Beberapa tahun belakangan ini, dunia dipenuhi dengan isu-isu terorisme dan fundamentalisme yang sangat mengerikan. Bermula dari tragedi 9/11 di Amerika Serikat, disusul aksi pemboman di berbagai belahan dunia, hingga yang terakhir ini sedang santer dibicarakan, yakni tumbuhnya gerakan yang bernama ISIS di Iraq.
Sejauh yang kita ketahui, anggota kelompok fundamentalisme berasal dari berbagai latar belakang. Terdakwa pengeboman di Indonesia, misalnya, terdiri dari orang yang terpelajar seperti Dokter Azhari dan Noordin M. Top, serta kalangan yang kurang terpelajar seperti Amrozi dan Imam Samudra. Di samping itu, ada pula anggota yang berasal dari kalangan muda yang masih duduk di bangku kuliah.
Perbedaan latar belakang seperti di atas membuat kita bingung mengidentifikasi apa yang mendasari keputusan mereka untuk bergabung dengan kelompok-kelompok fundamentalisme. Apa yang nampak di hadapan kita hanyalah bahwa mereka tersatukan dalam wadah tertentu, yakni wadah yang mengatas-namakan agama tertentu.
Akan tetapi, apakah benar agama menjadi alasan untuk bergabung dengan kelompok fundamentalisme dan melakukan aksi-aksi yang membahayakan diri sendiri dan orang lain?
Nah, artikel ini mencoba untuk mengungkapnya.
Didasarkan pada sudut pandang psikologi, penulisan artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan salah satu kelompok tertentu.
Semoga, hadirnya artikel ini dapat memberikan manfaat bagi Anda.
Cemas akan Ketidakpastian Hidup
Dari judul di atas, kita dapat memprediksi apa yang akan dibahas dalam artikel ini. Yup! Artikel ini membahas hubungan antara fundamentalisme dan ketidakpastian hidup.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, salah satu motif yang mendorong seseorang untuk bergabung dengan kelompok terorisme dan fundamentalisme yaitu rasa cemas terhadap ketidakpastian. (http://users.adam.com.au/bstett/ReligFundamentalism40Jan95.htm).
Kita semua paham bahwa dunia sekarang ini penuh dengan ketidakpastian hidup. Semenjak krisis ekonomi global yang imbasnya sampai di Indonesia pada tahun 1997-1998, kondisi ekonomi dunia tidak bisa pulih kembali seperti kondisi sebelum krisis. Semakin hari, kesejahteraan hidup masyarakat semakin merosot. Mereka yang tadinya kalangan berada, sekarang menjadi kalangan bawah. Hingga saat ini, subsidi untuk rakyat terus dipangkas. Harga-harga melambung tinggi, tarif listrik dan pendidikan pun ikut-ikutan melonjak.
Kemerosotan juga terjadi di dalam pencaharian: Perusahaan alih daya menjamur, yang artinya yaitu semakin banyak perusahaan yang memilih menggunakan tenaga alih daya daripada karyawan tetap. Dan, alih daya berarti ketidakpastian kerja. Yup! lagi-lagi ketidakpastian!
Melihat kenyataan hidup yang penuh ketidakpastian ini, terdapat dua persepsi yang bisa muncul di dalam benak kita. Yang pertama yaitu, bisa jadi kita memandang ketidakpastian sebagai ancaman. Atau, bisa juga, kita memandang ketidakpastian sebagai tantangan. Pandangan ini melahirkan optimisme dan antusiasme dalam diri kita. Sementara itu, pandangan yang pertama melahirkan pesimisme dan kecemasan di dalam diri kita. (http://www.psychologytoday.com/blog/science-and-sensibility/201308/uncertainty-anxiety-indecision-and-procrastination).
Ketidakpastian Hidup dan Agama
Sebagaimana dijelaskan di atas, ketidakpastian melahirkan pesimisme, keresahan, dan kecemasan di dalam diri kita. Kecemasan dan keresahan ini mendorong kita untuk mencari-cari jalan keluar dari ketidakpastian hidup. Dan, agama menjadi salah satu alternatif untuk keluar dari ketidakpastian itu.
Mengapa agama? Karena agama menawarkan keamanan dan kepastian. Ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para filosof abad 19: Menghadapi antagonisme alam dan ketidakpastian hidup, kita butuh kabar yang dapat menenangkan hati kita. Dan, kabar itu datang dari kitab suci, yang mengabarkan bahwa Tuhan akan menjamin hidup kita. Mempercayai kabar itu jauh lebih menenangkan ketimbang mempercayai bahwa hidup ini sama sekali penuh ketidakpastian; Bahwa tidak seorang pun yang dapat menjamin keamanan hidup kita.
Selain itu, agama juga menawarkan kepercayaan diri dan makna hidup.
Agama merupakan ajaran yang memuat kewajiban dan larangan. Dan, salah satu kewajiban dalam beragama yaitu misi untuk menyebarkan ajaran agama kepada orang lain; misi untuk menyelamatkan dan menyadarkan orang lain tentang kebenaran ajaran tersebut.
Dan, siapa pun yang mengemban misi mulia itu niscaya merasa menjadi manusia-manusia yang terpilih, yang dipercaya untuk mengemban misi itu. Hal ini pada ujungnya meningkatkan kepercayaan dirinya. Selain itu, mengemban misi ini membantunya menemukan makna kehidupan. Agama memberikan kita arah/makna hidup yang jelas, yakni arah hidup yang sesuai dengan ajaran agama.
Nah, oleh karena itulah, kembali pada agama, seorang pelarian (yang lari dari ancaman ketidakpastian) senantiasa mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, setelah kepercayaan diri itu direnggut oleh kenyataan hidup yang pahit (menjadi pengangguran, sulitnya mencari pekerjaan, perlakuan tidak adil, dst). Ia juga menemukan makna/tujuan hidupnya kembali, setelah makna/tujuan hidupnya dihancurkan oleh kenyataan hidup.
Agama dan Terorisme
Sampai di sini, masih ada pertanyaan yang belum terjawab, yakni mengapa tindakan teror dan fundamentalisme berdasarkan agama muncul. Apa hubungan antara agama, kecemasan, dan fundamentalisme?
Di depan, telah dijelaskan bahwa kecemasan terhadap ketidakpastian hidup mendorong seseorang kembali kepada agama karena agama menawarkan kepastian dan keamanan. Selain itu, telah dijelaskan pula bahwa agama (ayat-ayat kitab suci) mewajibkan seseorang untuk mengemban misi keagamaan, yang bisa berupa misi untuk menyebarkan ajaran, menyampaikan kebenaran, melawan ketidakadilan, melawan kekuasaan yang zalim, dan sebagainya.
Dan, salah satu misi agama, yakni melawan kekuasaan yang zalim dan ketidakadilan tampak sesuai dengan kondisi mereka sekarang.
Kondisi apa yang sedang mereka hadapi sekarang? Tentu saja kondisi di mana hidup mereka terombang-ambing, tidak tentu arah lantaran ketidakpastian hidup. Ketidakpastian hidup, menurut mereka disebabkan oleh penguasa yang zalim, kesewenang-wenangan, dan tindakan berfoya-foya di atas penderitaan orang lain.
Agama menjadi pembenaran bagi mereka untuk memerangi siapa pun yang mereka anggap sewenang-wenang, zalim, dan berfoya-foya di atas penderitaan orang lain.
Jadi, pada dasarnya, manakala kita tidak menemukan jalan keluar dari ketidakpastian hidup, kecemasan terhadap ketidakpastian hidup dapat mengambil dua bentuk. Pertama, pelarian/kembali kepada agama. Kedua, memerangi semua hal yang dianggap sebagai akar ketidakpastian hidup. Dan, kebetulan sekali, ayat-ayat kitab suci dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk memerangi hal-hal yang dianggap sebagai akar ketidakpastian hidup itu.
Jika yang diperangi adalah kelompok-kelompok yang zalim dan sewenang-wenang, lantas mengapa tindakan teror seringkali memakan korban yang acak? Pengeboman di Bali, hotel, atau pun pusat perdagangan membuktikan bahwa kaum fundamentalis tidaklah menyasar pada para penguasa yang zalim. Sasaran mereka justru pada individu/orang awam yang tidak memiliki power dan pengaruh terhadap kebijakan politik dan ekonomi.
Salah satu jawaban yang mungkin yaitu, menurut mereka, mereka telah menyasar sasaran yang tepat. Menurut mereka, orang yang sedang bersenang-senang di Bali, orang-orang yang sedang melakukan aktivitas perdagangan di WTC adalah biang ketidakpastian hidup mereka.
Gerakan di Luar Agama
Sebenarnya, selain agama, terorisme/fundamantelisme dapat juga tersalurkan lewat gerakan-gerakan di luar agama. Dalam konteks ini, terorisme mengambil bentuk perampokan, pencurian, fasisme, dan tindakan kriminal lainnya. Semua berasal dari akar yang sama: kegagalan menemukan jalan keluar dari ketidakpastian hidup.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, setidaknya kita mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Dihadapkan pada ketidakpastian hidup, ada dua reaksi yang mungkin muncul, yakni kita memandang ketidakpastian hidup sebagai ancaman. Atau, kita memandang ketidakpastian hidup sebagai tantangan.
2. Memandang ketidakpastian hidup sebagai ancaman melahirkan kecemasan di dalam diri kita. Sementara itu, memandang ketidakpastian hidup sebagai tantangan melahirkan antusiasme dalam diri kita.
3. Rasa cemas terhadap ketidakpastian hidup mendorong orang untuk mencari jalan keluar dari masalah itu.
4. Manakala jalan keluar tidak ditemukan, maka orang yang bersangkutan kembali kepada agama. Atau, jika tidak, ia akan mengambil tindakan teror, seperti pemboman, perampokan, fasisme, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya.
5. Agama, selain sebagai tempat kembali, juga dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan aksi-aksi teror.
6. Pembenaran aksi teror lewat agama terjadi manakala yang bersangkutan menggunakan ayat-ayat suci untuk memerangi kelompok yang dianggap sebagai sumber ketidakpastian hidup.
Demikianlah uraian mengenai terorisme, fundamentalisme, dan ketidakpastian hidup yang dapat penulis sampaikan kepada Anda. Pada artikel berikutnya, penulis akan mencoba untuk mengungkap beberapa cara untuk menghindarkan diri dari terjerumus fundamentalisme dan terorisme. Untuk itu, terus bergabung dengan Aquariuslearning 😀