“Workaholik”. Pernahkah Anda mendengar istilah itu? Hehehe, penulis yakin, Anda sangat familiar dengan istilah itu. Ketika mendengar istilah workaholik, pikiran kita langsung melayang-layang di seputar pekerjaan di kantor, semangat kerja yang luar biasa tinggi, atau lembur yang berlebihan.
Yup! Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai workaholik. Orang yang workaholik senantiasa menghabiskan banyak waktu untuk bekerja dibanding mereka yang tidak tergolong workaholik.
Namun demikian, banyak dari kita yang kurang tepat dalam mengartikan istilah workaholik. Saat ada rekan kerja yang sangat rajin bekerja, maka mereka menyebutnya Si Workaholik. Atau, ada juga yang dengan bangga menyebut diri workaholik lantaran dirinya sangat keranjingan bekerja.
Sering kali, dalam pandangan banyak orang, workaholik mengandung makna yang positif, yang patut diterapkan. Dalam pandangan mereka, workaholik sama artinya dengan tekun dan rajin bekerja.
Lantas, bagaimana menurut pandangan para pakar? Apakah memang demikian adanya? Apakah perilaku workaholisme merupakan perilaku yang positif, yang dapat memberikan manfaat bagi orang yang bersangkutan serta bagi perusahaan tempat ia bekerja?
Memang benar orang yang workaholik senantiasa rajin bekerja. Tetapi, sayang sekali, menurut para pakar psikologi, perilaku workaholik tidaklah positif. Sebaliknya, perilaku ini mengandung konotasi yang negatif.
Mengapa negatif? Menurut para pakar psikologi, workaholisme adalah obsesi yang berlebihan terhadap pekerjaan, di mana obsesi ini bahkan membuat orang yang mengidapnya kehilangan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
Jadi, tidak serta merta kecintaan dan keranjingan terhadap pekerjaan membuat seseorang menjadi workaholik. Workaholisme merupakah istilah yang digunakan untuk menyebut perilaku kerja yang ekstrem/ berlebihan. Dan, karena keekstreman itulah, penyandang workaholisme (workaholik) mengalami banyak sekali dampak yang merugikan dirinya sendiri.
Nah, jika demikian definisi workaholisme, lantas apa yang menyebabkan seseorang mengidap perilaku ini?
Masih menurut para pakar psikologi, salah satu penyebab seseorang menjadi workaholik yaitu mindset yang mereka anut. Mindset apakah itu? Mindset bahwa “Jika kita ingin penghasilan yang lebih, maka kita pun harus bekerja dengan keras. Semakin keras kita bekerja, maka semakin banyak pula penghasilan yang akan kita dapatkan.”
Memang, dalam beberapa kasus, bekerja keras dan berlebihan memberikan income/ masukan yang besar kepada segolongan orang. Artis, misalnya; semakin keras mereka bekerja, maka semakin besar pula penghasilan yang mereka dapatkan; Semakin banyak tawaran kerja/ job, maka semakin banyak peluang untuk menumpuk pundi-pundi.
Akan tetapi, apakah prinsip itu berlaku bagi semua orang? Tentu saja tidak. Bagi Anda, yang bekerja di kantor, sebagai seorang karyawan di bawah naungan sebuah perusahaan, tentu saja prinsip di atas tidaklah berlaku. Berapa lama pun waktu Anda bekerja di kantor tidak akan memengaruhi jumlah gaji yang Anda peroleh. Paling mentok, Anda hanya akan mendapatkan upah lembur. Benar, bukan? Kecuali Anda adalah seorang staf marketing, yang mendapatkan bonus setiap kali bisa memperoleh pelanggan baru.
Nah, sekalipun prinsip di atas berlaku bagi sebagian orang, artis, misalnya, tetap saja workaholisme yang dipicu oleh prinsip itu membawa dampak yang negatif bagi para penyandangnya. Tidak jarang kita jumpai acara infotainment di TV yang menayangkan berita mengenai artis yang terjatuh sakit lantaran tidak memiliki waktu istirahat yang cukup.
Kembali pada topik, selain mindset di atas, perilaku workaholisme juga dipicu oleh faktor lainnya. Bryan Robinson, seorang ahli terapi psikologis sekaligus seorang penulis membagi workaholisme ke dalam 4 kategori menurut masing-masing penyebabnya.
Nah, apa sajakah 4 kategori tersebut? Mari kita simak ulasannya berikut ini.
Bulimic Workaholic Style
Orang yang tergolong dalam kategori ini merupakan orang yang perfeksionis. Mereka senantiasa terobsesi dengan kesempuraan, di mana obsesi tersebut mencapai level yang ekstrem/ berlebihan.
Sebagai seorang perfeksionis, penderita workaholisme jenis ini memiliki mindset berikut: “Saya harus mengerjakan tugas saya dengan sempurna. Atau, jika tidak, lebih baik saya tidak mengerjakannya sama sekali.”
Lantas apa dampak mindset di atas bagi si penderita workaholisme sedemikian sehingga ia disebut sebagai orang yang workaholik? Dampak mindset di atas yaitu, dalam mengerjakan tugasnya, orang yang bersangkutan membutuhkan waktu yang lebih panjang dari yang seharusnya. Jika seharusnya satu macam tugas dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit, maka ia membutuhkan waktu lebih lama (dari 30 menit) untuk mengerjakannya. Bahkan, lamanya bisa lebih dari dua kali lipat waktu yang seharusnya.
Mengapa demikian? Karena ia terobsesi dengan kesempurnaan. Dan, obsesi itu mendorongnya untuk mengerjakan tugas-tugasnya secara hati-hati. Detail-detail pekerjaannya ia kerjakan dengan seksama sedemikian sehingga membutuhkan waktu yang panjang untuk menyelesaikan pekerjaan itu.
Setelah menyimak uraian di atas, kia-kira apa yang dirasakan oleh penderita workaholisme jenis ini? Penderita workaholisme jenis ini senantiasa memiliki perasaan cemas dan takut kalau-kalau tugas-tugasnya tidak ia kerjakan dengan sempurna. Dan, karena perasaan cemas dan takut itulah, waktu kerja mereka tidak ter-manage secara sehat. Kecemasan dan ketakutan itu senantiasa mengontrol diri mereka untuk bekerja lebih keras dan lama.
Walhasil, penderita workaholisme jenis ini sering menjumpai diri mereka tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Mereka bekerja dengan keras bukan lantaran mereka mencintai pekerjaan mereka, melainkan lantaran kecemasan dan ketakutan yang menggerogoti pikiran mereka.
Relentless Workaholic Style
Pada kategori ini, faktor yang menyebabkan seseorang menjadi workaholik yaitu ketergantungannya yang berlebihan pada penilaian orang. Jadi, menurut kategori ini, seseorang bisa menjadi workaholik lantaran tidak memiliki kemandirian emosional.
Seseorang yang tidak memiliki kemandirian emosional senantiasa menggantungkan tindakan dan perasaannya kepada orang lain. Kebahagiaannya tergantung pada pasangan, misalnya. Saat ia berpisah dari pasangan, ia kesulitan untuk move on dan melanjutkan hidup karena ia merasa bahwa tanpa pasangannya, hidupnya tidaklah berarti.
Nah, selain kebahagiaan, penghargaan dan pengakuan terhadap diri sendiri pun didasarkan pada penghargaan dan pengakuan orang lain terhadapnya. Akibatnya, saat orang lain tidak menghargai dan mengakui dirinya, dunianya serasa tergoncang.
Oleh karena itulah, orang yang tidak memiliki kemandirian emosional sering memiliki kecemasan dan ketakutan terhadap perilakunya sendiri. ia takut kalau-kalau perilakunya tidak berkenan di hati orang lain sedemikian sehingga orang lain tidak menghargai dan mengakui keberadaannya. Dan, oleh sebab itu, orang yang tidak memiliki kemandirian emosional seringkali menuruti apa pun kemauan orang lain demi mendapatkan pengakuan.
Berkaitan dengan perilaku workaholisme, sikap selalu menuruti kemauan orang lain inilah yang membuatnya menjadi workaholik. Mengapa? mereka tidak pernah berkata “tidak”. Saat atasan memberikan tugas dan tanggung jawab yang melebihi yang seharusnya, ia tidak mampu berkata “tidak”. Ia takut jika ia menolak mengerjakan tugas-tugas yang dilimpahkan kepadanya, maka atasannya akan memberikan penilaian yang buruk terhadapnya.
Dan, karena tugas yang melimpah yang diberikan kepadanya, maka ia pun “terpaksa” menjadi workaholik. Ia “terpaksa” bekerja keras demi menyelesaikan semua tugas yang diberikan kepadanya. semua itu demi pengakuan dan penghargaan orang lain (atasan, misalnya) kepadanya.
Sekarang, pertanyaannya, apakah workaholik jenis ini membawa dampak yang buruk bagi dirinya dan bagi perusahaan? Yup! tentu! Bagi dirinya, tentu saja ia akan kehilangan waktu untuk kehidupan pribadinya. Mungkin juga, karena terlalu memaksakan diri bekerja keras, kesehatannya terganggu. Selain itu, ia pun rentan terserang stres lantaran mengerjakan tugas berat, yang bisa jadi tugas itu diluar kompetensinya.
Attention-Deficit Workaholic Style
Dalam kategori ini, seseorang menjadi workaholik lantaran kesulitan berfokus pada satu macam tugas. Perhatiannya mudah teralihkan oleh berabagai hal. Dalam sehari, ia bisa mengerjakan banyak tugas. Caranya mengerjakan tugas-tugasnyalah yang membuatnya menjadi workaholik.
Saat satu tugas belum selesai, ia bosan terhadap tugas itu dan beralih ke tugas yang lain. Saat tugas lain belum diselesaikan, ia beralih lagi ke tugas yang baru. Demikian seterusnya. Dampaknya, ia kesulitan menyelesaikan masing-masing tugasnya. Tetapi, karena dorongan kewajiban untuk menyelesaikan semua tugasnya, ia pun merasa harus bekerja keras untuk menyelesaikan tugas-tugas itu.
Savoring Workaholic Style
Dalam kategori ini, sebagaimana kategori pertama, seseorang menderita workaholik lantaran sikapnya yang perfeksionis. Namun demikian, berbeda dari kategori pertama, workaholik jenis ini disebabkan oleh perasaan bahwa tugas yang ia kerjakan belumlah sempurna, di mana karena perasaan itu, ia terus-menerus memeriksa tugas-tugasnya (yang sudah ia selesaikan). Ia tidak pernah puas dengan hasil kerjanya. Ia memiliki kecemasan bahwa tugas-tugasnya dikerjakan dengan tidak sempurna.
Dan, karena perasaan itu pula, ia merasa perlu bekerja keras dan lama untuk dapat menyelesaikan tugas-tugasnya.
Kesimpulan
Setelah melihat uraian di atas mengenai 4 jenis perilaku workaholik berdasarkan sebab-sebab yang melatarinya, kita dapat menyimpulkan bahwa workaholisme tidaklah didasari oleh kecintaan terhadap pekerjaan. Seseorang menjadi workaholik bukan karena mereka cinta bekerja, melainkan karena keterpaksaan.
Karena dilandasi keterpaksaan, workaholisme tidaklah membuat kita bahagia. Sebaliknya, workaholisme justru membuat kita jenuh dan stres.
[…] Jika hal itu terjadi terus menerus, bisa-bisa Anda menjadi workaholik. Ini sebagaimana yang pernah penulis jelaskan dalam artikel yang berjudul Penyebab Seseorang Menjadi Workaholik. […]