Benner-1.png

 

 

Dulu, penulis sering berkhayal memiliki kemampuan dalam berbagai bidang. Penulis ingin hari-hari penulis diisi dengan banyak kegiatan, dari latihan melukis, design grafis, musik, komputer, bela diri, dan maaaaasih banyak lagi.

Selain itu, penulis juga berkeinginan untuk menguasai berbagai bidang keilmuan, mulai dari filsafat, matematika, ekonomi, politik, biologi, kimia, fisika, bahkan sastra.

Memiliki kemampuan dalam berbagai bidang memang menyenangkan. Selain bermanfaat bagi orang lain, juga bermanfaat bagi diri sendiri. Kita bisa bekerja di berbagai ranah pekerjaan. Kita tak perlu takut menjadi pengangguran. Satu kesempatan kerja hilang, masih tersedia kesempatan lain di bidang lain, yang berbeda dari bidang pekerjaan sebelumnya.

Memiliki banyak kemampuan juga dapat menjadi nilai lebih yang menunjang eksistensi kita. Akan banyak orang yang mengenal kita sebagai multitalenta.

Yach, begitulah, banyak hal positif yang dapat diraih saat kita menguasai keterampilan dalam berbagai bidang.

Namun demikian, ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu bagaimana cara mewujudkan keinginan-keinginan itu. Jika tidak tahu cara mewujudkannya, justru keinginan itu akan memperlemah produktivitas kita.

Mengapa demikian?

Karena, banyaknya keinginan membuat kita bingung. Kita bingung menentukan keinginan mana yang akan diwujudkan terlebih dulu. Kita bingung mengatur waktu untuk mewujudkan semua keinginan itu. Belum lagi, kita harus mempertimbangkan apakah kita berbakat dalam bidang itu ataukah tidak.

Jangan sampai, keinginan-keinginan itu membuat kita kehilangan fokus. Satu pekerjaan belum selesai, kita sudah tak sabar mengerjakan lainnya. Satu latihan belum selesai, pikiran kita mengembara di latihan lainnya. Alih-alih menjadikan kita multitalenta, hal itu justru membuat semuanya berantakan. Bahkan, lebih parah lagi, membuat kita stres dan frustrasi!

Hal yang sama juga berlaku saat kita berada di tempat kerja atau pun di rumah. Di kantor, karena banyak tugas yang harus diselesaikan, kita menjadi bingung tugas mana yang harus dikerjakan terlebih dulu. Di rumah, melihat kamar berantakan, baju belum dicuci, halaman belum disapu, kita pun ingin segera membereskan semuanya. Yup! Membereskan semuanya hingga rumah tampak bersih dan rapi!

Masalah muncul saat kita hendak memulai tugas kita. Melihat semuanya tampak kacau, kita bingung, bagian mana dulu yang harus dibereskan. Kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan.

Hehehe, bingung apa yang harus dilakukan?

Nah, tujuan artikel ini adalah untuk menjawab kebingungan itu.focus

Kunci untuk mengurai kebingungan karena terlalu banyak aktivitas yang harus dikerjakan adalah FOKUS.

Dalam kaitannya dengan beraktifitas, berfokus berarti memiliki konsentrasi yang mendalam pada hanya satu kegiatan. Saat perhatian kita terpecah, seperti saat kita mendapatkan banyak tugas yang harus diselesaikan, itu artinya kita kehilangan fokus.

Kehilangan fokus merupakan penyakit yang tidak tampak, tetapi tahu-tahu dampaknya sangat besar. Produktivitas kita dipengaruhi oleh kemampuan kita untuk tetap fokus. Semakin lemah fokus, maka produktivitas kita semakin rendah. Sebaliknya, semakin kuat fokus, produktivitas kita semakin tinggi.

Lantas, bagaimana caranya agar tetap fokus pada aktivitas kita?

Sebelum menjawab itu, mari kita telusuri dulu apa saja penyebab hilangnya fokus.

Penyebab Hilang Fokus

Dalam bukunya yang berjudul The Practicing Mind: Developing Focus and Discipline in Your Life, Thomas Sterner menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan kita kehilangan fokus. Apa sajakah itu?

1. Mindset Result-Oriented

Result-oriented adalah pola pikir yang menganggap bahwa hasil lebih penting daripada proses. Orang dengan pola pikir ini menganggap bahwa bagaimana pun prosesnya tidaklah penting. Apa yang penting adalah hasil yang maksimal.

Dalam ranah pekerjaan, penerapan mindset ini sebagai strategi manajemen yang berlaku untuk sumber daya manusianya memiliki keunggulan tersendiri. Karyawan dibebaskan untuk bekerja sesuai dengan caranya sendiri, tak terikat aturan waktu dan tempat yang ditetapkan oleh perusahaan. Dengan begitu, karyawan memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai dengan standarnya.

Persoalannya berbeda ketika mindset ini diterapkan dalam kaitannya dengan melakukan aktivitas. Saat melakukan aktivitas, orang yang memiliki mindset ini akan terus-menerus berkutat pada hasil. Ia ingin segera mencapai hasil dari aktivitas yang ia kerjakan. Pikirannya bukan terhanyut pada aktivitas itu sendiri melainkan pada hasil yang ingin segera diperolehnya.

Oleh Thomas Sterner, saat melakukan aktivitas, orang dengan mindset result-oriented digambarkan selalu berpikir seperti berikut: “I’ll be happy when X happens.” Di tengah-tengah melakukan aktivitas, pikiran orang yang memiliki mindset result-oriented selalu melayang-layang pada hasil. Dalam hati, mereka senantiasa bergumam, “Saya akan bahagia manakala pekerjaan ini selesai.

Artinya, saat pekerjaan itu belum selesai, mereka belum bahagia. Nah, perasaan belum bahagia inilah yang mengakibatkan mereka tidak fokus. Mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaan mereka agar mereka bahagia.

2. Work VS Play

Penyebab hilangnya fokus yang kedua adalah cara kita memandang suatu aktivitas. Sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Sterner dalam buku The Practicing Mind: Developing Focus and Discipline in Your Life, kita senantiasa membagi aktivitas ke dalam dua kategori. Kategori yang pertama yaitu work activity (kerja), sedangkan kategori yang kedua yaitu play atau recreational activity (permainan).

Kita menganggap suatu aktivitas sebagai work activity (pekerjaan) manakala aktivitas tersebut menyangkut sumber penghidupan kita. Sementara itu, kita memandang suatu aktivitas sebagai recreational activity (permainan) manakala aktivitas tersebut tidak menyangkut sumber penghidupan kita.

Pembagian aktivitas menjadi dua kategori inilah yang menyebabkan kita kehilangan fokus. Kita tidak menyukai aktivitas yang tergolong work activity (pekerjaan). Hal ini dikarenakan, saat melakukan aktivitas tersebut, kita dituntut untuk membuat keputusan yang tepat. Keputusan yang salah akan mengancam hidup kita. Ini mengakibatkan pikiran kita tertekan dan stres, takut kalau-kalau keputusan yang kita buat ternyata salah. Pikiran kita bukan tertuju pada aktivitas itu sendiri, melainkan pada hasil yang akan dicapai. Kita takut kalau-kalau hasil dari aktivitas tersebut tidak sesuai yang kita harapkan.

Selain itu, kita tidak suka melakukan work acitivity (pekerjaan) karena secara psikologis, pikiran bawah sadar kita ingin segera menyelesaikan aktivitas tersebut dan beralih ke aktivitas lainnya yang tidak melibatkan keputusan penting, yaitu aktivitas rekreasional. Hal ini terjadi karena kita tidak nyaman dengan work acitity.

3. Multitasking

Pada artikel sebelumnya yang berjudul Cara Mengatasi Stres dengan Mudah: Hindari Multitasking!, penulis menjelaskan bahwa aktivitas multitasking adalah aktivitas yang terdiri dari dua atau lebih tugas yang dilakukan dalam waktu bersamaan.

Adapun mekanismenya, para pakar menjelaskan, sebenarnya otak kita tidak dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam otak bukanlah aktivitas multitasing melainkan serial tasking (melakukan tugas berangkai).

Bagian otak yang melakukan aktivitas (serial tasking) tersebut tidak dapat melakukan semua tugas dalam waktu yang bersamaan; Bagian otak tersebut melakukannya dengan terus menerus berganti dari satu tugas ke tugas lainnya dengan sangat cepat.

Pertanyaannya, jika bagian otak terus menerus beralih dari satu tugas ke tugas lainnya, mungkinkah bagian itu bisa fokus saat kita melakukan aktivitas multitasking (serial tasking)?

Jawabannya, tentu saja tidak! Alih-alih fokus, bagian otak tersebut justru mengalami kebingungan, yang pada akhirnya memicu pelepasan hormon stres.

Expert Mind, Tidak Berada di Waktu Sekarang

Setelah mengetahui beberapa penyebab hilangnya fokus sebagaimana dijelaskan di atas, lantas bagaimana agar tetap fokus bekerja?

Masih dalam buku The Practicing Mind, Thomas Sterner menjelaskan bahwa ketiga penyebab hilangnya fokus seperti di atas pada dasarnya berasal dari satu penyebab umum, yakni expert-mind (pikiran ahli) yang menjadi kebiasaan berpikir kita.

Dalam tradisi Zen, expert-mind berarti pikiran yang terbiasa membuat persepsi dan penilaian. Persis seperti seorang ahli (expert), kita (yang memiliki expert-mind) senantiasa membuat persepsi dan penilaian atas apa yang kita lihat, dengar, rasakan, atau kita lakukan.

Kebalikan dari expert-mind adalah beginner’s mind (pikiran pemula). Beginner’s mind yaitu pikiran yang netral, yang belum mengetahui apa pun, yang oleh karenanya belum dapat melakukan penilaian dan membuat persepsi terhadap sesuatu.

Saat kita masih pemula (beginner) dalam suatu kegiatan, sebagai contoh saat kita belum bisa berjalan, berjalan membutuhkan konsentrasi mendalam. Bahkan, demi berkonsentrasi, sampai-sampai kita menghiraukan kejadian di sekeliling kita. Pikiran kita terhanyut pada aktivitas berjalan. Tidak ada waktu, bahkan sedetik pun untuk mengalihkan perhatian pada hal lainnya. Tidak pula ada waktu untuk berprasangka dan menilai apa yang sedang kita lakukan. Pikiran kita kosong sama sekali. Apa yang ada hanya rasa penasaran bagaimana melakukan kegiatan tersebut.

Keadaannya berbeda ketika kita sudah mampu berjalan dengan lancar; Kita sudah tidak lagi mampu berkonsentrasi dalam aktivitas tersebut. Saat kita berjalan, pikiran kita sudah tidak lagi berkutat pada aktivitas tersebut, melainkan pada hal lainnya.

Saat kita telah ahli dalam melakukan kegiatan tertentu, kita kehilangan beginner’s mind kita!

Mengapa?

Karena, kita sudah tidak lagi penasaran dengan aktivitas tersebut. Kita sudah sangat ahli melakukannya. Bahkan, saking ahlinya, kita bisa melakukan aktivitas itu secara otomatis.

Saat kita sudah ahli dalam melakukan aktivitas tertentu, kita kehilangan beginner’s mind. Dan, sebagai gantinya, muncul expert mind di dalam pikiran kita.

Dengan expert mind, kita terbiasa melakukan penilaian dan prasangka atas apa yang sedang kita lakukan. Sebagai contoh, saat sedang menyapu halaman, kita menilai aktivitas itu (menyapu) sebagai aktivitas yang membosankan, sepele, atau bahkan KONYOL!

Saat melakukan kegiatan yang melibatkan keputusan penting, expert mind kita menilai apa yang kita kerjakan merupakan pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan sembarangan. Akibatnya, muncul ketakutan di dalam diri kita kalau-kalau kita melakukan kesalahan.

Nah, penilaian-penilaian seperti itulah yang menjadikan kita tidak fokus mengerjakannya. Kita ingin agar aktivitas itu segera berakhir dan beranjak ke aktivitas lainnya yang lebih menyenangkan, lebih bernilai, atau lebih penting di mata kita.

Selain membuat kita kehilangan fokus, penilaian-penilaian seperti itu membuat kita tergoda untuk melakukan aktivitas secara multitasking. Dan, aktivitas multitasking pada akhirnya juga membuat kita kehilangan fokus.

Singkatnya, expert mind membuat pikiran kita melayang-layang, bukan di sini, sekarang ini (in the present).

Beginner’s Mind, Bertindak Seperti Anak Kecil, Berada di Saat Ini

pouring waterDari melihat penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa expert mind (biasanya saat kita sudah ahli atau saat kita sudah dewasa) membuat kita tidak fokus. Sebaliknya, beginner’s mind (biasanya saat kita masih kecil atau saat kita masih pemula) meningkatkan fokus kita. Jadi, agar dapat meningkatkan fokus, kita harus memiliki kebiasaan berpikir beginner’s mind.

Kebiasaan berpikir beginner’s mind secara alami dimiliki oleh anak kecil. Perhatikanlah anak-anak di mana pun mereka berada. Apa pun yang mereka lakukan, mereka senantiasa menganggapnya hal yang penting. Sesuatu yang menurut kita tidak penting, seperti menuang air ke dalam gelas, menjadi sangat penting bagi anak kecil.

Sekarang, pertanyaannya, mampukah kita menumbuhkan kembali beginner’s mind di dalam diri kita? Bagaimana caranya agar kita kembali seperti anak kecil yang penuh penasaran, selalu menikmati, dan terlarut pada setiap aktivitas yang mereka lakukan? Singkatnya, bagaimana menjadi seperti anak kecil yang terlarut dalam present (saat ini)?

Dalam tulisan ini, penulis akan mengulas cara meningkatkan fokus sebagaimana dijelaskan Thomas Sterner dalam buku The Practicing Mind: Developing Focus and Discipline in Your Life. Selain itu, penulis juga akan menambahkannya dengan sedikit dari hasil riset yang penulis lakukan. Untuk itu, mari kita simak bab selanjutnya.

Fokus, Berada di Saat Ini, Seperti Anak Kecil

Dari apa yang sudah dijelaskan di atas, kita tahu penyebab hilangnya fokus adalah pikiran-pikran kita. Expert mind membuat pikiran kita melayang-layang, bukan tinggal dan larut di saat ini. Jadi, yang harus kita lakukan adalah mengendalikan pikiran-pikiran kita, menariknya kembali ke sini, di saat ini.

Akan tetapi, bagaimana caranya mengendalikan pikiran yang mengembara ke mana-mana tanpa kontrol kita?

Self-Awareness

Kita harus memiliki self-awareness, kesadaran diri, ungkap Sterner. Saat kita berada di expert mind, sejatinya kita sedang berada di dalam pikiran-pikiran kita (being in our thoughts). Sebaliknya, saat kita memiliki self-awareness, kita berada di luar pikiran-pikiran kita; Kita menjadi observer (pengamat) dari pikiran-pikiran kita. Atau, dalam kata lain, saat kita memiliki self-awareness, kita dapat melakukan instrospeksi diri.

Dengan self-awareness, kita mengintrospeksi pikiran-pikiran kita. Dengan demikian, kita dapat mengontrolnya dan menariknya kembali ke sini, saat ini.

Sebagai contoh, saat kita sedang menyapu, expert mind kita menilai, “Huh, bosen, kerja begini mulu. Monoton!” Nah, saat pikiran kita menilai, aktifkan self-awareness untuk berintrospeksi diri. Kita akan mendapati self-awareness kita berkata, “Ya ampuuuun! Tidak, tidak! Ini bukan kerjaan yang ngebosenin. Ini menyenangkan,” atau “Hush! Diem, expert mind. Fokus!”

Jadi, self-awareness berperan untuk mengingatkan kembali pikiran kita untuk fokus pada aktivitas yang sedang kita lakukan.

Tiga S

Di samping memiliki self-awarness, Thomas Sterner juga menjelaskan bahwa fokus dapat diraih dengan Empat S. Akan tetapi, karena S yang pertama (simplify) hampir sama dengan S yang kedua (small), maka di sini, penulis akan menyederhanakannya menjadi 3 S. Terapkan self-awareness dalam Tiga S ini.

Tiga S yaitu simplify, short, dan slow.

1. Simplify

Simplify berarti membagi aktivitas menjadi beberapa komponen kecil. Apabila kita sedang memasak, simplify berarti membagi aktivias memasak menjadi beberapa bagian seperti menyiapkan peralatan memasak, dilanjutkan dengan mengiris sayuran, dilanjutkan lagi dengan mengiris atau menumbuk bumbu, kemudian, baru memasaknya.

Lakukan keempat langkah memasak itu satu persatu. Saat Anda sedang menyiapkan peralatan memasak, kesampingkan dulu bumbu, sayuran, dan minyak yang tercecer di dapur. Fokuskan diri Anda pada peralatan memasak.

Jika Anda tergoda untuk, misalnya menyebutkan bumbu apa saja yang dibutuhkan untuk membuat masakan itu, segera sadari (aktifkan self-awareness Anda) bahwa yang Anda lakukan sekarang adalah menyiapkan peralatan memasak. Anda dapat membalas pikiran Anda yang mengajak untuk menyebutkan bumbu-bumbu yang diperlukan dengan mengatakan dalam hati, “Stop! Sekarang fokus ke peralatan masak. Bagian bumbu ada sesi tersendiri, nanti.”

2. Short

Short berarti membagi waktu ketika melakukan aktivitas. Short dapat diterapkan terutama untuk tugas yang membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaannya. Sebagai contoh saat Anda membersihkan gudang yang penuh dengan barang-barang tak terpakai.

Bayangkan Anda berencana untuk membersihkan gudang. Saat Anda memasuki gudang tersebut, Anda kebingungan harus memulai dari mana. Apa yang harus Anda lakukan adalah membagi aktivitas Anda (membersihkan gudang) menjadi beberapa bagian. Dan, bagi waktu untuk masing-masing bagian. Misalkan, Anda membagi aktivitas menjadi 3 bagian, yaitu memasukkan barang-barang bekas ke dalam kardus, menyusun kardus-kardus tersebut, dan menyapu gudang.

Bagilah waktu untuk melakukan tiga aktivitas tersebut. Hari pertama, gunakan untuk memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Siapkan waktu, misalnya 10 menit setiap harinya untuk memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Jika di hari pertama, 10 menit itu tidak cukup untuk memasukkan semua barang ke dalam kardus, jangan perpanjang waktu. Lebih baik, Anda stop pekerjaan itu dan melanjutkannya esok hari. Hal ini ditujukan agar Anda tidak merusak aturan yang sudah Anda buat sendiri. Selain itu, hal ini juga ditujukan agar Anda tidak bosan dan kehilangan fokus.

Setelah tugas memasukkan barang ke dalam kardus selesai, Anda dapat melanjutkannya dengan menyusun kardus-kardus tersebut. Terapkan aturan waktu yang sama dengan saat Anda melakukan tugas memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Dan, selanjutnya, setelah tugas menyusun kardus selesai, lanjutkan dengan tugas menyapu gudang. Terapkan juga aturan waktu yang sama dengan saat Anda melakukan tugas sebelumnya.

3. Slow

Setelah membagi aktivitas menjadi beberapa bagian, dan menerapkan aturan waktu tertentu (setelah menerapkan simplify dan short), kerjakan aktivitas-aktivitas tersebut dengan pelan-pelan. Jika pikiran Anda melayang-layang ke aktivitas lain, ingatkan kembali ia untuk berfokus pada aktivitas yang sedang Anda kerjakan.

Paradoks Self-Awareness

Di sini, Anda perlu berhati-hati terhadap self-awareness Anda. Dalam buku The Practicing Mind, Thomas Sterner mengingatkan kita bahwa self-awareness mengandung sebuah paradoks. Yup! Paradoks yaitu bahwa self-awareness justru dapat membuyarkan konsentrasi kita.

Tanda kita terlarut dalam aktivitas, tanda kita berada di saat ini yaitu kita tidak sadar kita sedang terlarut di dalam aktivitas kita. Begitu kita tersadar bahwa kita sedang berkonsentrasi, saat itu juga koenstrasi buyar.

Pernahkah Anda mengalami hal itu? Coba ingat kembali bagaimana rasanya saat Anda sedang dalam kosentrasi penuh, tiba-tiba Anda tersadar bahwa Anda sedang berkonsetrasi.

Penulis yakin, Anda tidak lagi berkonstrasi dengan apa yang sedang Anda kerjakan. Begitu hal itu terjadi, pikiran Anda akan kembali melayang-layang pada penilaian-penilaian yang membuat Anda merasa bosan, jenuh, dan ingin agar aktivitas tersebut segera berakhir. Dan, hal itu saaaangat menjengkelkan!

Lalu, apa yang harus Anda lakukan jika tiba-tiba Anda tersadar sedang berkonsentrasi penuh?

Don’t try to enjoy it,” nasihat Sterner. Jangan coba untuk menikmati aktivitas yang sedang anda lakukan.

Mengapa?

“…because in that effort, you are bringing that emotions and struggle in your effort,”jawab Sterner. Saat kita berusaha untuk menikmati apa yang kita lakukan, kita melibatkan emosi. Emosi itu melahirkan perasaan bosan dan tidak iklas, yang pada akhirnya justru membuat kita kesulitan berfokus.

Berhenti Sejenak

Sediakan waktu sejenak untuk beristirahat antara dua aktivitas yang Anda lakukan. Sebagai contoh, Anda sedang membersihkan gudang. Katakanlah Anda telah menerapkan simplify, short, dan slow. Beristirahatlah antara tugas memasukkan barang ke dalam kardus dan menyusun kardus. Sediakan waktu, misalnya 5 atau 10 menit untuk beristirahat.

Hal ini ditujukan agar Anda tidak gampang merasa capai dan bosan.

Sadari Arti Kesempurnaan

Terakhir, rubahlah persepsi Anda. Dalam buku The Practicing Mind, Thomas Sterner menjelaskan bahwa pola pikir result-oriented yang membuat pikiran kita melayang-layang pada hasil, yang pada ujungnya membuat kita galau kalau-kalau hasilnya mengecewakan, terbentuk karena pengaruh budaya modern sekarang ini.

Di dalam budaya modern sekarang, di mana kita menjadi pasar bagi produk-produk kapitalis, kita selalu dijejali dengan iklan yang menawarkan berbagai macam produk. Oleh pihak pembuat iklan, produk-produk tersebut diklaim sebagai faktor yang dapat membuat kita bahagia. “Belilah barang ini, maka hidup Anda akan sempurna,” demikian iklan meyakinkan kita.

Apa yang terjadi jika iklan terus-menerus menawarkan produknya kepada kita seperti di atas? Yang terjadi adalah, pikiran bawah sadar kita terbiasa untuk berpikir sebagaimana yang dikatakan iklan, yaitu “Saya akan bahagia manakala X terjadi,” “Saya akan bahagia manakala saya memiliki mobil mewah,” “Saya akan bahagia manakala saya menguasai alat musik ini,” “Saya akan bahagia manakala tugas ini selesai.” Akibatnya, muncul perasaan tidak bahagia saat Anda belum mencapai keinginan-keinginan Anda.

Saat Anda melakukan aktivitas, dengan pola pikir result-oriented, Anda terus berkata dalam hati, “Saya akan bahagia manakala kerjaan ini selesai.” Akibatnya, Anda merasa tidak bahagia selama pekerjaan itu belum selesai.

Perasaan itu membuat pikiran Anda melayang entah ke mana, bukan di sini, di saat ini (in the present moment).

Untuk mengubah persepsi Anda mengenai kebahagian, coba Anda pikirkan hal ini: Kebahagiaan adalah saat kita mencapai kesempurnaan. Tetapi, apa itu kesempurnaan? Apakah kesempurnaan adalah menyelesaikan tugas-tugas Anda? Apakah kesempurnaan adalah memiliki gaji yang banyak?

Menurut Thomas Sterner, kesempurnaan bukanlah apapun yang sedang kita raih, melainkan apa yang sedang kita rasakan, di sini, sekarang ini.

Pernyataan ini logis mengingat kesempurnaan selalu berubah seturut waktu. Kesempurnaan menurut anak-anak adalah mainan yang bagus; Menurut remaja, kesempurnaan adalah juara kelas; Menurut orang dewasa, kesempurnaan adalah memiliki pekerjaan mapan dan keluarga harmonis. Jadi, kesempurnaan bukanlah hal yang statis (sama dari dulu, sekarang, dan besok).

Dengan menyadari kenyataan ini, Anda akan berhenti mengejar kesempurnaan. Pikiran Anda yang tadinya melayang-layang akan segera kembali ke sini, saat ini.

Menyadari bahwa kesempurnaan selalu berubah tidak lantas membuat Anda enggan bekerja dan berkativitas karena berpikir bahwa bekerja adalah cermin tindakan mengejar kesempurnaan. Bekerja merupakan hal yang paling alamiah dari manusia. Kita perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Bekerja juga merupakan bentuk eksistensi kita. Dengan bekerja, kita mengaktualisasikan diri. Bekerja membuat kita merasakan hidup yang sebenarnya; Bekerja membuat hidup kita berarti.

Kesadaran bahwa kesempurnaan selalu berubah dapat dimanfaatkan sebagai sarana instrospeksi ketika pikiran-pikiran (expert mind) kita mengembara ke mana-mana, melakukan penilaian atas apa yang sedang kita lakukan.

Saat pikiran Anda menilai, “Huuuh, kapan kerjaan ini selesai dan saya bisa menikmati hasilnya?” aktifkan self-awareness Anda untuk menegur pikiran itu. Katakan kepadanya, “Oi, ingat! Kebahagiaan, kesempurnaan bukanlah saat kamu menyelesaikan tugas ini dan menikmati hasilnya. Kesempurnaan itu selalu berubah. Kesempurnaan ada bersama dirimu. Dia akan mengikuti dirimu di mana pun kamu berada.” Dengan begitu, pikiran Anda yang tadinya melayang-layang, sibuk membuat penilaian, kini hadir di sini, di saat ini, menikmati apa yang sedang Anda lakukan.

Nah, setelah menyimak tulisan ini dari awal hingga akhir, bagaimanakah menurut Anda? Apakah Anda kesulitan menerapkan cara-cara tersebut?

Yup! Memang tidak mudah menerapkan serangkaian cara di atas. Pada kenyataannya, kita sulit mengendalikan pikiran kita yang terus membuat prasangka atas apa yang kita lakukan. Akan tetapi, selama kita memiliki self-awareness, maka jangan pernah pesimis kita tidak mungkin dapat melakukan cara-cara di atas, kita tidak mungkin mengendalikan diri supaya tetap fokus.

Self-awareness merupakan anugerah yang paling penting yang diberikan kepada kita. Dengan self-awareness, kita menjadi tuan bagi apa yang kita lakukan.

Mulai sekarang, terapkan cara-cara di atas setiap kali Anda melakukan aktivitas. Terapkan pada aktivitas apa pun yang Anda lakukan. Saat bekerja di rumah, saat di kantor, saat melakukan hobi, berolahraga, atau saat melatih skill. Aktifkan terus self-awareness Anda. Lakukan semua aktivitas dengan penuh kesadaran.

Artikel ini terinspirasi oleh buku yang berjudul The Practicing Mind: Developing Focus and Discipline in Your Life, karya Thomas Sterner. Anda dapat membaca ringkasannya dalam Tantangan 30 Hari Membaca. Apa itu Tantangan 30 Hari Membaca? Tantangan 30 Hari Membaca (30 Day Challenge) adalah kumpulan ringkasan buku-buku international best seller dalam format audio dan teks sehingga Anda dapat mendengarnya selama 20 menit sehari atau membacanya. Dengan Tantangan 30 Membaca, Anda dapat menyerap baaaanyak ilmu dan informasi bermanfaat dari para penulis buku international best-seller di sela-sela kesibukan Anda.

Baca juga:

Bagaimana Cara Mengatur Fokus dengan Efektif?

Manajemen Fokus: Rahasia Memecahkan Masalah

Cara Menghilangkan Stres dengan Manajemen Fokus

Benner-1.png

Rina Ulwia
 

Rina Ulwia mulai terjun ke dunia penulisan semenjak lulus pendidikan S1 di salah satu perguruan tinggi Islam di Jawa Tengah. Ketertarikannya dengan dunia tulis-menulis bermula ketika ia menjadi editor di salah satu penerbit buku pendidikan terkemuka di Indonesia. Semenjak itu, ia aktif menuangkan ide ke dalam tulisan. Perempuan yang hobi membaca buku ini menaruh minat pada semua bidang. Ia suka berdikusi mengenai berbagai topik. Dari filsafat hingga musik, dari ekonomi hingga sastra, semua ia diskusikan di sela-sela kesibukan kerja. Memiliki banyak pengalaman yang menguji aspek psikis dan psikologisnya membuat perempuan kelahiran 1985 ini menaruh perhatian besar pada dunia pengembangan diri. Ia bergabung dengan Aquarius Resources, event organizer yang bergerak di bidang reedukasi pengembangan diri sebagai creative writer. Baginya, berkecimpung di dunia pengembangan diri memberikan banyak manfaat. Selain dapat mengembangkan diri, ia juga dapat membantu orang lain lewat tulisan-tulisannya.

  • Intinya “ketika kita mengerjakan sesuatu untuk dapat fokus dan mendapat hasil yang maksimal, dengan berpikir kita adalah seorang pemula dalam pekerjaan itu”.
    Tetapi menurut saya, dengan berpikir saya seorang ahli dalam pekerjaan itu, dan harus hasilnya itu menunjukkan saya memang benar-benar seorang ahli dalam bidang tersebut, sebenarnya masalah seperti ini tergantung pribadi kita masing-masing, tergantung pikiran kita, dan saya percaya tak harus selalu sama cara mencapai sesuatu dengan orang yang telah membuktikan dia sukses, karena ada banyak jalan menuju roma. Thanks 🙂

    • Rina Ulwia says:

      Sebelumnya, terima kasih atas komentarnya. Expert mind atau pikiran ahli menimbulkan kesan dalam diri kita bahwa kita sudah lihai mengerjakan apa yang sedang kita kerjakan. Kesan ini membuat kita menjadi mudah bosan. Sebaliknya, beginner minds alias pikiran pemula menimbulkan kesan bahwa apa yang kita kerjakan itu merupakan hal baru, yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Ini membuat kita penasaran dan tertarik untuk melakukan hal itu. Nah inilah yang membuat kita bisa lebih fokus. Karena, perhatian kita tersedot pada hal tersebut. Tetapi, memang benar, untuk bisa fokus, kita tidak hanya dapat menerapkan cara di atas. Masih banyak cara lain untuk bisa fokus dan konsentrasi pada satu hal. Dalam artikel-artikel lain, penulis telah menjelaskan.

  • >