Benner-4.pnj

 

Sudah menjadi rahasia umum globalisasi merupakan era persaingan. Di mana-mana, kita temui seolah semuanya adalah tentang bersaing. Di dunia kerja, percintaan, atau pun di dunia pendidikan, semua orang berlomba-lomba menjadi nomor satu.

Ada alasan mengapa persaingan menjadi titik tolak pergerakan umat manusia di era sekarang. Alasannya yaitu, persaingan menjadi sumber motivasi bagi umat manusia untuk bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. Atau, dalam kata lain, persaingan menjadi motivasi utama untuk perubahan menuju kemajuan.

Kita saksikan sudah bukti bahwa persaingan memang berdampak positif pada kemajuan umat manusia. Dalam bidang ekonomi, persaingan antara pebisnis yang satu dengan yang lain mendorong mereka untuk berlomba-lomba menginovasi dan memutakhirkan teknologi mereka.

Bahkan, dampaknya bukan hanya pada kemajuan teknologi, tetapi juga kemajuan dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di dalam kebudayaan, persaingan telah melahirkan budaya kebebasan atau lebih sering disebut budaya demokrasi. Hal ini sangat logis mengingat tujuan persaingan, yaitu kemajuan umat manusia, membutuhkan kebebasan alias demokrasi untuk mewujudkan tujuan itu.

Budaya demokrasi, dalam perkembangannya melahirkan budaya pluralisme, yaitu budaya yang menitikberatan bahwa kita tidak dapat memaksakan orang lain untuk merengkuh identitas yang kita miliki. Dalam kata lain, kita tidak dapat memaksa orang lain untuk menjadi seperti kita.

Dalam bidang ilmu pengetahuan, persaingan telah melahirkan disiplin-disiplin ilmu sosial yang berkaitan dengan demokrasi, liberalisme, dan pluralisme.

Wow! Keren sekali, bukan, dampak persaingan bagi kemajuan peradaban umat manusia?

Akan tetapi, terlepas dari dampak positif yang dilahirkannya, persaingan tetap memiliki sisi negatif yang merusak. Ini terutama ketika persaingan dipandang sebagai tujuan, bukan sebagai sarana.

Berbicara mengenai persaingan tentu saja tak lepas dari pembahasan mengenai perbandingan. Maksudnya, persaingan muncul manakala kita terbiasa membandingkan antara satu dengan yang lainnya. Pernyataan ini didasarkan pada teori perbandingan sosial (social comparison theory) yang dikemukakan oleh seorang pakar psikologi bernama Leon Festinger.

Dalam teorinya, Festinger menjelaskan bahwa salah satu dampak dari kebiasaan membanding-bandingkan yaitu persaingan antara individu satu dengan individu yang lain.

Lebih jauh, teori ini mengemukakan bahwa perbandingan (comparison) memiliki dampak yang negatif bagi psikologis individu. Salah satu dampak negatifnya bagi aspek psikologis individu yaitu munculnya social comparison bias.

Social comparison bias adalah kondisi di mana seseorang membandingkan kualitas dirinya dengan kualitas orang lain yang jauh lebih unggul dibanding dirinya, yang dengan pembandingan itu, ia menjadi rendah diri dan berpikir buruk tentang dirinya.

Nah, berdasarkan pada temuan itu, juga berdasarkan pada riset lainnya, pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengulas beberapa alasan mengapa Anda perlu berhenti membandingkan diri Anda dengan orang lain. Sebagai gantinya, Anda dapat membandingkan diri Anda dengan diri Anda sendiri di masa lampau.

Membandingkan diri kita dengan diri kita sendiri di masa lampau jauh lebih powerful sebagai sarana untuk memotivasi kita menuju sukses dan kebahagiaan. Ini dikarenakan, kita tidak akan rendah diri terhadap diri kita sendiri. Saat kita sadar bahwa masa lalu kita jauh lebih unggul dari kekinian kita, maka akan timbul kebanggaan di dalam diri kita atas diri kita sendiri. Kebanggan ini akan memacu kita untuk meningkatkan kembali kualitas kita seperti kualitas kita di masa lalu.

Sekarang, Anda sudah tidak sabar ingin tahu mengapa Anda harus berhenti membandingkan diri Anda dengan orang lain? Yuk, langsung saja kita simak tulisan ini hingga selesai.

Kehilangan kepercayaan diri

Seperti yang telah penulis sebutkan di atas, membandingkan kualitas diri kita dengan kualitas orang lain, terutama mereka yang lebih unggul dibanding kita melahirkan social comparison bias. Salah satu bentuk bias itu yaitu hilangnya kepercayaan diri kita.

Dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, kita ingin agar kita menjadi seperti dia atau melebihi keunggulannya. Akibatnya, kita akan menyalahkan diri sendiri manakala kita tidak sanggup menandingi keunggulan mereka. Kita akan merasa bahwa kualitas kita memang rendah, yang oleh karenanya tidak dapat menandingi keunggulan kualitas mereka. Pada ujungnya, kita pun menjadi rendah diri lantaran menyadari kenyatan itu.

Kecemasan

Wujud lain dari social comparison bias yaitu kecemasan. Saat kita membandingkan diri kita dengan orang yang jauh lebih unggul dari diri kita, senantiasa timbul kecemasan di dalam diri kita. Hal ini dikarenakan, kita takut kalau-kalau hasil dari usaha kita tidak sesempurna hasil usaha mereka yang lebih unggul dibanding kita.

Sebagai contoh, ketika belajar bermain piano, kita membandingkan diri kita dengan Mozart. Tentu saja, kemungkinan besar kita akan cemas dan kecewa terhadap kemampuan kita. Setiap kali kita salah memencet note, kita akan menyumpahserapahi diri kita. Mungkin, dalam hati, kita akan mencela diri kita sendiri, “Bego!” atau bentuk celaan lainnya.

Kehilangan fokus

Selain menimbulkan kecemasan dan perasaan rendah diri, membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih unggul juga membuat kita kehilangan fokus. Kehilangan fokus ini erat kaitannya dengan kecemasan yang kita alami.

Penjelasannya, saat kita mencemaskan hasil usaha kita (takut kalau-kalau tidak sesempurna hasil yang bisa dicapai orang lain), fokus kita justru teralihkan. Awalnya, saat kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih unggu, fokus perhatian kita tertuju pada usaha kita, pada strategi yang kita gunakan untuk meraih tujuan kita.

Nah, begitu kita membandingkan diri kita dengan orang lain yang jauh lebih unggul, maka fokus perhatian kita beralih ke hasil usaha kita. kita cemas kalau-kalau hasil usaha kita memalukan. Pada gilirannya, kecemasan ini membuat kita semakin kehilangan fokus.

Depresi

Dalam buku yang berjudul Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya, Dennis Greenberger dan Christine A. Padesky menjelaskan bahwa salah satu akar penyebab depresi adalah penilaian yang buruk tentang diri sendiri, dibarengi dengan penilaian positif mengenai orang lain.

Dengan penjelasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa depresi dapat muncul lantaran seseorang membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, di mana hasil dari pembandingan itu adalah kesimpulan bahwa orang lain lebih unggul daripada dirinya.

Nah, kesimpulan ini pada ujungnya membuatnya yakin bahwa ia tidaklah berharga, tidak seperti orang lain.

Menggantungkan diri pada orang lain

Saat kita membandingkan diri kita dengan orang lain, terutama mereka yang jauh lebih unggul dibanding kita, psikologis kita pun terdorong untuk menggantungkan diri kita kepada mereka.

Sikap ini muncul lantaran kita tidak mempercayai kemampuan diri kita sendiri. Alih-alih, kita lebih percaya dengan kemampuan orang lain.

Banyak contoh yang dapat dikemukakan untuk menggambarkan sikap ini. Misalnya, ada meeting di kantor Anda. Ceritanya, atasan Anda meminta Anda dan rekan-rekan Anda untuk menyampaikan gagasan.

Sebenarnya, Anda memiliki gagasan yang menarik. Tetapi, karena Anda menilai gagasan Anda tidak seunggul gagasan rekan Anda, Anda pun mengurungkan niat untuk menyampaikan gagasan Anda kepada atasan. Anda tidak percaya diri dengan gagasan Anda. Sebagai gantinya, Anda malah mendukung dan bersandar pada gagasan rekan Anda.

Sikap seperti ini pada ujungnya membuat Anda tidak mandiri dan malas untuk berpikir. Setiap kali dituntut untuk mencari gagasan atau solusi pemecahan masalah, Anda malas untuk memikirkan solusi yang tepat. Alih-alih, Anda langsung menunjuk rekan Anda untuk memikirkan solusi itu.

Jika sudah seperti itu, maka jangan kaget apabila lama-lama otak Anda tumpul. Yach, lama-lama, otak Anda akan tumpul lantaran Anda tidak pernah menggunakannya untuk berpikir.

Waduh, dampaknya sistemik!

Tidak produktif

Hmm, dari tadi, penulis membahas dampak negatif membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang jauh lebih unggul. Sekarang, pertanyaannya, apakah membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang kualitasnya jauh di bawah kita tidak membawa dampak buruk bagi kita?

Untuk menjawab itu, perhatikan penjelasan berikut. Saat kita membandingkan diri kita sendiri dengan orang yang kualitasnya di bawah kita, maka akan timbul kebanggan di dalam diri kita akan keunggulan kita sendiri. Nah, kebanggan ini niscaya membuat kita puas terhadap diri kita sendiri.

Kepuasan ini melemahkan motivasi kita. “Kita sudah melihat bahwa kita lebih unggul dibanding orang lain, lantas apa lagi yang diperlukan?” begitu pikir kita. Akibatnya, kita pun tidak terdorong untuk berubah jauh lebih maju.

Inilah dampak buruk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kebiasaan membanding-bandingkan membuat kita LUPA bahwa untuk merubah kehidupan kita menjadi lebih baik dan untuk membuat kemajuan di dalam diri kita, yang kita perlukan adalah melakukan serangkaian usaha untuk mencapai tujuan kita.

Jika kita terbiasa membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, maka manakala kita ingin berubah menjadi lebih baik, kita tidak perlu meningkatkan kualitas kita, kita tidak perlu menjadi lebih produktif. Yang kita perlukan hanyalah membandingkan diri kita dengan orang lain yang kualitasnya jauh di bawah kita. Dengan begitu, kita akan tampak jauh lebih baik.

Akan tetapi, dalam faktanya, kualitas kita tidak meningkat, atau dalam kata lain, kita tidak benar-benar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kita hanya “tampak” lebih baik.

Tidak menjadi diri sendiri dan kehilangan tujuan kita

Saat kita membandingkan diri kita dengan orang lain, terutama orang yang jauh lebih unggul dibanding diri kita, tidak jarang kita meninggalkan tujuan hidup kita dan berpaling kepada tujuan hidup orang itu.

Kita ingin menjadi seperti dia atau, kita ingin menjadi jauh lebih unggul di banding dia. Ini artinya, kita terlalu terobsesi dengan kehidupannya, dengan tujuan-tujuannya, dengan kebaikan-kebaikannya, dan dengan kepribadiannya. Semakin kita membandingkan diri kita dengannya, semakin kita menyadari bahwa dia jauh lebih unggul dibanding diri kita, maka semakin kita mengopi dirinya. Kita akan bertindak sebagaimana ia bertindak; Kita akan berpikir sebagaimana mereka berpikir; kita akan melakukan apa pun yang dia juga lakukan.

Nah, saat hal itu terjadi, jangan heran jika kita akan sering merasa frustasi. Kita akan frustasi lantaran kita terus menerus mengejar apa yang sebenarnya tidak menjadi tujuan hidup kita. Kita ingin menjadi orang lain, di mana tentu saja itu merupakan keinginan yang mustahil terwujud.

Demikian beberapa alasan Anda harus berhenti membandingkan diri Anda sendiri dengan orang lain. Ini bukan berarti, Anda tidak boleh bersaing dengan orang lain. Persaingan merupakan keniscayaan hidup di era globalisasi. Kita tidak dapat menghindar dari persaingan dalam hidup kita.

Justru dengan berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain, persaingan akan terasa jauh lebih mudah. Kita tidak lagi terfokus pada persaingan itu, melainkan pada diri kita sendiri. Kita hidup untuk diri kita, kita berjuang untuk mencapai kebahagiaan kita, bukan untuk menyaingi keunggulan orang lain.

Dengan tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, setidaknya kita tidak down manakala orang lain jauh lebih unggul dibanding kita. Kebahagiaan kita tidak bergantung pada unggul atau tidaknya kita dibanding orang lain.

Sekarang, bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda mempertimbangkan apa yang penulis jelaskan di atas? Jangan lupa untuk berkomentar.

Benner-4.pnj

 

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

>