hukuman.

Menyalahkan orang lain dan memposisikan diri sebagai victim merupakan upaya untuk menutupi kesalahan. Kita takut kalau-kalau orang lain kecewa, marah, menghukum, dan mengucilkan kita manakala mereka tahu kita berbuat salah. Maka dari itu, kita menuding pihak lain sebagai biang kerok kesalahan kita.

Bagaimana dengan Karyawan Anda?

Jika benar tujuan orang mengeluh adalah agar terhidar dari penolakan dan hukuman, lantas apakah itu artinya karyawan Anda gemar mengeluh dan menyalahkan orang lain sebagai upaya untuk menghindar dari hukuman dan penolakan?

Yup! Itu jawabannya. Karyawan Anda mengeluh, menyalahkan orang lain, dan gemar memposisikan diri sendiri sebagai victim lantaran takut kalau-kalau Anda marah dan kecewa manakala Anda tahu ia berbuat salah. Jadi, problemnya adalah probelm penolakan. Mereka takut ditolak kalau-kalau orang lain tahu mereka berbuat salah.

Perfeksionisme, Takut Salah, dan Produktivitas Kerja Karyawan

Nah, sekarang, apa yang membuat mereka takut berbuat salah?

Jawabannya, karena budaya perfeksionisme yang berlaku di perusahaan Anda.

Lho, bukannya budaya perfeksionis itu bagus? Karyawan jadi lebih tekun kerja dan lebih berhati-hati?”

Sekilas, tampak tak masuk akal mengkritik budaya perfeksionisme yang diterpakan di dalam perusahaan. Karena, setiap orang tahu bahwa perfeksionisme membawa dampak yang baik bagi kemajuan perusahaan. Menerapkan standar kesempurnaan yang tinggi mendorong karyawan untuk lebih giat mencapai tujuan.

produktivitas kerja karyawanan

Yup, memang benar, di satu sisi, perfeksionisme memotivasi karyawan untuk lebih giat bekerja. Tetapi, di sisi lain, ia dapat membawa dampak buruk bagi perusahaan Anda.

Apa dampak buruk itu?

Menurunnya produktivitas!

Mengapa bisa demikian?

Secara tak sadar, perfeksionisme membuat karyawan Anda takut untuk berbuat salah. Nah, rasa takut berbuat salah itu mendorong mereka untuk mencari kambing hitam atas kesalahan yang mereka perbuat. Selain itu, rasa takut berbuat salah mendorong mereka untuk memposisikan diri mereka sebagai korban agar dapat dimaklumi kesalahannya.

Begitu kira-kira penjelasannya.

Masa, sih? Saya masih ragu.”

Okelah kalau begitu, untuk meyakinkan Anda, mari simak dua ilustrasi berikut ini.

Ilustrasi pertama:

Bayangkan Anda menerapkan budaya perfeksionisme dalam perusaahaan Anda. Anda menetapkan standar pencapaian yang sempurna. Jika karyawan mampu mencapai yang terbaik, Anda siapkan penghargaan untuk mereka. Sebaliknya, jika mereka gagal atau berbuat salah, maka posisi mereka terancam.

Dengan budaya seperti itu, karyawan terpacu untuk bekerja keras, tekun, dan jauh lebih hati-hati. Tujuannya, untuk menghindari kesalahan dan kegagalan.

Tetapi, sekali mereka menjumpai masalah, apa yang terjadi? Yang terjadi, mereka mencari kambing hitam dan pembenaran. Dengan begitu, mereka dapat menutupi kesalahan mereka. Mereka dapat menyembunyikan kesalahan yang menimbulkan masalah.

Lalu, kalau sudah begitu? Kalau sudah begitu, kesalahan tersembunyi rapat. Tak ada yang tahu bagaimana awal mulanya hingga timbul masalah itu. Dan, jika sudah begitu, maka masalah tak teratasi. Bagaimana ia teratasi jika tak ada yang tahu penyebab masalah itu?

Yang Anda tahu, tahu-tahu masalah itu semakin rumit dan parah.

Nah, sebagaimana ilustrasi di atas, budaya perfeksionisme hanya membawa sedikit dampak positif bagi perusahaan. Karyawan terpacu bekerja lebih giat dan lebih berhati-hati untuk menghindari kesalahan. Tetapi, sekali berbuat salah, mereka akan mengacaukan semuanya. Alih-alih meningkatkan produktivitas kerja karyawan, perfeksionisme justru menurunkan produktivitas mereka.

Sekarang, coba Anda simak ilustrasi kedua, ketika Anda TIDAK menerapkan budaya perfeksionisme dalam perusahaan Anda, ketika Anda memberi kesempatan kepada karyawan Anda untuk berbuat salah dan belajar dari kesalahan.

Ilustrasi kedua:

Bayangkan Anda TIDAK menerapkan budaya perfeksionisme di perusahaan Anda. Sebaliknya, Anda memberi kesempatan kepada karyawan Anda untuk berbuat salah dan memperbaikinya.

Bayangkan, apa yang akan terjadi?

Mereka akan bekerja dengan tenang, emosi stabil, dan terhindar dari rasa tertekan, meskipun mungkin motivasi kerja mereka biasa saja. Yang terpenting, ketika melakukan kesalahan, mereka berani mengakuinya.

Itu yang terpenting.

Mengapa?

Dengan begitu, Anda tahu telah terjadi kesalahan dalam sistem Anda. Kesalahan itu bisa saja memengaruhi keseluruhan aspek di perusahaan Anda.

Nah, dengan mengetahui adanya kesalahan atau masalah, maka Anda pun dapat dengan segera memperbaiki kesalahan itu atau menyelesaikan masalah yang ada. Dengan karyawan mengakui kesahalannya, Anda tahu penyebab masalah yang timbul di dalam perusaahaan Anda (yang tak lain adalah kesalahan karyawan Anda). Dengan begitu, Anda tahu bagaimana menyelesaikan masalah itu. Anda dapat mengarahkan karyawan Anda untuk menyelesaikan masalah itu, untuk memperbaiki kesalahannya.

Dari ilsurtasi di atas, Anda tahu, bukan, bahwa menyetop budaya perfeksionisme membawa dampak positif jangka panjang bagi perusahaan Anda. Meskipun motivasi kerja karyawan tampak biasa saja, tetapi yang terpenting mereka tahu apa yang harus mereka lakukan ketika terjadi masalah atau mereka melakukan kesalahan. Dan, ketika mereka tahu apa yang harus mereka lakukan manakala mereka melakukan kesalahan atau menjumpai masalah, itu artinya kerja mereka produktif.

Jadi, sekali lagi, untuk melejitkan produktivitas kerja karyawan, Anda perlu merubah budaya di perusahaan Anda. Stop perfeksionisme. Beri kesempatan kepada karyawan untuk melakukan kesalahan dan memperbaikinya.

Baca juga:

Bagaimana Seorang Bos Membangun Kepercayaan dalam Organisasi Perusahaannya?

Penyebab Seseorang Menjadi Workaholik

Anda Seorang Workaholik? Yuk, Cari Tahu Kunci Sukses Mengatasinya

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>