Membongkar Mitos Limitless Choices: Sudahkah Anda Berkomitmen? (Bagian 2)
Pada artikel sebelumnya, yakni Membongkar Mitos Limitless Choices: Sudahkah Anda Berkomitmen? (Bagian 1), penulis telah menjelaskan apa itu mitos limitless choices, apa pengaruhnya bagi Anda, serta mengapa Anda mempercayai mitos tersebut.
Dari penjelasan itu, kita mendapat kesimpulan yaitu mitos limitless choices memengaruhi bagaimana Anda memandang masa depan. Pengaruh ini tidak Anda sadari. Yang Anda tahu, Anda menemui kebingungan dalam memutuskan jalan hidup Anda. Anda bingung menentukan masa depan Anda karena Anda melihat ada terlalu banyak pilihan yang menarik bagi Anda. Anda ingin membangun bisnis; Anda ingin menjadi musisi; Anda ingin belajar memahat; Anda ingin bisa mendesain rumah Anda sendiri. Anda ingin menjadi semua yang Anda inginkan!
Selain itu, Anda juga urung memilih masa depan Anda karena Anda takut. Yup! Anda takut gagal, takut mengemban tanggung jawab, takut memilih jalan hidup yang salah, dan takut kehilangan pilihan lainnya. Memilih satu pilihan berarti kehilangan pilihan lainnya. “Memilih menjadi musisi berarti kehilangan kesempatan menjadi pemahat, arsitek, dan entrepreneur,” begitu pikir Anda.
Jadi, dengan tidak memilih/berkomitmen pada satu pilihan, Anda menciptakan kesan seolah-olah Anda masih memiliki kesempatan yang tak terbatas untuk menjadi apa pun yang Anda inginkan.
Nah, dalam artikel ini, penulis akan mengajak Anda untuk membongkar mitos limitless choices sedemikian sehingga Anda mengetahui poin-poin ketidak-tepatan mitos tersebut. Dengan begitu, Anda pun terdorong untuk menanggalkan mitos itu dan beralih untuk mempercayai bahwa pilihan hidup Anda sangatlah terbatas.
Mempercayai bahwa pilihan hidup itu terbatas akan turut memudahkan Anda menentukan satu pilihan (berkomitmen) dan mengesampingkan pilihan lainnya. Sebuah penelitian tentang making decision (membuat keputusan) yang dilakukan oleh Barry Schwartz, seorang ilmuan sosial, menyimpulkan bahwa jumlah pilihan turut memengaruhi kemampuan seseorang untuk membuat keputusan. Semakin banyak pilihan, maka semakin sulit bagi kita untuk menentukan keputusan. Sebaliknya, semakin sedikit pilihan, maka semakin mudah bagi kita untuk menentukan keputusan. (http://science.howstuffworks.com/life/choose-options.htm)
Mengapa demikian? Karena setiap pilihan mengandung informasi yang berbeda dari pilihan lainnya. Sebagai contoh, di sebuah supermarket, terdapat 3 buah produk sabun dengan merek yang berbeda. Masing-masing produk itu menawarkan manfaat yang berbeda-beda. Produk A menawarkan kelembutan, sensasi segar, dan wangi di kulit; Produk B menawarkan peremajaan kulit, kulit lebih putih, dan terbebas dari kuman. Sementara itu, produk C menawarkan perlindungan dari kuman, perlindungan dari sinar matahari, dan kehalusan kulit.
Nah, dari ketiga produk itu saja, kita mendapatkan setidaknya 9 informasi mengenai manfaat produk yang berbeda-beda. Belum lagi informasi mengenai harga, volume, produsen, tanggal kadaluarsa, dst.
Membuat keputusan (making decision) dilakukan dengan membandingkan informasi-informasi tersebut. Informasi (mengenai manfaat, harga, volume, produsen, tanggal kadaluarsa) yang terdapat pada produk A dibandingkan dengan informasi yang terkandung pada produk B dan C. Dan, pilihan dijatuhkan pada produk yang paling memuaskan kita.
Dengan hanya 3 produk saja, kita membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang produk mana yang paling memuaskan kita. Lantas, bagaimana jadinya jika terdapat 20 produk sabun? Bisakah kita menjatuhkan pilihan? Mampukah kita menentukan produk yang paling memuaskan kita? Yang terjadi justru sebaliknya, kita terjerumus dalam kebimbangan. Bahkan, kita bisa menghabiskan waktu hingga satu jam hanya untuk membandingkan dan memilih sabun!
Memilih jalan hidup sama seperti memilih sabun. Saat pilihan hidup terbatas, maka kita lebih mudah membandingkan pilihan-pilihan itu dan menjatuhkan pilihan pada yang paling memuaskan kita. Sebaliknya, saat pilihan hidup tidak terbatas, maka kita membutuhkan baaaaanyak waktu untuk membandingkan pilihan-pilihan itu.
Akhirnya, kita justru terjerumus dalam kebimbangan memilih jalan hidup. Kita melihat jalan hidup A lebih mudah dijalani, tetapi tidak terlalu memuaskan. Sementara itu, jalan hidup B penur risiko tetapi memuaskan. Jalan hidup C sesuai dengan pilihan orangtua dan lebih menjanjikan. Belum lagi jalan hidup D, E, F dan seterusnya. Nah, lo, mau pilih yang mana?
Sekarang, yuk kita bongkar mitos limitless choices lebih mendalam.
Anda Bukan Lagi bak Kertas Kosong
Manusia memang terlahir bak kertas kosong yang mampu diisi dengan berbagai warna yang berbeda-beda. Kepercayaan, pola pikir, nilai, dan kecerdasannya, semua bukanlah diperoleh secara cuma-cuma dari sononya. Sebaliknya, semua itu didapatkannya dari pembelajaran selama hidup.
Jadi, yang membentuknya bukanlah gen dalam dirinya (gen hanya sedikit berpengaruh), melainkan lingkungan di mana ia berada. Apabila orangtua mengajarkan A kepadanya, maka ia pun akan mempercayai A, sebagaimana orangtuanya mengajarinya. Apabila orangtua mengajarkan B, maka ia pun mempercayai ajaran B. Begitu seterusnya.
Kenyataan bahwa manusia lahir bak kertas kosong memberikan pemahaman kepada kita bahwa kita dapat menjadi apa pun yang kita inginkan. Fisik tidak menjadi batas yang menghalangi gerak kita. Kita mampu membentuk siapa diri kita sesuai keinginan kita. Singkatnya, kenyataan itu tampak sesuai dengan mitos limitless choices.
Kesalahpahaman
Namun demikian, kenyataan di atas sering disalahpahami. Lantas, bagaimana bentuk kesalahpahaman itu? Bentuk kesalahpahaman itu yaitu kita mengira bahwa sekarang, saat sudah dewasa, kita masih seperti kertas yang kosong; Kita masih memiliki kesempatan yang sama untuk membentuk siapa diri kita.
Padahal, kita sudah tidak lagi menjadi bak kertas kosong. Waktu telah membentuk siapa diri kita. Pendidikan yang kita lalui dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi telah membentuk karakter, minat, dan bakat kita. Di satu sisi, pendidikan itu telah menanamkan dan menguatkan kepercayaan (beliefs), mindset, keterampilan (skill), dan bakat tertentu. Di sisi lain, pendidikan itu telah melemahkan kepercayaan, mindset, keterampilan, dan bakat lainnya.
Dengan diri kita yang sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga seperti sekarang, tentu sangat sulit (bagi kita) untuk mengubahnya menjadi diri kita yang lain. Sistem kepercayaan, mindset, minat, bakat, karakter, dan skill yang sudah tertancap di dalam bawah sadar kita akan sulit digantikan dengan sistem kepercayaan, mindset, minat, bakat, karakter, dan skill yang lain.
Tentu ada cara-cara untuk menggantikan semua itu. Tetapi, itu membutuhkan waktu. Dan, inilah yang menjadi masalahnya. Kita memang masih bisa mengubah siapa diri kita sekarang, tetapi kesempatan untuk berubah semakin hari semakin berkurang. Mengapa? Karena semakin hari, semakin senja usia kita.
Tidak mungkin kita terus berada dalam keadaan yang tidak stabil; Sekarang memutuskan untuk menjadi A, lantas beberapa bulan kemudian memutuskan untuk menjadi B; Sekarang memutuskan untuk menekuni dunia musik, tetapi satu tahun kemudian memutuskan untuk menggeluti dunia politik. Akibatnya, kita kehilangan kesempatan untuk mendalami satu pilihan hidup. Yup! Kita kehilangan kesempatan untuk fokus dan mendalami satu saja cita-cita yang ingin kita gapai. Mengapa? Karena kesempatan yang ada justru kita gunakan untuk mencoba berbagai macam pilihan hidup.
Ini ibarat saat kita duduk di bangku SMP. Di bangku SMP, kita belajar banyak hal, mulai dari matematika hingga sejarah. Kita mendapatkan banyak pengetahuan. Tetapi masalahnya, apakah pengetahuan itu mendalam? Jawabannya, tentu saja tidak!
Berbeda halnya dengan saat kita duduk di bangku kuliah. Di bangku kuliah, kita memfokuskan diri pada hanya satu bidang, musik misalnya. Meskipun kita miskin pengetahuan tentang politik, filsafat, geografi, kimia, matematika, biologi, dan sebagainya, tetapi kita kaya pengetahuan tentang musik. Ini karena kita mempelajari musik secara mendalam. Kita mendedikasikan waktu yang ada untuk mendalaminya. Kabar baiknya, dengan begitu, kita mampu menjadi ahli dalam bidang musik.
Memilih satu jalan hidup dan berkomitmen terhadapnya sama seperti belajar di peruguran tinggi. Kita hanya mendalami satu bidang dan mengesampingkan bidang lainnya. Kerugiannya, kita miskin pengetahuan tentang bidang lain. Kita miskin keterampilan dalam bidang lain. Tetapi, keuntungannya, kita bisa menjadi ahli dalam bidang yang kita tekuni. Selain itu, kita bisa memajukan diri kita. Kita bisa mendedikasikan hidup untuk bidang yang kita tekuni. Ini jauh lebih memuaskan dan membahagiakan diri kita daripada kita menghabiskan waktu untuk mencoba-coba berbagai bidang kehidupan.
Mengapa limitless choices hanya mitos?
Setelah menyimak penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa saat sudah dewasa, kita bukan lagi ibarat kertas yang kosong. Waktu telah membentuk kita sedemikian sehingga seperti sekarang. Dan, oleh karena itu, kita tidak bisa dengan gampangnya mengubah siapa diri kita. Dibutuhkan waktu untuk mengubah diri kita, untuk membentuk diri kita menjadi diri yang lain.
Dengan kesimpulan itu, kita tahu bahwa kita harus segera memutuskan jalan hidup kita dan berkomitmen terhadap jalan hidup itu. Atau, jika tidak, kita akan terdorong untuk terus mencoba-coba berbagai macam kehidupan.
Nah, akan tetapi, mitos limitless choices mendorong kita mengurungkan niat untuk memutuskan satu jalan hidup dan berkomitmen terhadapnya. Mitos limitless choices membuat seolah-olah kita masih memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar semua cita-cita kita.
Mitos limitless choices merupakan bentuk kekeliruan dalam memahami bahwa saat terlahir ke dunia, kita seperti kertas kosong, yang dapat dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang kita mau.
Menurut orang yang menganut mitos ini, kita masih memiliki kesempatan yang sama dengan kesempatan kita saat masih kecil untuk mengejar semua cita-cita kita.
Padahal, kenyataanya, saat sudah dewasa, kesempatan kita untuk menjadi apa pun yang kita mau telah berkurang. Kita memiliki keterbatasan waktu untuk menjadi apa yang kita inginkan. Jika kita menggunakan waktu yang terbatas itu hanya untuk mencoba-coba berbagai macam jalan hidup, maka waktu yang kita miliki niscaya habis sebelum kita menemukan jalan hidup yang paling cocok bagi kita.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita tahu bahwa limitless choice menjadi mitos manakala limitless choices dibenturkan pada peluang/kesempatan untuk menentukan pilihan. Limitless choices menjadi mitos karena pada kenyataannya, sekalipun pilihan kita tidak terbatas, tetapi kesempatan untuk menentukan pilihan itu terbatas. Kita harus segera menentukan pilihan kita dan berkomitmen terhadapnya. Jika tidak, waktu kita hanya terbuang untuk mencoba-coba.
Anda tahu, mengapa para ilmuan modern menanggalkan metode trial and error dan menggantinya dengan metode ilmiah? Karena metode trial dan error hanya menghabiskan waktu. Sementara itu, metode ilmiah lebih mempersingkat waktu. Dengan metode ilmiah, kita tidak perlu mencoba semua kemungkinan. Kita hanya perlu mencoba beberapa kemungkinan yang potensial.
Mitos limitless choices mendorong kita untuk melakukan trial dan error, mencoba semua kemungkinan yang ada (baik yang potensial maupun yang tidak potensial). Sementara itu, dengan mempercayai bahwa kemungkinan/pilihan itu terbatas, kita terdorong untuk menanggalkan metode trial dan error. Sebaliknya, kita hanya mencoba beberapa kemungkinan yang potensial bagi kita dan mengesampingkan kemungkinan yang tidak potensial.
Dan, cara di atas dilakukan dengan memutuskan satu jalan hidup yang sesuai dengan karakter kita, sesuai dengan minat, bakat, skill, dan pengetahuan kita, serta berkomitmen terhadap jalan hidup tersebut.
Jadi, sekarang, sudahkah Anda berkomitmen?