Tahukah Anda mengapa anak pesimis belajar?

Salah satu sebabnya yaitu, mereka tidak percaya diri dengan kemampuan mereka.

Tetapi, mengapa ia tidak percaya diri? Karena, ia memiliki citra diri yang negatif, yang membuatnya yakin bahwa ia tidak mampu berprestasi. Citra diri yang negatif itu contohnya ia menganggap ia bodoh, IQ-nya rendah. Contoh lainnya, ia berpikir ia tidak berbakat.

Nah, citra diri yang negatif inilah yang menghambat kemajuannya. Dengan citra itu, anak pesimis meraih prestasi yang tinggi. Dan, karena pesimis, ia pun jadi malas belajar, malas berusaha meraih prestasi. Setiap kali ia hendak belajar, terbersit dalam hatinya, “Buat apa belajar? Toh aku bodoh, IQ-ku rendah. Aku ga bakal paham pelajaran matematika.” Hasilnya, ia pun urung belajar.

Karena menghambat kemajuan sang anak, sebagaimana disebutkan di atas, citra diri yang negatif disebut mental block alias hambatan mental.

Jadi, salah satu sebab anak pesimis belajar yaitu mentalnya terhambat oleh citra diri yang negatif. Untuk memepermudah menyebutnya, sebut saja citra diri negatif dengan mental block.

Sekarang, apa yang menyebabkan anak memiliki mental block? Untuk mengetahuinya, yuk, simak penjelasan di bawah ini.

Penyebab Mental Block pada Anak

Mental block tidak terjadi dengan sendirinya. Saat lahir, anak bak kertas putih. Ia belum mengenal apa-apa. Ia belum mengenal konsep bodoh dan pintar. Ia juga belum mengenal konsep berbakat dan tidak berbakat.

Pada masa perkembangannya, lingkungan mulai mengenalkannya pada berbagai konsep. Ia mulai mengenal konsep baik dan buruk, bodoh dan pintar, hebat dan tidak hebat, keren dan tidak keren. Pada masa inilah mulai terbentuk citra dirinya. Citra diri itu terbentuk dari penilaian orang lain (penilaian guru, teman, tetangga, orangtua) dan lewat pengalamannya sendiri.

Penilaian guru, misalnya, membuatnya berpikir bahwa ia bodoh. Sebagai contoh, saat ia belajar menulis di sekolah, sang guru melihat dan mengoreksi tulisannya.

Ketika mendapati tulisannya salah, guru lantas mengatakan, “Tulisan kamu salah. Ayo diperbaiki. Jangan jadi anak bodoh.”

Dari situ, anak mulai menyimpulkan bahwa ia bodoh.

Pada contoh di atas, guru tidak sengaja membuat anak merasa bodoh. Tetapi, cara guru mendidik anak tidak sengaja membuatnya merasa demikian.

Contoh lain, Anda melatih anak berhitung. Tetapi, anak lambat memahami penjelasan Anda. Karena itu, Anda berkata, “Kamu memang agak lambat memahami pelajaran.”

mental block

Ucapan Anda di atas dapat membuat anak percaya bahwa dia lambat memahami sesuatu. Keyakinan ini akan semakin menjadi-jadi manakala pengalaman sang anak membuktikan bahwa ia memang lambat memahami sesuatu.

Pada gilirannya, keyakinan itu membuat anak hilang kepercayaan diri. Dan, ketika keyakinan itu membuatnya hilang percaya diri, saat itulah ia menjadi mental block yang menghambat mental anak. Akihrnya, karena mental block itu, anak sulit maju. Mental block itu membuatnya pesimis.

Apa contoh lain pembentukan citra diri yang negatif yang menjadi mental block? Contoh lainnya, anak tertarik pada musik. Dia ingin mengikuti les musik. Tetapi, orangtua tidak setuju. Orangtua berkata kepada anak, “Kamu itu ga bakat musik. Jadi, kalau mau les, jangan pilih les musik. Pilih les lainnya saja.”

Ucapan di atas membuat anak percaya bahwa ia tidak berbakat bermain musik. Padahal, ia berminat pada musik. Hal ini membuatnya kecewa. Ia kecewa lantaran ia ingin bermian musik, tetapi takut tidak dapat menguasai musik karena ia yakin ia bukan anak yang berbakat.

Mental Block dan Budaya Judgemental

Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa penyebab anak memiliki citra diri yang negatif adalah penilaian orang lain, baik guru, orangtua, masyarakat, teman, serta pengalaman hidup yang dilaluinya.

Apabila anak sering mengalami kegagalan, lama-kelamaan ia menyimpulkan bahwa ia memang ditakdirkan untuk gagal. Atau, ia yakin bahwa ia memang bodoh sehingga selalu gagal.

Akan tetapi, kesimpulan itu tidak akan muncul jika budaya tidak mengajarkannya menghakimi tindakannya sendiri atau pun tindakan orang lain. Jika tidak ada budaya judgemental (budaya suka menghakimi orang lain), di mana setiap perilaku manusia dinilai sebagai perilaku yang baik, buruk, cerdas, atau bodoh, maka anak pun tidak akan menilai tindakannya sebagai tindakan bodoh.

Jadi, kesalahan juga ada pada budaya kita yang judgemental alias penuh prasangka. Dalam budaya kita, perilaku seseorang senantiasa dilabeli sebagai perilaku positif atau pun perilaku negatif. Misal, saat orang dapat menguasai sebuah skill dengan mudah, ia dicap sebagai orang berbakat atau cerdas. Sebaliknya, saat ia susah menguasai skill itu, ia dicap sebagai orang yang tidak berbakat, orang rata-rata.

Nah, budaya judgemental juga berpengaruh pada anak. Karena tumbuh dalam budaya judgemental, Anak pun jadi judgemental. Ia suka menghakimi. Bukan hanya orang lain yang ia hakimi. Ia juga suka menghakimi dirinya sendiri.

Manakala salah menjawab soal, ia akan menghakimi dirinya sebagai anak yang bodoh. Dan, karena penilaian itu, lama-kelamaan anak hilang kepercayaan diri.

Hilangnya kepercayaan diri inilah salah satu hambatan yang menghambat kemajuan anak. Hilangnya kepercayaan diri menjadi mental block yang menghambat psikis anak.

Penyebab di Luar Kendali Orangtua

Sebagaimana kita tahu, penyebab mental bclok pada anak adalah penilaian orangtua, penilaian guru, teman, dan masyarakat, di mana penilaian itu muncul lantaran budaya kita yang penuh prasangka. Ini artinya, kesalahan bukan hanya ada pada guru, orangtua, dan teman. Budaya menjadi tertuduh utama. Ia merupakan biang penyebab anak mengidap mental block.

Lantas, apakah ini artinya untuk mengatasi mental block Anda harus merubah budaya tersebut? Yup! Idealnya begitu. Tetapi, merubah budaya bukanlah hal yang mudah. Perlu perombakan tatanan sosial menyeluruh untuk melakukannya. Tentu, Anda tidak dapat melakukannya sendirian.

Ini berarti, untuk saat ini, penyebab mental block anak sungguh di luar kendali Anda. Tidak mungkin Anda marah pada sang guru. Tidak mungkin pula Anda memarahi teman-teman anak Anda. Paling mentok, Anda hanya dapat merubah budaya Anda sendiri. Artinya, Anda merubah perlilaku Anda terhadap anak Anda. Selain itu, sungguh semuanya di luar kendali Anda!

Lantas, bagaimana cara mengatasi mental block jika semua di luar kendali Anda? Kabar baiknya, Anda dapat mengatasi mental block anak Anda meskipun dunia terus menerus menilai anak Anda bodoh, ber IQ rendah, tidak berbakat, dan bla-bla bla.

Nah, berikut ini beberapa cara yang dapat Anda tempuh untuk mengatasi mental block anak Anda.

Mengatasi Mental Block agar Anak Lebih Optimis

Nah, Bunda, ini dia beberapa tips mengatasi mental block yang dapat penulis sajikan untuk Anda. Semoga, tips ini bermanfaat bagi Anda.

1. Daftar prestasi

Lingkungan, termasuk guru dan teman seringkali berprasangka. Anak Anda tidak luput menjadi korbannya. Di sekolah, temannya berkata, “Kamu bodoh”, “Kamu serba ga bisa. Yang kamu bisa apa?”, “Dasar IQ jongkok!” misalnya.

Dan, karena yang bicara adalah guru atau teman, Anda tidak dapat mengendalikan ucapan mereka.

Tetapi, jangan khawatir! Anda masih dapat membuat anak Anda percaya diri dan mengabaikan ucapan-ucapan di atas. Caranya yaitu dengan mengingatkan anak akan prestasi yang pernah diraihnya.

Bagaimana cara mengingatkan ia akan prestasi-prestasinya? Caranya, membuat daftar prestasi.

Ajak anak Anda untuk membuat daftar prestasi.

Yang perlu diperhatikan, prestasi tidak hanya berupa prestasi di sekolah seperti mendapat juara 1, mendapat nilai 100, atau dipilih menjadi ketua kelas. Prestasi adalah semua pencapaian positif yang diperoleh anak.

Sebagai contoh, awalnya anak biasa bangun kesiangan. Nah, jika sekarang ia bisa bangun pagi, maka bangun pagi merupakan prestasi.

Awalnya anak selalu menadapat nilai 5, tetapi sekarang ia mendapatkan nilai 6. Nah, dari 5 ke 6 juga merupakan prestasi.

Awalnya, seharian anak hanya bermain game, tetapi sekarang ia mau membantu Anda mencuci piring. Nah, itu juga prestasi.

Pokoknya, apa pun pencapaian positif anak, sekecil apa pun pencapaian itu, tetap saja prestasi. Untuk itu, ajak anak untuk mencatatnya ke dalam daftar prestasi.

mental block

Dengan daftar prestasi, anak memiliki bukti yang menyanggah anggapan negatif orang lain terhadapnya.

Sebagai contoh, orang lain menganggapnya bodoh. Dengan daftar prestasi, anak dapat menyanggah anggapan itu. Ia dapat berkata, “Aku ga bodoh, kok. Buktinya kemarin aku dapat nilai 5, sekarang dapat nilai 6. Kalau rajin belajar pasti nilainya semakin tinggi.”

Selain itu, dengan daftar prestasi, perhatian anak teralihkan. Awalnya, ia berkonsetrasi pada kekurangannya. Sekarang, ia berfokus pada kelebihannya. Hal ini akan turut meningkatkan kepercayaan dirinya. Mengapa? Karena, yang ia ingat bukanlah kekurangannya, melainkan kelebihannya.

2. Goal yang realistis

Adalah kebiasaan orangtua menginginkan anaknya menjadi yang terbaik. Orangtua menetapkan harapan yang tinggi kepada anak. Itu sangat lumrah!

Akan tetapi, jika harapan itu tidak disesuaikan dengan kemampuan anak, maka anak tidak dapat meraihnya.

Contoh, orangtua ingin anaknya jago matematika. Setiap kali ujian matematika, anak harus mendapatkan nilai 100. Padahal, anak memiliki kelemahan dalam pelajaran tersebut. Ia lebih cerdas dalam bahasa, misalnya, dibanding berhitung.

Nah, harapan itu tentu saja tidak realistis, tidak sesuai dengan kemampuan sang anak.

Akibatnya, Apabila anak tidak mendapat nilai 100, Anda kecewa. Kekecewaan ini akan membuat anak merasa serba salah. Ia merasa bahwa ia tidak berguna dan berharga di mata Anda.

Untuk itu, penting bagi orangtua untuk menetapkan harapan/goal yang realisitis.

Apa itu goal yang realistis? Goal yang realistis adalah goal/harapan yang disesuaikan dengan kemampuan anak.

Boleh orangtua menetapkan goal yang saaaangat tinggi kepada sang anak, asalkan orangtua memberikan bekal yang memadai sedemikian sehingga anak memiliki kemampuan yang diperlukan untuk meraih goal itu.

Contoh, apabila orangtua ingin nilai matematikanya 100, maka orangtua perlu memberikan pendidikan tambahan, misalnya les matematika untuk anak. Dengan begitu, anak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk mendapat nilai 100.

Contoh lainnya, orangtua mengikut-sertakan anak pada pelatihan yang menunjang kemampuan anak.

3. Buat mereka merasa spesial

Sebagaimana lumrahnya remaja, anak Anda tentu memiliki minat dan bakat tertentu. Agar anak merasa berharga, dukunglah minat dan bakat mereka.

Bandingkan dua ilustrasi berikut ini, kira-kira mana yang membuat anak hilang kepercayaan diri.

Ilustrasi 1: Anak merasa ia berbakat dalam bidang musik. Karena itu, ia meminta orangtua mendaftarkannya les musik. Tetapi, orangtua berkata, “Musik itu tidak ada manfaatnya. Kamu lebih baik ikut les matematika.

Atau

Ilustrasi 2: Anak merasa ia berbakat dalam bidang musik. Karena itu, ia meminta orangtua mendaftarkannya di les musik. Dan, orangtua menyambut keinginan sang anak. Mereka mendaftarkan anaknya les musik. Mereka bahkan melakukan apa pun agar anak dapat menguasai musik.

Nah, dari dua ilustrasi di atas, mana yang membuat anak merasa tidak berharga? Tentu ilsutrasi yang pertama, bukan?

Bagaimana tidak?! Pada ilustrasi pertama, orangtua tidak menghargai minat sang anak. Akibatnya, anak pun merasa tidak berharga.

mental block

Pada gilirannya, perasaan tidak berharga itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya.

Untuk memperjelasnya lagi, coba bandingkan ilustrasi berikut ini. Bayangkan, ilustrasi yang mana yang membuat anak merasa tidak berharga.

Ilustrasi 1: Anak Anda ditunjuk dalam sebuah acara di sekolah. Di acara itu, ia ditugaskan untuk maju berpidato. Ia menginformasikan kabar gembira itu kepada Anda. Tetapi, Anda menjawabnya seperti ini, “Ah, itu hanya pencitraan saja, supaya sekolah kamu terlihat bagus. Padahal, ya biasa saja. Jadi, kamu jangan senang dulu.”

Atau

Ilustrasi 2: Anak Anda ditunjuk dalam sebuah acara di sekolah. Dalam acara itu, ia ditugaskan untuk maju berpidato. Ia menginformasikan kabar gembira itu kepada Anda. Dan, Anda menyambutnya dengan gembira. Anda bahkan mempersiapkan segala sesuatunya agar anak Anda tampil memukau.

Dari dua ilustrasi di atas, yang mana yang membuat anak kehilangan kepercayaan diri? Tentu saja ilustrasi yang pertama, bukan?

Menyimak ilustrasi-ilustrasi di atas, bagaimana kesimpulan Anda? Anda, sebagai orangtua perlu mendukung dan menghargai minat, pencapaian, dan bakat anak.

Ketika orangtua mendukung bakat, minat, dan prestasinya, niscaya tumbuh kepercayaan diri pada anak. Citra diri yang terbentuk dalam otak si anak citra diri yang positif, yakni bahwa ia orang yang berharga.

4. Kepercayaan

Cara lain menghargai anak, membuat citra diri anak positif yaitu dengan memberikan mereka kepercayaan.

Beri dia kepercayaan untuk mengatasi masalahnya sendiri, membuat keputusan dan pilihan.

Dengan mempercayainya untuk mengatasi masalahnya sendiri, membuat keputusan, serta menentukan pilihan, anak akan tahu bahwa Anda percaya terhadap kemampuannya. Ia akan beranggapan bahwa ia memang mampu. Buktinya, Anda mempercayainya untuk mengambil tindakan.

Kesadaran itu pada gilirannya akan membuatnya merasa berharga. Dan, saat ia merasa berharga di mata Anda, pengaruh negatif dari luar akan dihiraukannya.

5. Reprogram keyakinan bawah sadarnya

Selain cara-cara di atas, yang paling utama yaitu memprogram kembali keyakinan bawah sadar si anak.

Apa itu program bawah sadar?

Jadi, ketika orang lain seperti guru, orangtua, dan teman mengucapkan perkataan yang negatif terhadap anak seperti, “Kamu itu bodoh,” “Kamu susah nangkap pelajaran,” “IQ-mu jongkok” dan perkataan-perkataan negatif lainnya, kesemua perkataan itu masuk ke dalam pikiran bawah sadar sang anak dan menjadi sistem kepercayaan, menjadi program bawah sadarnya.

Nah, dengan sistem kepercayaan yang seperti itu, perilakunya dikendalikan oleh kepercayaan tersebut. Kepercayaan itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya. Kepercayaan bawah sadar bahwa dia bodoh membuat dia pesimis belajar. Kepercayaan bahwa IQ-nya jongkok membuat dia susah menangkap pelajaran.

Oleh karena itu, Anda, sebagai orangtua perlu mereprogram keyakinan bawah sadarnya untuk membuang kepercayaan-kepercayaan yang negatif itu dan menggantinya dengan kepercayaan-kepercayaan yang positif yang mendukung kemajuan belajarnya.

Bagaimana cara mereprogram bawah sadar?

Untuk mengetahuinya, baca artikel yang berjudul Cara Memprogram Diri 6 Kali Lebih Cepat

Apa yang harus Anda Hindari?

Jika tadi kita urai beberapa tips yang perlu Anda lakukan untuk mengatasi mental block anak, sekarang mari kita urai beberapa hal yang perlu Anda hindari agar anak tidak mengidap mental block.

Apa saja mereka? Ini dia penjelasannya.

1. Memuji secara berlebihan

Sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya, budaya kita yang judgemental menjadi biang keladi mental block pada anak.

Bukan hanya prasangka negatif yang membuat anak hilang kepercayaan diri. Di samping dampak positifnya, ternyata prasangka positif (pujian) juga berdampak negatif pada anak.

Memuji prestasi anak merupakan bentuk prasangka yang positif. Tindakan anak dihakimi/dinilai dengan penilaian yang positif. Prasangka positif ini tentu bermanfaat bagi anak. Dengan prasangka itu, kepercayaan dirinya melejit.

Tetapi, apabila prasangka positif (pujian) itu berlebihan, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Ia tidak lagi bermanfaat bagi anak, tetapi justru membawa petaka baginya.

Apa petaka itu? Petakanya yaitu anak terobsesi pada prestasi dan pujian. Karena tiap melakukan tindakan positif ia dipuji sebagai anak yang cerdas, akhirnya bawah sadarnya menyimpulkan bahwa ia harus cerdas, bahwa kecerdasan adalah segala-galanya. Dan, dengan kesimpulan itu, ia pun berpikir bahwa tujuannya belajar di sekolah adalah untuk menjadi cerdas. Ini membuatnya berpikir bahwa semua yang ia lakukan hanyalah agar ia menajdi cerdas.

Tentu saja, tujuan itu menyimpang dari tujuan pembelajaran yang sebenarnya. Tujuan pembelajaran yang sebenarnya bukanlah semata-mata agar anak cerdas, melainkan agar anak mendapatkan ilmu yang bermanfaat baginya di kemudian hari.

Catat, ya, Bunda! Heheheh.

Orang yang berilmu tidak harus cerdas. Dan, sebaliknya, orang yang cerdas belum tentu banyak ilmu.

Mencari ilmu bukan hanya hak anak yang cerdas. Anak yang cerdasnya standar juga berhak mencari ilmu. Tetapi, pujian yang berlebihan atas kecerdasan anak seolah menegaskan bahwa hanya anak yang cerdas saja yang oke, yang patut diacungi jempol. Sementara itu, proses di mana anak mencapai pengetahuan (dari awalnya tidak tahu) tidak dihargai.

Jika anak cerdas membutuhkan sedikit usaha untuk paham, anak yang cerdasnya standar membutuhkan lebih banyak waktu untuk paham pelajaran. Nah, bagi kita yang tumbuh dalam budaya judgemental, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk paham pelajaran, semakin bagus. Sebaliknya, semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk paham pelajaran, maka semakin buruk. Ini artinya, kita lebih menghargai hasil dan mengabaikan proses. Kita lebih menghargai anak yang cerdas ketimbang anak yang kurang cerdas tapi tekun belajar.

Dan, karena kita, orangtua, lebih menghargai anak cerdas (meskipun malas) ketimbang anak yang kurang cerdas tetapi rajin, anak pun terobsesi menjadi cerdas. Akibatnya? Akibatnya, makanala ia menemukan dirinya sulit memahami pelajaran, ia pun frustasi. Ia berpikir ia tidak berharga karena ia bukan anak yang cerdas.

Pada gilirannya, perasaan tidak berharga itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya.

2. Membandingkan anak

Seringkali, jika sebuah keluarga terdiri lebih dari satu anak, orangtua gemar membandingkan prestasi anak-anaknya.

Pernahkah Anda membandingkan anak Anda dengan saudaranya? Hayoooo, ngakuuuuu. Heheheh.

Contoh, anak Anda yang pertama lebih dewasa ketimbang anak Anda yang kedua. Menurut Anda, anak pertama juga lebih cerdas dibanding anak kedua.

Nah, manakala anak pertama mendapat juara kelas, Anda lantas berkata begini kepada anak kedua, “Lihat, tuh, kakak kamu. Hebat, kan? Jadi juara lagi. Kamu harusnya kaya dia juga,” “Mama bangga sama kakak kamu. Kamu kapan bikin bangga Mama?” atau, “Kakak kamu mewarisi kecerdasan Mama dan Papa. Kalau kamu…kamu itu nurun ke siapa, ya, kok kurang cerdas?

Bayangkan, bagaimana kira-kira perasaan anak kedua Anda mendengar ucapan di atas? Mak jleb, bukan? Saking mak jlebnya, ucapan itu membekas dalam pikiran bawah sadarnya. Dalam pikiran bawah sadarnya, selalu terngiang-ngiang, “Aku tidak secerdas kakak. Aku tidak mewarisi kecerdasan Mama dan Papa.” Di sana, ucapan itu menjadi mindset, menjadi citra diri yang menciutkan mentalnya. Citra diri itu menjadi mental block yang menghambat kemajuannya.

Iiiiih, sereeeeem!!! Maka dari itu, jika Anda ingin anak terhindar dari mental block, hindari membandingkannya dengan saudaranya, ya. Terima dia apa adanya.

Bunda, demikian uraian yang dapat penulis sampaikan kepada Anda tentang apa dan bagaimana mengatasi mental block pada anak. Semoga, uraian di atas bermanfaat bagi Anda.

Baca juga:

Anak Malas Belajar? Apa Penyebab dan Solusinya?

Pola Pikir Irasional yang Menyebabkan Anak Pesimis Belajar dan Cara Merubahnya

Mempersiapkan Anak untuk Sukses di Sekolah

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

  • […] ketakutan justru menghambat diri Anda untuk mengeluarkan imajinasi sebebas-bebasnya. Ia menjadi mental block yang menghambat Anda mengeluarkan daya imajinatif […]

  • >