Mengapa Bersembunyi di Balik Alasan?

Shares

Benner-1.png

Suatu hari, si A mendapatkan nilai E untuk materi pelajaran yang dia ikuti. Menanggapi hal itu, berikut ini komentarnya:

Ah, wajar, lah, kalau saya dapat E. Orang saya ga belajar. Kalau saya belajar, pasti dapat nilai A.”

Demikian komentar si A mengenai nilainya.

Nah, ilustrasi di atas menggambarkan si A, sebagai orang yang suka bersembunyi di balik alasan. Dengan sikapnya itu, ia memaklumi dirinya sendiri yang mendapatkan nilai rendah.

Lantas, apa permaklumannya? Permaklumannya yaitu bahwa ia tidak belajar menjelang ujian.

Sebagaimana ilustrasi di atas, seringkali, saat mengalami kegagalan, kita, secara tidak sadar, bersembunyi di balik alasan dan permakluman. Kita sering mencari alasan yang memaklumkan/memaafkan ketidakmampuan kita.

“Aku belum siap. Jadi, mohon dimaklumi kalau ketinggalan jauh.”

Gara-gara dosen killer, nih. Pelit kasih nilai. Nilaiku jadi jelek, deh.”

“Ah, ga heran kalau dia dapat IP tinggi. Belajarnya aja rajin banget. Saya juga bisa dapat IP tinggi kalau saya sedikit lebih rajin daripada sekarang.”

Sekarang pertanyaannya, mengapa kita bertindak demikian? Mengapa kita gemar bersembunyi di balik alasan dan permakluman? Apa dampak sikap tersebut bagi diri kita?

Nah, dalam artikel ini, kita akan urai mengapa kita gemar bersembunyi di balik alasan dan permakluman. Selain itu, kita akan mengungkap dampaknya bagi diri kita sendiri.

Untuk itu, terus simak artikel ini hingga akhir.

Mengapa bersembunyi di balik alasan dan permakluman?

Mengapa kita gemar mencari alasan, pembenaran, dan permakluman atas kegagalan kita? Jawabannya, karena kita takut menghadapi kegagalan. Kita takut orang lain mengetahui bahwa kita gagal. Lebih dari itu, kita takut jujur pada diri sendiri bahwa kita gagal.

Lantas, mengapa kita takut menghadapi kegagalan? Karena, kegagalan merupakan bukti bahwa kita tidak mampu. Keyakinan seperti ini terutama dimiliki oleh orang-orang yang perfeksionis. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan, orang yang tidak perfeksionis pun memiliki ketakutan yang sama terhadap kegagalan. Ini dikarenakan, kegagalan menurunkan image kita di mata orang lain.

Turunnya image di mata orang lain tentu merupakan hal yang memalukan, bukan? Nah, itulah mengapa, kita takut terhadap kegagalan.

Jadi, kita takut gagal lantaran kegagalan merupakan bukti bahwa kita tidak mampu, di mana ketidakmampuan itu membuat kita malu.

Bagaimana alasan digunakan?

Sekarang pertanyaannya, bagaimana pembenaran, alasan, dan permakluman digunakan untuk menutupi rasa malu terhadap kegagalan?

Ada tiga bentuk alasan dan permakluman yang kita gunakan untuk menutupi rasa takut dan malu.

Tindakan yang menghambat

Bentuk yang pertama yaitu kita menghambat diri kita sendiri untuk maju/berhasil. Contohnya, kita malas belajar, menunda-nunda pekerjaan, mengonsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang.

Kita bermalas-malasan karena, dengan bermalas-malasan, kita tidak perlu menanggung malu apabila nilai pelajaran kita rendah.

Di antara dua hal berikut ini, kira-kira, mana yang jauh lebih memalukan?

Mendapatkan nilai C, padahal sudah belajar?

Atau,

Mendapatkan nilai C karena tidak belajar?

Penulis yakin, yang pertama jauh lebih memalukan, bukan?

Nah, demikianlah ilustrasinya.

Dengan kemalasan, obat-obatan terlarang, dan minuman beralkohol, saat mengalami kegagalan, kita pun dapat menjadikan kesemua itu sebagai alasan kegagalan kita.

Kita dapat berkata, “Harap maklum kalau saya dapat nilai jelek. Soalnya, saya belum belajar.” Atau, “Saya gagal jadi insinyur gara-gara dulu saya jarang belajar. Waktu sehari-hari malah saya habiskan cuma buat nge-drug.”

Pada gilirannya, dengan alasan-alasan itu, kita dapat menutupi ketidakmampuan kita. Dengan begitu, image kita sebagai “orang yang cerdas” tetap utuh.

Kelemahan dan kelebihan

Jika bentuk permakluman yang pertama adalah menghambat diri kita sendiri untuk maju/berhasil, sebagaimana dijelaskan di atas, maka bentuk permakluman yang kedua yaitu menghibur diri kita sendiri dengan kelemahan atau kelebihan kita.

Sebagai contoh, saat ini, Anda memasuki semester ke-6 di perguruan tinggi. Singkat cerita, Anda baru saja menerima nilai IP. Di situ, tertera bahwa nilai Anda sangat rendah.

Mengetahui nilai Anda rendah, Anda pun lantas menghibur diri Anda, “Tidak masalah sekarang dapat nilai jelek. Yang penting, dulu pernah dapat nilai bagus. Itu membuktikan kalau saya sebenarnya tidak bodoh. Hanya, mungkin sekarang saya sibuk, jadi tidak ada waktu untuk belajar.”

Dalam contoh di atas, Anda menggunakan kelebihan/keberhasilan Anda di masa lalu untuk menutupi rasa malu Anda.

Nah, sekarang, dalam contoh berikut ini, Anda menggunakan kekurangan Anda untuk menutupi rasa malu Anda.

Wah, kalau seperti ini soalnya, hanya Albert Einstein doang yang bisa jawab. Ini susah bangeeeet!”

Wajar, sih, kalau speaking saya tidak lancar. Saya, kan, memang tidak cakap berkomunikasi. Komunikasi pakai bahasa Indonesia saja masih suka belepotan.”

Demikianlah cara kita bersembunyi di balik alasan dan permakluman. Sekarang, saatnya kita urai dampak sikap itu (bersembunyi di balik alasan) bagi diri kita sendiri.

Menyalahkan pihak lain

Bentuk yang ketiga yaitu menyalahkan pihak lain atas kegagalan kita. sebagai contoh, “Gara-gara dosen killer. Pelit kasih nilai. Jelek, deh, jadinya nilai saya.

Dalam contoh di atas, sang dosen dijadikan biang kerok kegagalan. Nah, dengan pengkambing-hitaman ini, Anda dapat menyembunyikan ketidakmampuan Anda dari orang lain (dan diri Anda sendiri) sedemikian sehingga Anda tidak merasa malu.

Apa dampaknya?

Dari penjelasan sebelumnya, kita tahu bahwa kita dapat menggunakan tiga bentuk pembenaran untuk menutupi rasa malu kita. Yang pertama, kita menghambat diri kita untuk maju. Kedua, kita menggunakan kelemahan atau kelebihan kita untuk menutupi rasa malu kita. ketiga, kita menyalahkan pihak lain atas kegagalan kita.

Lantas, kira-kira, apa dampak dari tiga sikap di atas?

Sikap menghambat diri sendiri tentu saja menunda kemajuan/keberhasilan kita. Kita dengan sengaja menghambat diri kita untuk mencapai keberhasilan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, kita pun tidak akan berhasil.

Bagaimana kita mencapai kesuksesan/keberhasilan jika kita sendiri menghambat jalan kita menuju sukses? Demikian kira-kira ilustrasinya.

Selain menunda kesuksesan, sikap di atas juga mendorong kita untuk lepas dari tanggung jawab. Dengan sikap di atas, kita tidak perlu mengakui kesalahan kita. Kita tidak perlu mengakui jika kita menempuh strategi/cara yang salah.

Nah, karena kita tidak merasa menempuh strategi yang keliru, maka kita pun merasa tidak perlu memperbaiki strategi kita. Kita hanya perlu menuding “kemalasan”, “minuman beralkohol”, dan “obat-obatan terlarang” sebagai biang kegagalan kita.

Sekarang, bagaimana dengan sikap yang kedua, yakni menggunakan kelemahan untuk menutupi rasa malu kita?

Sikap ini juga membawa dampak yang buruk bagi diri kita. Dengan sikap ini, kita merasa tidak perlu bertanggung jawab terhadap kegagalan kita. Kita hanya perlu menuding kelemahan kita sebagai biang kegagalan kita.

Sikap ini counterproduktif alias menurunkan produktivitas kita. Mengapa? Dengan sikap ini, kita memiliki pembenaran untuk menyerah mengejar impian kita.

Lantas, bagaimana saat kita menggunakan kelebihan/keberhasilan kita di masa lalu untuk menutupi rasa malu kita karena gagal? Sikap itu, serta sikap menyalahkan pihak lain atas kegagalan kita juga membawa dampak yang buruk bagi kita. Dengan sikap itu, kita tidak terdorong untuk bertanggung jawab terhadap kesalahan/kekeliruan kita. Lebih jauh, dengan sikap seperti itu, kita menghibur diri kita sendiri bahwa saat ini, kita tidak lagi perlu membuktikan diri bahwa kita mampu, karena dulu kita telah membuktikan bahwa kita mampu.

Benner-1.png

About the Author Rina Ulwia

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

follow me on:
>