Masih ingatkah Anda sewaktu masih kanak-kanak, apa kata yang paaaaling gemar Anda ucapkan kepada orangtua Anda? Apakah Anda gemar bertanya “mengapa” kepada orangtua Anda?
Lumrahnya anak-anak, yang masih belum mengetahui banyak hal tentang dunia, kita sering bertanya kepada orangtua “mengapa?”. Kita bertanya, “Mengapa langit biru?”, “Mengapa tidak muncul pelangi?”, “Mengapa orang di jalanan itu meminta-minta?”, “Mengapa aku tidak boleh bermain korek api?” dan mengapa-mengapa lainnya.
Terkadang, orangtua kita memberikan jawaban yang memuaskan. Tetapi, tak jarang pula mereka kewalahan menanggapi pertanyaan kita. Namun demikian, bisa dipastikan bahwa setiap orangtua senang melihat anaknya banyak bertanya, terlebih bentuk pertanyaannya adalah sebab-akibat, di mana kita ingin mengetahui sebab dari sebuah kejadian atau akibat dari sebuah perbuatan/kejadian. Orangtua senang melihat anaknya bertanya “Mengapa ini begini, mengapa ini begitu”. Mengapa? Karena, itu membuktikan bahwa sang anak memiliki rasa penasaran yang tinggi.
Bertanya dengan pola pertanyaan sebab-akibat merupakan bukti rasa penasaran sang anak sekaligus meningkatkan rasa penasaran itu. Pertanyaan itu meningkatkan rasa penasaran sang anak, di mana rasa penasaran ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan intelegensi/kecerdasan. Semakin anak sering bertanya “mengapa”, maka ia semakin tahu lebih banyak. Dan, semakin ia tahu lebih banyak, maka semakin cerdas pula ia.
Dengan alasan itulah, orangtua bahkan mendorong sang anak untuk banyak bertanya, terutama dengan pola pertanyaan sebab-akibat.
Yup! Bertanya dengan pola pertanyaan sebab-akibat (mengapa) sangatlah penting. Dan, itulah mengapa orangtua mendorong anaknya untuk terbiasa bertanya dengan pola pertanyaan itu.
Tetapi, mengapa sebab-akibat menjadi sangat penting? Karena, sepertinya, demikianlah cara dunia bekerja; Sepertinya, dunia kita bekerja dengan hukum sebab-akibat. Setidaknya, ini sebagaimana yang diungkap oleh Immanuel Kant, seorang filusuf besar asal Jerman.
Bahkan, menurutnya, bukan hanya dunia yang bekerja lewat mekanisme/hukum sebab-akibat. Menurutnya, bahkan otak manusia terrancang sedemikian sehingga untuk berpikir dengan cara/hukum itu.
Jadi, menurut Kant, apa yang menyebabkan kita berpikir dengan hukum sebab-akibat adalah karena memang DNA kita dirancang sedemikian rupa sehingga otak kita berpikir dengan hukum itu. Menurut Immanuel Kant, sebab-akibat intrinsik di dalam DNA kita. Oleh karena itulah, tanpa perlu diajari, kita senantiasa berpikir dengan hukum sebab-akibat.
Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan Kant di atas, yang pasti kita semua senantiasa berpikir dengan hukum sebab-akibat, bukan hanya saat masih kecil, melainkan juga saat kita telah dewasa. Kita senantiasa ingin mengetahui sebab dari setiap masalah yang kita hadapi. Dengan begitu, kita berharap kita mampu menghindari masalah itu ke depannya dengan melenyapkan/menghindari sebab tersebut.
Well, strategi itu merupakan strategi yang tepat. Adalah benar bahwa kita harus mengetahui akar penyebab kemiskinan untuk dapat melenyapkan kemiskinan; Kita harus mengetahui akar penyebab penyakit untuk dapat menyembuhkan seseorang dari penyakit; Kita harus mengetahui akar penyebab kejahatan jika kita ingin meminimalisir tindak kejahatan di masyarakat.
Namun demikian, sekalipun pola pikir sebab-akibat sangat superior, dalam beberapa kasus, metode berpikir ini dapat menjerumuskan kita pada kesia-siaan (waktu) dan memperparah depresi. Hal ini terutama berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak terelakkan seperti bencana alam, kematian orang-orang yang kita cintai, pengkhiatan, dan tindak kejahatan.
Kita bersedih dan berduka manakala musibah menimpa kita. Kita bersedih dan berduka manakala orang yang kita cintai meninggal dunia, manakala pasangan hidup berkhianat, atau ketika orang lain berbuat jahat kepada kita.
Menghadapi kematian orang-orang yang kita cintai, seringkali kita bertanya-tanya “mengapa”. Kita bertanya mengapa Tuhan memanggil mereka lebih dulu dibanding kita. Atau, mengapa Tuhan mengambil orang-orang yang kita cintai, bukan mengambil kepunyaan orang lain yang jauh lebih siap untuk kehilangan.
Dihadapkan pada musibah bencana, kita pun bertanya “mengapa”. Kita bertanya mengapa Tuhan menimpakan musibah itu pada kita, dan bukan pada orang lain, yang jahat.
Dihadapkan pada pasangan yang berkhianat, kia pun bertanya “mengapa”. Kita bertanya mengapa ia tega mengkhianati kita, padahal kita sudah berbuat baik kepadanya.
Demikian juga saat orang lain bertindak jahat kepada kita, kita bertanya, “Mengapa harus saya yang dia perlakukan seperti itu?” Atau, “Mengapa dia memperlakukan saya seperti itu?”
Sekarang, pertanyaannya, manakala orang yang Anda cintai meninggal, dan Anda bertanya kepada Tuhan mengapa Dia memanggil orang yang Anda cintai, apakah Anda mendapatkan jawaban dari Tuhan?
Well, Anggaplah, Anda mendapatkan jawaban dari Tuhan. Misalnya, menurut Anda, Tuhan menjawab bahwa Ia memiliki rencana yang baik di balik kematian orang yang Anda cintai.
Lantas, dengan jawaban itu, apakah Anda puas ketika ternyata tidak ada hikmah apa pun yang dapat Anda petik dari kematian itu? Jika Anda terus menerus dilanda peristiwa yang menyedihkan, maka kemungkinan besar, Anda tidak puas dengan jawaban di atas. Anda akan terus bertanya kepada Tuhan “mengapa”; Mengapa ia mencabut nyawa orang yang Anda cintai; Mengapa bukan Anda yang dicabut nyawanya; Mengapa Tuhan tidak mencabut nyawa orang lain yang memang ingin mati saja; Mengapa Tuhan terus menerus menimpakan musibah pada diri Anda. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hal yang sama juga berlaku saat Anda dikhianati oleh pasangan Anda dan oleh karena itu, Anda bertanya kepadanya, “mengapa”; Mengapa ia tega menyakiti Anda; Mengapa ia, orang yang selama ini Anda percayai, tega mengkhianati Anda.
Dan, apa pun jawaban pasangan Anda, niscaya Anda tidak akan pernah puas. Anda akan terus bertanya mengapa, mengapa, dan mengapa.
Mengapa demikian? Mengapa Anda tidak akan pernah puas dengan jawaban yang diberikan pasangan Anda? Karena, memang bukan jawaban yang Anda inginkan. Yang Anda inginkan adalah, kejadian itu tidak pernah terjadi; bahwa pasangan Anda tidak pernah mengkhianati Anda. Itulah mengapa, Anda tidak puas ketika pasangan Anda menjawab dengan berbagai jawaban.
Demikian juga saat orang yang Anda cintai meninggal dunia. Sebenarnya, Anda tidak butuh jawaban mengapa Tuhan mencabut nyawanya. Yang Anda inginkan bukanlah jawaban, melainkan bahwa kematian itu tidak pernah terjadi, bahwa orang yang Anda cintai masih hidup hingga sekarang.
Sekarang, pertanyaannya, jika Anda tidak butuh jawaban, apakah itu artinya Anda harus berhenti bertanya “mengapa”?
Yup! Anda harus berhenti bertanya. Mengapa? Karena, terus-menerus bertanya mengapa musibah menimpa Anda tidak akan banyak membantu. Apa yang bakal terjadi justru sebaliknya. Anda akan semakin terjerumus dalam kedukaan dan kesedihan.
Terkadang, musibah menimpa kita tanpa alasan. Yup, memang seringkali, musibah menimpa kita tanpa tujuan yang jelas. Musibah menimpa kita bukan karena kita dipilih untuk alasan tertentu. Tidak! Musibah menimpa kita bukan karena alam merencanakan sesuatu untuk kita. Musibah menimpa kita bukan karena kita layak mendapatkannya.
Musibah menimpa kita secara acak. Alam tidak pernah sengaja memilih kita untuk menderita. Semuanya terjadi secara kebetulan, bukan atas rencana dan alasan tertentu. Untuk itulah, terkadang, kita tidak perlu tahu mengapa musibah menimpa kita dan bukan menimpa orang lain.
Saat orang yang Anda cintai meninggal dunia, itu berarti memang sudah waktunya dia meninggal, tidak peduli apakah kematiannya membawa kebaikan/hikmah untuk Anda atau tidak.
Saat pasangan mengkhianati Anda, itu artinya memang demikianlah sifatnya (tidak bisa dipercaya). Itu artinya, Anda lebih baik meninggalkannya dan move on. Apa pun alasannya berkhianat kepada Anda, tetap saja pengkhianatan itu membuktikan bahwa ia tidak bisa dipercaya. Jikalau pun bukan Anda yang menjadi pasangannya, bisa dipastikan, ia akan tetap berkhianat kepada pasangannya.
Demikian juga saat orang lain berbuat jahat kepada Anda. Tidak ada alasan mengapa ia memilih Anda untuk diperlakukan jahat. Ia melakukan tindak kejahatannya bukan karena Anda pantas mendapatkan perlakukan itu, tetapi karena ia memiliki kesempatan untuk melakukannya kepada Anda. Jikalau pun ia tidak berjumpa dan menyakiti Anda, niscaya ada orang lain yang menjadi korban kejahatannya.
Dengan memahami kenyataan di atas, yakni bahwa musibah menimpa kita bukan karena kita layak mendapatkannya, melainkan memang secara acak musibah bisa menimpa siapa saja termasuk kita, maka kita pun niscaya berhenti bertanya mengapa harus kita yang tertimpa musibah, mengapa orang lain tega menyakiti kita. Di sini, terus-menerus bertanya mengapa kita tertimpa musibah membuat pikiran kita terus terfokus pada musibah itu. Dan, karena pikiran kita terfokus pada musibah itu, kita pun tidak dapat bangkit dan melanjutkan hidup/move on. Kita terjebak dalam duka karena musibah itu.
Untuk itulah, kita harus berhenti bertanya mengapa kita tertimpa musibah. Kita tertimpa musibah bukan karena apa-apa, bukan karena kita layak, bukan pula karena ada rencana di balik musibah itu. Kita tertimpa musibah semata-mata karena musibah senantiasa datang, menimpa siapa saja, termasuk kita.
Yang dapat kita lakukan adalah berusaha menghindari atau menerimanya, jika memang sudah terlanjut terjadi, bukan meratapinya.
Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.
Session expired
Please log in again. The login page will open in a new window. After logging in you can close it and return to this page.