Bayangkan suatu malam Anda berada di rumah sendirian. Malam itu, kebetulan listrik di pemukiman tempat tinggal Anda padam. Saat hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar. Jika didengarkan secara saksama, langkah kaki itu seperti menuju pintu rumah Anda. Dan, karena hal itu, Anda berpikir bahwa seorang pencuri sedang menyasar rumah Anda.

Nah, kira-kira, bagaimana perasaan Anda ketika berpikir bahwa langkah kaki itu langkah laki seorang pencuri? Anda ngeri? Takut? Deg-degan?

Sekarang, bagaimana jika Anda berpikir bahwa suara langkah kaki itu merupakan langkah kaki suami Anda? Bagaimana kira-kira perasaan Anda? Penulis berani bertaruh, Anda akan merasa nyaman, tenang, gembira, dan berharap.

Nah, sebagaimana dua ilsutrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pikiran bisa memengaruhi perasaan kita. Jika kita berpikir positif, maka perasaan/suasana hati kita pun senang, tenang, dan nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir negatif, maka perasaan/suasana hati kita pun berubah menjadi sedih, takut, khawatir, cemas, atau stres.

Kesimpulan di atas sama halnya dengan apa yang telah dijelaskan oleh Christine A. Padesky dan Dennis Greenberger dalam buku yang berjudul Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Dalam buku tersebut, Padesky dan Greenberger menjelaskan adanya hubungan yang saling memengaruhi antara pikiran, perasaan (suasana hati), perilaku, dan kondisi lingkungan.

Pikiran senantiasa memengaruhi perilaku dan suasana hati. Sebaliknya, suasana hati turut memengaruhi pikiran dan perilaku kita. Lebih jauh, kondisi lingkungan/kenyataan juga berperan dalam membentuk pikiran, perasaan, dan perilaku kita.

Nah, keterkaitan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan kondisi lingkungan ini pada ujungnya turut memengaruhi kebahagiaan dan tingkat stres yang kita alami. Pikiran yang negatif membuat orang sedih, kecewa, marah, stres, cemas, takut, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Sebaliknya, pikiran positif membuat orang senang, gembira, bahagia, nyaman, tenang, aman, dan perasaan-perasaan positif lainnya.

Tiga macam pikiran positif

Namun demikian, bukan berarti agar bahagia kita harus selalu berpikir positif. Tentu, tidak semudah itu merubah suasana hati kita sesuai dengan yang kita mau. Nah, di sinilah peran/pengaruh kondisi lingkungan (dan kondisi yang kita alami) terhadap pikiran dan suasana hati dapat kita saksikan. Saat kita tertimpa musibah, maka seberapa keras kita mencoba untuk berpikir positif, tetap saja pikiran positif itu tidak mampu membuat kita bahagia. Mengapa? Karena, otak kita tidak mempercayai pikiran positif tersebut karena pikiran positif itu tidak sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi.

Jadi, ada kalanya, pikiran yang positif dapat membantu kita merasa lebih baik. Ini terutama saat pikiran tersebut sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi, atau saat kita belum mengetahui kenyataan/kondisi yang sebenarnya. Sebaliknya, saat pikiran positif tidak sesuai kenyataan, maka pikiran itu tidak akan banyak membantu merubah suasana hati kita.

Pada ilsutrasi di atas, jika Anda dapati bahwa yang datang ke rumah Anda adalah seorang pencuri, maka sepositif apa pun pikiran Anda, Anda pun pada ujungnya harus mengakui bahwa langkah kaki itu adalah langkah kaki pencuri. Anda tidak bisa berpura-pura berpikir bahwa yang datang adalah suami Anda.

Saat sang pencuri sudah di depan mata Anda, tentu tidak ada gunanya berpikir positif seperti ini: “Ah, tenang saja. Positif thinking. Yang datang pasti suami tercinta.”

Tetapi, saat Anda belum tahu secara pasti apakah suara langkah kaki itu suara langkah kaki suami Anda atau bukan, maka pikiran yang positif masih berguna bagi Anda. Pikiran itu dapat membuat Anda tetap tenang.

Tiga macam pikiran negatif

Sekarang, bagaimana dengan pikiran yang negatif? Sebagaimana pikiran yang positif, pikiran yang negatif pun dapat terbagi menjadi tiga: Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak).

Nah, dari tiga jenis pikiran negatif itu, ada dua pikiran negatif yang dapat membuat kita sedih, marah, kecewa, stres, depresi, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Pikiran negatif yang bagaimanakah itu? Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan dan pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak). Sementara itu, pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan tidak banyak memengaruhi perasaan kita.

Dalam ilustrasi di atas, jika Anda dapati ternyata yang datang suami Anda, maka kenyataan itu niscaya menepis pikiran negatif Anda. (Andaikanlah, Anda berpikir bahwa yang datang adalah seorang pencuri. Maka, niscaya Anda akan merasa cemas. Tetapi, saat mendapati ternyata yang datang suami Anda, maka kecemasan itu pun sirna).

Dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (apakah sesuai kenyataan atau tidak). untuk memudahkan dalam menyebutnya, mari kita sebut pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya dengan pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Mengapa penulis berfokus pada distorted thinking? Karena, seringkali, kita stres, kecewa, depresi, dan cemas bukan lantaran kita mengalami kondisi yang penuh tekanan dan ketegangan, melainkan lantaran pikiran-pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Sebagai contoh, kita tersinggung bukan lantaran orang lain menyindir kita, melainkan lantaran kita BERPIKIR/MENGIRA orang lain telah menyindir kita. Padahal, kita tidak tahu pasti apakah orang itu memang menyindir kita atau tidak.

Nah, berikut ini beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

1. Tergesa-gesa menyimpulkan

Salah satu cara berpikir yang membuat Anda stres yaitu tergesa-gesa menyimpulkan. Sebagai contoh, Anda sedang menghadiri pesta pernikahan. Di pesta itu, Anda berjumpa dengan teman lama Anda. Karena sudah lama tidak bertemu, Anda pun cepat-cepat menghampiri dan menyapanya.

Mendapati Anda menyapanya, dia pun menjawab sapaan Anda. Tetapi, berbeda dengan Anda yang menyapanya dengan sumringah, ia menjawab sapaan Anda dengan raut muka yang cemberut.

Nah, melihat reaksinya, Anda pun berpikir bahwa dia tidak senang berjumpa dengan Anda. Dan, karena pikiran itu, Anda kecewa dan stres. Anda stres lantaran malu telah menyangka dia bakal menyambut Anda dengan gembira.

Di sini, penyebab Anda kecewa dan stres yaitu Anda tergesa-gesa dalam menyimpulkan reaksinya. Anda tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ia cemberut lantaran tidak senang berjumpa dengan Anda. Padahal, belum tentu ia cemberut lantaran kehadiran Anda. Bisa jadi, ia cemberut lantaran hal lain yang tidak berkaitan dengan Anda.

Untuk itu, untuk melenyapkan perasaan negatif Anda, tanyakan langsung kepadanya apa yang membuatnya cemberut. Pastikan apa yang terjadi sebenarnya, jangan hanya mengira-ngira.

2. Mengkatastropikan masalah

Pikiran yang menyimpang dapat juga berupa katastropi. Mengkatastropikan suatu masalah sama artinya dengan membesar-besarkan/mendramatisasi masalah tersebut.

Sebagai contoh, Anda sedang mengikuti psikotest seleksi karyawaan di sebuah perusahaan. Dalam test itu, ada beberapa soal yang sulit dijawab, menurut Anda. karena hal itu, Anda pun berpikir bahwa Anda tidak akan lulus dalam test tersebut dan tidak akan diterima sebagai karyawan.

Nah, dalam contoh tersebut, apa yang membuat Anda berpikir Anda tidak bakal lulus yaitu Anda mengkatastropikan masalah yang sedang Anda hadapi, Anda mengkatastropikan soal-soal yang sulit dijawab. Dan, karena pikiran yang katastropik itu, Anda pun menjadi stres.

Untuk melenyapkan stres lantaran Anda mengkatastropikan masalah Anda, berkatalah kepada diri Anda sendiri seperti berikut: “Tenang, hanya beberapa soal, kok, yang tidak bisa dijawab. Ga semuanya. Lagipula, pertimbangan diterima atau tidak bukan hanya dari psikotest ini, tetapi juga dari wawancara nanti. Jadi, masih ada kesempatan untuk diterima.

3. Bias konfirmasi

Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah cara berpikir di mana kita hanya mencari bukti yang membenarkan/mengkonfirmasi dugaan kita, dan tidak mengindahkan bukti yang menyangkal dugaan tersebut.

Sebagai contoh, sudah lebih dari 10 tahun Anda bekerja di perusahaan A. Namun demikian, Anda tidak kunjung diangkat menjadi supervisor di perusahaan itu. Sebaliknya, si B, yang baru 3 tahun bekerja di perusahaan itu sudah diangkat menjadi supervisor.

Nah, karena hal itu, Anda pun berpikir/menduga bahwa sang manajer tidak suka (secara personal) terhadap Anda. Dan, untuk mendukung pikiran/dugaan itu, Anda pun mencari-cari bukti yang mengkonfirmasi/membenarkannya, sembari mengesampingkan bukti-bukti yang menyangkalnya.

Dalam contoh di atas, bias konfirmasi membuat Anda stres. Mengapa? Bias konfirmasi membuat Anda yakin bahwa sang manajer memang tidak menyukai Anda.

Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, bersikaplah seimbang. Carilah bukti yang mendukung dan bukti yang menyangkal pikiran Anda. Dengan demikian, pikiran Anda tidak bias/subjektif.

Lebih jauh, untuk menghindari bias konfirmasi, Daniel Kahneman, dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow, menyarankan agar kita selalu meragukan pikiran/persepsi/penilaian/dugaan kita terhadap suatu gejala.

Misal, dalam contoh di atas, Anda menduga bahwa sang manajer membenci Anda. Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, maka Anda harus meragukan kebenaran dugaan Anda itu.

Saat Anda ragu terhadap dugaan Anda, tentu Anda terdorong untuk mencari-cari bukti yang menyangkal dugaan itu. Benar, bukan?

Nah, pada gilirannya, bukti-bukti yang menyangkal dugaan Anda tersebut dapat mengurangi stres Anda. Mengapa? Dugaan bahwa sang manajer membenci Anda runtuh oleh bukti-bukti yang menyangkal dugaan itu. Dengan runtuhnya dugaan Anda, maka Anda pun berhenti berpikir bahwa sang manajer membenci Anda. Ini tentu melegakan Anda, bukan?

4. Labelisasi

Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni labelisasi. Labelisasi adalah cara berpikir di mana kita menyematkan label/identitas tertentu pada diri kita, padahal belum tentu label atau identitas itu menggambarkan diri kita yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, Anda melabeli diri Anda sendiri dengan label “pemalas”. Dengan label itu, Anda selalu merasa serba salah saat Anda berhalangan masuk kerja, entah karena sakit atau ada urusan lainnya.

Nah, untuk menghindari labelisasi, yakinkan diri Anda bahwa identitas seseorang senantiasa berubah; Tidak ada identitas yang tetap. Tidak ada pribadi yang secara alami pemalas. Anda tidak bekerja bukan lantaran Anda seorang pemalas, melainkan lantaran ada masalah lain seperti Anda sedang bosan, sedang tidak enak badan, takut gagal, dan sebab lainnya.

5. Mendiskualifikasi informasi positif

Suatu hari Anda menerima SMS dari teman lama Anda. Dalam SMS itu, ia menanyakan kabar Anda. Selain itu, ia juga berkata bahwa ia sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya.

Menanggapi SMS itu, Anda bukannya senang, tetapi justru marah. Mengapa Anda marah? Anda berpikir ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Nah, dalam ilustrasi di atas, Anda mendiskualifikasi informasi positif. Informasi positif apa yang Anda diskualifikasi? Informasi bahwa sang teman sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya. Bukan hanya itu, Anda juga merubah informasi positif itu menjadi informasi yang negatif, yakni bahwa ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Di sini, informasi negatif itulah yang membuat Anda marah, stres, dan kecewa. Padahal, informasi itu belum tentu benar.

Cara berpikir seperti di atas (diskualifikasi informasi positif) merupakan cara berpikir yang menyimpang dari kenyataan. Anda tahu benar (berdasarkan informasi yang Anda dapatkan dari SMS itu) bahwa sang teman merindukan Anda. Tetapi, Anda menyangkal informasi itu dan menggantinya dengan informasi negatif.

Demikian beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

Semoga, uraian di atas bermanfaat bagi Anda.

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>